Bab 3 - Wanita Itu Benar Istri Mas Damar

Jangan lupa sebelum baca, sempatkan subscribe dong. Biar dapat notifikasi kalau mak othor upload bab baru. Dan makin semangat ngetiknya.



LELAKI MIRIP SUAMIKU DI POLI KANDUNGAN


BAB 3



🥀🥀🥀



Aku tertegun menatap Mas Damar memperlakukan wanita berambut pirang itu dengan sangat spesial. Ia membukakan pintu untuk wanita tersebut, sedangkan ibu duduk di belakang.


Bergegas aku masuk ke dalam mobil. Mereka akan segera melewatiku. Semoga saja mereka tidak mengenali mobil sedan hitamku di sini.


5 … 4 … 3 … 2 … 1


Aku menghitung dalam hati dengan perasaan was-was seraya menunduk.  Takut Mas Damar mengenali mobil ini. Secara dia ikut membelinya setahun lalu.


Huuufff … Aku menarik napas lega. Beruntung, baik Mas Damar atau Ibu tidak mengenali mobilku.


Lekas kustater mobilku dan bergegas mengendarai dari jarak yang agak sedikit jauh, agar tidak menimbulkan kecurigaan.


Kondisi jalanan siang ini cukup bersahabat. Tidak terlalu padat, sehingga memudahkan langkahku membuntuti ke mana mereka akan pergi.


Deru napasku memburu. Kutarik pelan, agar rasa sesak yang menghimpit, segera meninggalkan dada ini.


Pandangan sedikit lamur karena terhalang mata yang mulai mengembun. 


Tik. Akhirnya bulir bening itu jatuh juga. Cepat kuusap kasar air yang jatuh di sudut bibir. 


"Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh lemah. Aku tidak akan membiarkan mereka terus menyakitiku dengan kebohongan demi kebohongan," tekadku dalam hati.


Mereka berhenti sejenak di sebuah toko kue. Wanita itu turun bersama Ibu. Tampak Ibu meletakkan tangannya di punggung wanita berkulit putih, seraya berjalan masuk.


Selagi menunggu, aku mencoba menghubungi Mas Damar. Sejak ia mengaku berangkat ke Jogja, ia tidak pernah menghubungiku sekali pun, bahkan sekedar mengirimkan pesan pun tidak. Kali ini aku ingin mengetahui reaksinya.


Nada sambung terdengar. Tulisan "Berdering"  tertulis di layar ponselku. Itu artinya whatsapp-nya aktif.


Sekali … dua kali … tiga kali, Mas Damar tak kunjung mengangkat panggilanku. Tidak mungkin Mas Damar tidak mendengar. Karena aku tahu persis, lelaki itu paling tidak bisa jauh dari ponselnya.


Hitungan yang kelima, akhirnya Mas Damar mengangkat juga panggilanku. 


"Ha-halo, assalamualaikum, Sayang," Dengan suara gugup, Mas Damar mengangkat teleponku.


"Wa'alaikumsalam, Mas. Gimana kabar kamu? Semenjak pergi, kamu kok gak pernah nelpon aku?" Aku berusaha sesantai mungkin. Meski hati ini rasanya meronta ingin segera memaki lelaki di seberang telepon itu.


"Oh, ma-maaf, mas sibuk banget. Sampai lupa ngabarin kamu, Sayang. Alhamdulillah kabar mas baik. Kamu sendiri gimana?"


'Aku sakit, Mas, aku hancur, mengetahui kebohonganmu dan Ibu,' pekikku dalam hati.


"Alhamdulillah aku baik juga," Tidak mungkin aku berkata demikian. Karena bukti masih belum cukup kuat. 


Aku harus bisa mencari cara agar aset Mas Damar bisa kembali ke tangan. Itulah kelemahanku yang mudah terkecoh dengan sikap manisnya sebagai suami. Sehingga semudah itu aku mempercayakan seluruh harta warisan almarhum Papa, Mas Damar yang mengelola. Terlebih Mas Damar anak dari Heru-sahabat almarhum Papa. 


Papa meninggal lima tahun yang lalu. Tepatnya setahun setelah pernikahanku dan Mas Damar. Selang empat tahun berikutnya, Bapak menyusul juga karena serangan jantung.


"Icha … Cha …." Suara lembut Mas Damar menghenyakkan lamunanku.


"Eng, i-iya, Mas."


"Kamu melamun?"


"Ah, enggak. Cuma sedikit gak enak badan aja kok, Mas."


Ibu dan wanita itu ke luar dari toko kue. Di tangan mereka ada satu kantong plastik berisi dua kotak kue. 


"Eng, u-udah dulu ya, Sayang. Mas mau lanjut meeting dulu nih."


Meeting apaan? Meeting gundulmu itu!


"Kamu kapan pulang, Mas?" Aku berusaha memperlama percakapan, menunggu sampai wanita itu masuk ke dalam mobil.


"Be-belum tahu, Sayang. Nanti mas pasti segera kabari kamu, ya?"


Wanita itu mulai membuka pintu sisi sebelah kiri depan mobil.


"Mas kue brownies coklatnya gak ada," Terdengar suara lembut wanita. Pasti perempuan itu.


"Itu suara siapa, Mas?" tembakku pura-pura tidak tahu. Padahal aku di sini menatap mereka dengan kedua belah mataku.


"Ah, bu-bukan siapa-siapa kok. Cuma orang kantor. Sudah dulu ya, Cha. Nanti mas telepon lagi," Suaranya sedikit berbisik.


Tut. 


Telepon terputus secara sepihak. Aku menatap wallpaper ponsel yang terpampang fotoku dan Mas Damar saat berlibur ke Lombok dua tahun lalu. Waktu itu, kami tengah merayakan ulang tahun pernikahan kami yang keempat.


Kulemparkan gawai ke jok di sisi kiri. Segera kustater mobil, begitu melihat mobil Mas Damar bergerak maju.


Aku masih terus mengikuti mobil Mas Damar hingga akhirnya berbelok masuk ke pekarangan rumah Ibu. Mata terus mengawasi gerak-gerik mereka.


Wanita itu masuk dengan menggandeng lengan Mas Damar dan Ibu mengikuti dari belakang.


Kupinggirkan mobil di depan warung Bu Narsih yang berada tidak jauh dari rumah Ibu, lalu mengendap masuk. Mencari tahu apa yang akan mereka lakukan dan katakan.


Pintu depan tertutup. Dari jendela, terlihat ruang tamu depan sepi. Kemungkinan mereka berada di ruangan belakang. Memang sudah menjadi tempat favorit, karena udara segar di belakang rumah bebas berhembus masuk. Apa lagi dilengkapi dengan taman kecil. Ibu dan aku sama-sama memiliki kesamaan suka menanam aneka bunga.


"Kandunganmu sudah berapa bulan, Sarah?" Suara serak khas Ibu terdengar.


Oh, ternyata nama perempuan berambut pirang itu Sarah.


"Jalan tujuh bulan, Bu," sahut wanita bernama Sarah itu. 


Dari balik jendela, tampak Sarah mengusap-usap perut buncitnya.


"Seharusnya jika mengikuti adat Jawa, seharusnya di usia kandunganmu genap tujuh bulan nanti, dibuatkan acara nujuh bulanan, Nduk."


"Maunya sih begitu, Bu. Tapi …." Sarah melirik Mas Damar yang menyandarkan punggungnya di badan kursi yang terbuat dari kayu jepara asli itu. 


Aku masih ingat sekali, dulu Ibu meminta hadiah ulang tahun berupa kursi jepara. Dan bukan sesuatu hal yang sulit untuk memenuhinya. Toh, Ibu sudah  kuanggap layaknya ibu kandungku sendiri. Apalagi Mama juga sudah meninggal jauh sebelum kami menikah.


Suara Mas Damar menghembuskan napas berat terdengar. Seperti menyimpan beban berat dalam dadanya. Apa menikah denganku adalah sebuah beban, Mas?


"Sebenarnya aku sih mau, Bu. Mau banget malah. Apalagi ini untuk anak pertamaku." 


Anak pertama? Hatiku mendesis perih.


"Tapi kan susah, Bu. Bagaimana kalau Marissa tahu kalau aku sudah menikah lagi dengan Sarah? Bisa mamp*s aku. Seluruh harta yang ada padaku bisa diambil Marissa lagi. Karena semua masih atas namanya. Ibu mau kita hidup miskin kayak dulu lagi? Sia-sia dong usaha dan jerih payah almarhum Bapak dulu untuk memuluskan segala rencananya."


Aku tersentak mendengar ucapan terakhir Mas Damar. Usaha dan jerih payah Bapak? Memuluskan segala rencana? Otakku berputar mencari jawaban.


"Memangnya bapak kamu punya rencana apa dulu, Mas?" Sarah bersuara.


"Nanti ada masanya kamu akan tahu, Sayang. Sekarang ini, kamu fokus saja dengan kehamilanmu ya. Jaga baik-baik cucu ibu. Soalnya ibu sudah lama sekali ingin menggendong cucu. Ibu ndak mau terjadi apa-apa sama cucu ibu," tukas Ibu sembari mengusap-usap perut Sarah.


"Iya, Sayang. Mas juga sudah lama banget pengen punya anak. Dan itu mas dapatkan dari kamu. Maka dari itu, tolong dijaga baik-baik anak kita ya."


Tampak Mas Damar berjongkok, wajahnya tepat menghadap perut wanita bernama Sarah itu. 


"Anak papa baik-baik di dalam sana ya. Papa akan melakukan apa aja demi masa depan kebahagiaan kamu dan mama kamu," Mas Damar lalu mencium perut buncit Sarah.


Darahku berdesir kencang, serentak dengan gemuruh dada bak erupsi merapi, yang siap memuntahkan laharnya. Tega-teganya mereka berbuat begini padaku. Ibu mertua yang kuperlakukan layaknya seorang ratu, bahkan jatah bulanannya saja sudah kutetapkan tujuh juta setiap bulannya. Gaji pembantu dan biaya kuliah Ratna-adik Mas Damar pun aku yang menanggungnya juga. Begitu pun terkadang Ibu masih sering meminta lagi di luar jatah yang sudah ditetapkan


Tangan mengepal keras dan rahang gigi mengatup geram melihat adegan nyata di depan mata. 


Pelan-pelan kakiku menapaki rumput untuk menaiki undakan kecil di teras belakang, berniat masuk dari pintu belakang.


Praaang.


Tanpa sengaja kakiku menyenggol pot bunga aglonema yang terletak di sudut dinding, hingga pot tersebut pecah berserakan.


"Siapa itu?" pekik Mas Damar.






***


Next?


Tekan Love Merah❤ , follow akun dan review bintang 5 nya yaa. Biar jadi mood booster buat Emak Othor😘


Terima kasih yang sudah mau mampir. Love kalian banyak-banyak🥰