Bab - 5 Uang 50 juta Raib

Sudah subscribe dan follow akun belum? Biar dapat notifikasi kalau aku up part baru😘


LELAKI MIRIP SUAMIKU DI POLI KANDUNGAN


BAB : 5


"Ibu, Mas Damar dan Ratna harus bersiap-siap untuk hidup miskin lagi. Karena jika Mas Damar berani bermain api di belakang saya, semua fasilitas, jatah bulanan dan kemewahan akan saya tarik. Ibu siap?" pungkasku dengan suara dibuat setengah berbisik, membuat wanita paruh baya itu meneguk ludah gugup.


"Ya, tertentu saja, Nduk. Ibu orang pertama yang akan menghajarnya, kalau Damar sampai berani main perempuan lagi di belakang," Lagi-lagi sesumbar.


"Oh begitu. Baik, aku pegang ucapan Ibu ya."


"Ya, Nak Icha. Tenang saja," Ibu tersenyum paksa. 


Kita lihat saja nanti, Bu. Apa yang akan kulakukan pada kalian. Kali ini aku masih diam, menantikan saat yang tepat. Setelah semua terbukti, kalian semua akan kutendang.


"Assalamu … alaikum," Ucapan salam Ratna-adik Mas Damar sempat terjeda begitu melihat kehadiranku. Wajahnya berubah tegang seperti baru saja melihat hantu.


"Wa'alaikumsalam, Ratna. Baru pulang?" Ratna bergeming tak menjawab. Matanya menatap satu-satu ke arah kami yang duduk berkumpul di ruang keluarga.


"Mm-mbak Icha? Kapan datang?" Gadis dua puluh satu tahun itu lalu menghampiri dan mencium punggung tanganku. 


"Udah dari tadi sih. Gimana kuliah kamu?"


"B-baik, Kak."


Sejenak mendadak hening, mereka seperti saling memberi isyarat. Terlihat dari gerakan mata dan bahasa tubuh sekitar. Aku pura-pura saja tidak tahu dengan terus berselancar di dunia maya dalam ponsel. Sementara kasak kusuk kegelisahan di sekeliling amat terasa.


Mereka seakan tidak mampu berkutik karena kehadiranku. Sungguh berbeda dengan sebelum kehadiranku tadi. Suasana hangat dan seakan keluarga bahagia. Tapi, kini ketegangan seakan melanda.


Aku tidak paham, apa yang ada di pikiran Sarah. Sehingga ia mau menjalani pernikahan seperti ini. Menjadi duri di balik rumah tangga orang lain. Entah di mana letak hati nuraninya sebagai sesama wanita.


Drrrt drrrt.


Ponsel yang kusetel mode hening, bergetar di dalam tas. Pesan dari Pak Broto tertera di layar. Astaga, aku sampai lupa ada janji dengan pengacara senior itu.


[Icha, kamu di mana? Saya sudah sampai nih. ]


[Maaf, Pak. Saya lupa. Ini saya otw ke sana ya, Pak.]


[Baik, saya akan tunggu kamu di sini.] 


Ponsel kututup dan memasukkan kembali ke dalam tas.


"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu."


"Lho, kok buru-buru banget sih, Nak Icha?" Pertanyaan basa basi.


"Ada sedikit urusan penting yang mesti aku kerjakan, Bu."


"Ya sudah kamu hati-hati ya, Nak," Ibu memeluk dan mencium keningku. Tumben banget!


"Kamu itu menantu kesayangan ibu."


Kulirik Sarah langsung membuang pandangannya ke arah lain mendengar ucapan Ibu. 


"Wah, makasih ya, Bu, kalau memang benar aku ini menantu kesayangan Ibu. Aku jadi terharu. Uang belanja Ibu masih ada?" pancingku, meski aku sudah tahu jawabannya.


"Eng, anu, kalau kamu mau tambahin juga boleh. Kemarin ibu beli obat, ibu sakit soalnya," sahutnya tanpa malu-malu. Benar-benar tidak tahu diri.


Kubuka aplikasi M-banking di ponselku. 


"Sudah masuk 3 juta ke rekening ibu."


Tersungging senyum lebar aja di wajah teduh tapi munafik itu. Jangan senang dulu, mungkin saja ini  yang terakhir. Karena saat ini aku tengah menyelidiki kebusukan kalian. Setelah itu, baaam! 


"Begitulah, Bu, enaknya punya menantu kaya. Tidak menyusahkan dan tidak membebani," ujarku seraya mata melirik Sarah yang semakin gelisah dan salah tingkah.


"Mbak, aku juga mau dong. Kemarin uangku habis dipakai Ibu," timpal Ratna. Sontak mata Ibu membulat mendengar ucapan Ratna.


"Ya, nanti mbak kirim dari rumah ya. Kamu ingatkan aja lagi mbak ya?"


"Siap, Mbak. Makasih ya," Ratna memelukku manja.


"Aku permisi dulu."


"Hati-hati ya, Nak Icha."


Aku hanya tersenyum tipis dan segera melangkah menuju warung Bu Narsih untuk mengambil mobil. Beruntung Ibu tidak banyak bertanya, kenapa aku memarkirkan mobil di sana.


Di mobil, pikiranku menerawang jauh. Wajah Mas Damar yang terlihat sangat polos dan tulus ketika pertama kali kami saling mengenal, ternyata bermuka dua. 


Begitu pula dengan Ibu. Wajah teduhnya membuat rasa rindu dan kehilangan Almarhum Mama, bisa terobati. Tapi, kenyataanya …? Ah, lagi-lagi ulu hati ini melenguh perih.


Sesampai di kafe Melati, Pak Broto melambaikan tangan agar aku mudah menemukan dirinya.


"Maaf ya, Pak, saya terlambat. Sudah lama menunggu?" 


Pria yang mungkin berusia sekitar empat puluhan itu menggeleng.


"Belum terlalu lama kok. Kamu mau pesan apa?"


"Ice lemon tea aja."


"Mau pesan makan?"


Aku menggeleng. "Tidak usah, Pak."


Tangan Pak Broto melambai ke arah pelayan wanita yang berdiri di sisi bar. Setelah pelayan mencatat beberapa pesanan, lalu pergi meninggalkan meja kami.


"Begini, Marissa," Pak Broto memulai. "Kemarin saya mendapat kabar dari karyawan saya. Katanya dia mendengar Damar akan membangun sebuah butik dan salon di samping tanah kosong kamu itu. Apa itu bisnis kamu yang baru? Kamu kan jurusan pertanian, sejak kapan kamu tertarik dengan bidang fashion dan kecantikan?"


Pak Broto tergelak pelan. Advokat Pak Broto sudah lama ikut dengan perusahaan Papa. Bahkan sejak aku masih SMP. Jadi beliau sudah tahu betul minat dan kegemaranku.


"Salon dan butik? Aku malah sama sekali tidak tahu soal itu, Pak," ujarku pura-pura tidak tahu. 


"Lalu, salon dan butik itu milik siapa?"


Aku menceritakan tentang penghianatan Mas Damar dan juga Ibu. Juga tentang pernikahan diam-diam Mas Damar dengan Sarah.


"Astaga, berita ini sudah akurat?"


Aku mengangguk. "Karena aku sendiri melihat dan mendengar percakapan mereka tadi di rumah ibu mertuaku. Aku bersembunyi di gudang."


Pak Broto menatapku iba. Sebenarnya aku tidak suka tatapan seperti itu. Karena aku bukan wanita yang perlu dikasihani.


"Kenapa melihat seperti itu, Pak?"


Pak Broto terkekeh. "Tidak, tidak, Marissa. Saya hanya tidak menyangka Damar tega melakukan itu. Dia lupa, dia berasal dari mana."


Aku terdiam, membenarkan ucapan Pak Broto tentang Mas Damar. 


Dulu, Mas Damar seorang cleaning service yang bekerja di kantor Papa. Ketulusan dan kesopanannya berhasil memikat hatiku dan juga Papa. Papa bukan tipe orang yang selalu mengukur segala sesuatu dari segi harta. Maka dari itu, Papa menyetujui ketika Mas Damar mencoba melamar. Bahkan biaya keseluruhan untuk gedung dan pesta, semuanya Papa yang menanggung.


"Marissa … Marissa," Aku terhenyak.


"Ah, iya, Pak."


"Kamu jangan sedih. Saya pasti akan bantu kamu sekuat tenaga saya. Lagi pula, Almarhum Pak Suryo sudah menitipkanmu pada saya."


Aku tersenyum miring. Setidaknya diri ini tidak sendiri.


"Langkah awal, kamu pulang dan cek seluruh sertifikat dan surat-surat penting lainnya lalu simpan di tempat yang aman. Setelah itu, baru kita pikirkan langkah yang selanjutnya."


Setelah pertemuan dengan Pak Broto, aku segera pulang ke rumah, dan memeriksa keberadaan sertifikat dan surat penting lainnya.


Aneh, kenapa brankas ini tidak bisa terbuka. Padahal, kata sandi yang sama sudah kumasukkan berkali-kali. 


Kembali kumasukkan kata sandi yang sama dan tetap saja gagal. Jangan-jangan Mas Damar sudah mengganti kata sandinya.


Tak habis akal, segera kuhubungi orang yang ahli dalam membongkar brankas yang terkunci. Dalam waktu 15 menit, orang yang kutunggu pun tiba. 


Setelah brankas terbuka segera kuganti kata sandi brankas besi itu dengan kata sandi baru, Mas Damar pun tidak mengetahuinya.


"Astaghfirullah," pekikku tertahan, melihat uang yang senilai lima puluh juta di dalamnya raib. 


****


Masih mau next gak sih, Zheyeenk?? Kalau mau, jangan lupa dong tinggalin jempol di tombol hati berwarna merah❤, biar makin semangat gitu untuk ngetik part baru yang lebih greget😋


Malam kita up part baru yaa🥳