Bab 6 - POV Damar

LELAKI MIRIP SUAMIKU DI POLI KANDUNGAN


PART 6



POV DAMAR



"Damar, terima kasih kopinya ya. Selalu saja tahu selera saya," puji Pak Suryo-direktur tempatku bekerja, sambil menyesap kopi yang kuhidangkan.


Ya, aku Damar Kusuma, lelaki dua puluh tujuh tahun yang bekerja sebagai office boy merangkap cleaning service di perusahaan super besar ini. Bayangkan saja, anak cabang dari Prawiro's Corporation ini tersebar lebih di lima kota di Indonesia. 


"Ah, Bapak bisa saja," ucapku sedikit malu. "Saya permisi dulu ya, Pak."


"Baik, silahkan. Selamat bekerja, Damar."


"Terima kasih, Pak," Aku membungkuk sopan seraya melangkah keluar.


Tubuhku bertinggi 170 cm, berkulit putih bersih meski hidungku tidak terlalu mancung. Aku merantau dari desa, karena diajak Bapak bekerja sebagai supir di sini.


Hari itu, aku diperintahkan bagian pemasaran untuk membeli makanan di warung nasi padang yang tidak terlalu jauh dari kantor.


Dengan menggunakan motor, aku segera menuju warung nasi yang sudah menjadi langganan karyawan di beberapa perusahaan sekitar.


Cuaca sedikit mendung. Terlihat dari awan gelap yang berkumpul.


Waduh, bakalan turun hujan nih, batinku menggumam.


Cepat-cepat kustater motor bebek yang kubeli secara kredit. Dan benar saja, di pertengahan jalan, hujan turun cukup deras.


Kutepikan sejenak motor untuk mengenakan mantel yang tersimpan di bawah jok, lalu kembali melanjutkan perjalanan.


Tiba-tiba mobil yang melaju dengan cukup kencang, menyerempet bagian stang motorku sebelah kanan. Sehingga aku tidak bisa mengendalikan lagi motorku, oleng lalu terjatuh.


Seorang gadis turun dengan menggunakan payung menghampiriku yang basah kuyup.


"Ya Allah, maaf maaf ya, Mas, saya nggak sengaja," ucap gadis bermanik coklat itu. Tampak penyesalan di sudut kedua matanya. Jadi tak tega mau marah-marah.


"Mas nggak apa-apa?"


Basa basi sekali gadis ini. Nggak lihat dia apa, tanganku lecet-lecet begini?


"Emang kamu nggak bisa lihat apa?" ujarku ketus dengan mengarahkan siku yang lecet ke arahnya.


"Ya ampun, maaf ya, Mas," Gadis itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada.


Aku tersenyum geli melihat gadis itu kepayahan karena sambil memegang payung di tangan kanannya.


"Kita ke rumah sakit ya? Saya tanggung jawab deh. Tapi, jangan laporin saya ke kantor polisi ya. Please," Kembali ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.


"Nggak perlu. Kamu tenang aja. Saya nggak akan laporin kamu ke kantor polisi," tugasku seraya mengangkat motor tadi yang terjatuh ke samping. 


"Kamu nggak marah kan, Mas?" Gadis itu terus mengejarku hingga ke atas motor.


"Nggak," jawabku singkat. Kustater motor dan meluncur menembus hujan yang mulai tinggal rintik-rintiknya, meninggalkan gadis yang berdiri geming dengan payung berwarna ungu di tangannya.


Sesampai di kantor, segera aku mengganti pakaian dan celana. Beruntung di loker selalu tersedia pakaian ganti.


"Kenapa tangan dengan tanganmu, Mar?" tanya Bapak, ketika melihatku tengah mengobati luka di pantry.


"Tadi keserempet mobil, Pak."


"Terus, orangnya ndak tanggung jawab?"


"Tanggung jawab sih, Pak. Cuma aku mau buru-buru balik kantor aja. Untung aja nasi para karyawan nggak rusak."


"Oh ya, Mar, anak Pak Suryo hari ini balik ke Indonesia. Selama ini dia kuliah di Australia."


"Oh," jawabku singkat.


"Kok cuma Oh doang sih."


"Lah terus aku harus apa?"


"Kamu harus bisa mendapatkan anak si Suryo itu. Dia anak tunggal. Otomatis semua harta pasti jatuh ke tangannya."


"Mana mungkin dia mau sama aku, Pak. Kerjaanku aja cuma OB," sahutku pesimis.


"Halah, jangan pesimis dulu. Si Suryo itu kan simpati sama kamu tuh. Lagian kamu kan juga ganteng. Pasti bisa lah."




Pagi ini, jadwalku membersihkan bagian depan lobi utama. Mulai dari teras depan, kaca pintu masuk, hingga ruang bagian tengah lobi.


Sebenarnya aku sudah merasa sangat jenuh bekerja seperti ini. Tapi, Bapak melarang keras aku untuk resign. Bapak masih sangatterobsesi agar bisa berbesanan dengan Pak Suryo. Lama-lama Bapak semakin jauh menghayalnya. Kenal saja tidak, bagaimana mau jadi istri. Lagipula, apa mungkin dia mau dengan OB sepertiku?


Mataku tertuju pada seorang gadis yang berjalan di lobi. Bukannya itu gadis yang kemarin menyerempetku? Ngapain dia ke sini? 


Ah, bodo amatlah! gumamku dalam hati dan kembali melanjutkan pekerjaanku. 


"Damar!"


Aku menoleh. Supervisorku memanggil.


"Buatkan kopi untuk Pak Suryo dan susu coklat untuk anaknya."


"Anaknya?"


"Iya, anak Pak Suryo yang di Australia pulang. Ini biar yang lain yang lanjutin. Kamu bikin kopi gih!"


"Baik, Pak."


Secangkir kopi dan susu coklat telah siap di atas nampan untuk dibawa ke ruangan Pak Suryo. Penasaran, seperti apa sih anak Pak Suryo yang tamatan luar negeri itu.


Tok tok tok.


"Masuk!" Suara bernada berat terdengar dari dalam.


Aku membuka pintu dan melangkah masuk.


"Lho, kamu yang kemarin kan, Mas? Kamu kerja di sini?" sapanya ramah. Ternyata ingatannya cukup kuat juga.


"Kalian sudah saling kenal?" tanya Pak Suryo.


"Kemarin aku nggak sengaja nyerempet motor Mas ini, Pa," jawabnya lalu kembali menoleh padaku. "Tapi kamu nggak apa-apa kan?"


Oh, ternyata gadis ini anak Pak Suryo. Cantik juga, mana kaya lagi.


"Udah nggak apa-apa kok, Mbak."


...


Sejak saat itu, entah berawal dari mana, aku dan Marissa menjadi dekat. Gadis itu benar-benar rendah hati. Katanya dia tidak pernah memandang dan menilai orang dari harta dan materi. 

Jarang sekali ada orang tajir melintir seperti Marissa, punya pemikiran seperti itu.


Hingga suatu hari, ketika kami sudah semakin dekat, Bapak memaksaku untuk melamar Marissa. Sementara aku tidak memiliki perasaan lebih untuk gadis itu. 


"Kamu harus bisa melamar Marissa, Damar. Ingat, dia itu pewaris tunggal harta si Suryo," ujar Bapak.


"Kenapa sih Bapak ngebet banget aku menikahi Marissa, Pak?"


"Kamu tahu kan, bapak dan Suryo itu sudah berteman lama?"


Aku mengangguk.


"Waktu Bapak minta kerjaan sama Si Suryo. Bapak pikir, bapak bakalan dikasih kerjaan yang bagus gitu. Nggak tahunya cuma disuruh jadi supir doang. Kan temen kurang ajar itu namanya."


"Makanya, kamu harus bisa menjadikan dia istrimu. Nanti bapak akan bantu ngomong sama Suryo. Kalau kamu udah menikah dengan Marissa, harta dipercayakan ke kamu aja. Jadi, hidup kita bisa lebih baik lagi. Kamu nggak pengen lihat ibumu bahagia dan Ratna bisa kuliah juga?"



Kuberanikan diri membawa Bapak dan Ibu untuk melamar Marissa pada Pak Suryo. Dan sungguh di luar dugaan, Pak Suryo menerima lamaranku, meski aku tidak bisa memberikan uang panai yang besar.  Justru pesta besar diadakan di sebuah hotel, dengan uang mertuaku tentunya.


Beberapa perusahaan diberikan untuk kukelola. Icha demikian panggilan Marissa, lebih memilih di rumah. Apalagi setelah meninggalnya Papa, Marissa seperti sangat terpukul. 


Marissa itu wanita yang cantik, terpelajar dan patuh terhadap suami dan kaya raya tentunya. Tapi rasanya sangat berbeda ketika aku berkenalan dengan Sarah. 


Pertama kali aku berkenalan dengan gadis bernama lengkap Maysarah itu, ketika ia menawarkan rokok. Waktu itu aku tengah makan di sebuah kafe bersama teman-temanku.


Gadis berpakaian hitam dan rok super pendek itu, membangkitkan hasratku. Apalagi ketika berbicara, suara manjanya membuat rasa rindu untuk selalu bertemu.


Berbeda dengan Marissa yang bicara saja selalu ditata dan sedikit kaku menurutku.


Berita kehamilan Sarah, akhirnya memaksa agar aku harus bertanggung jawab untuk menikahinya. Ibu yang sudah sangat ingin menggendong cucu, tidak menolak ketika aku mengatakan akan menjadikan Sarah sebagai istri siriku. Maklum saja, di usia pernikahan yang sudah menginjak enam tahun, belum ada tanda-tanda Marissa akan hamil. Padahal entah sudah berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk program kehamilannya. Yang terakhir, Marissa harus menghabiskan uang tujuh puluh delapan juta, untuk biaya bayi tabung.


Maafkan aku, Marissa. Aku sudah telanjur nyaman bersama Sarah. Semoga kelak kamu mau menerima dia menjadi madumu.




***