3
"Sus!"

"Ya, Bu?

"Biar Thalita sama saya!"

Suster Irna yang awalnya ingin mengajak Thalita ke kamar, kembali berbalik dan menyerahkan balita itu padaku. 

Begitu suster pergi, kuletakan ia di atas kasur dan memberikan mainan yang ada di kamar ini. 

Kupandangi wajahnya. Ia memang begitu mirip dengan Mas Tio. Selama ini, kupikir kemiripanya adalah karena ibunya adalah saudara Mas Tio.
Semakin lekat aku memandang Thalita, sambil terus menerka-nerka. Siapa wanita di sekitar Mas Tio yang mirip dengan wajah anak ini?

Kurebahkan diri di samping Thalita dan mencium pipinya.

"Ibumu yang memulai, Nak. Mommy sudah terlanjur sayang sama kamu. Takkan Mommy biarkan ibumu mengambil kamu, seperti dia merebut Daddy dari Mommy!" bisiku pelan.

***

"Sayang ...," bisik Mas Tio di telingaku. 

Aku tahu betul gelagatnya. Sebagai istrinya delapan tahun ini, aku tahu kode untuk menunjukkan bahwa dia ingin aku melayaninya sebagai seorang istri.

"Maaf, Mas. Aku lelah ...," tolakku.

Bagaimana bisa aku menjalani kewajibanku sekarang? Melihat wajahnya saja aku merasa muak dan jijjk.

"Tak baik menolak, bukan? Meski kita menyayangi Thalita, aku masih ingin memiliki anak kandung. Itulah kenapa aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku tidak ingin ada penolakan seperti ini." Ia terus saja berbicara dan mengungkit masalah lain, karena kesal dengan penolakan dariku.

Aku tertawa dalam hati. Sandiwara kamu begitu sempurna, Mas!
Kutarik selimut dan tidur membelakanginya. Seharusnya, aku tak boleh kentara menunjukan perubahan sikapku. Tapi hatiku tak bisa berbohong karena benar-benar muak melihatnya. 

"Baru kali ini aku menolak, Mas. Tolong mengerti."

Kudengar ia menghentakkan kakinya dan pergi ke luar kamar. Aku tidak peduli ia mau kemana. Yang terpenting, malam ini aku bisa bebas. 

Entah sampai kapan aku harus mengalami situasi seperti ini. Jelas, aku harus segera bertindak agar bisa lepas dari belenggu ini.

Ku ambil wudhu dan melaksanakan salat malam. Kucurahkan segala rasa sakit dan meminta petunjuk padaNya. Langkah apa yang harus kuambil sekarang?
Haruskah aku bertahan atau bercerai dari Mas Tio?

Tapi ... bagaimana dengan Thalita? Aku terlanjur mencintai anak itu. Sanggupkah aku kehilangan dia ketika pernikahan ini berakhir nanti?

*** 

Hari ini, aku berangkat lebih pagi dan membiarkan Mas Tio yang masih tidur pulas.

Meski kecewa semalam, ia tak bisa marah lebih lama padaku.  Mas Tio kembali setelah beberapa jam keluar rumah. Katanya, ia merokok untuk menenangkan diri.

Sambil menunggu waktu jam siaran, aku menunggu di kafe sambil mengisi daftar catatan. Kutulis semua nama-nama orang terdekat yang aku curigai sebagai ibunya Thalita. Dari mulai Wita, sekretaris Mas Tio, sampai ketiga ART wanita yang bekerja di rumah. Ya, selain suster Irna, ada dua ART lain di rumahku dengan tugasnya masing-masing.

Seperti curhatan beberapa pendengarku yang mengatakan, kalau suami mereka pernah kepergok selingkuh dengan ARTnya.

Acara yang aku isi selama ini, memang berisi curhatan para pendengar. Biasanya lebih didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga yang bercerita mengenai rumah tangga mereka.

Aku tak menyangka, kalau pada akhirnya aku akan menjadi tokoh utama dalam cerita perselingkuhan ini.

***

Sepulang siaran, aku sengaja mampir ke rumah Mama mertuaku untuk memulai rencana.
Aku harus menemuinya, agar bisa mendapat sedikit banyak informasi darinya.

Kalau dari pembicaraan Mas Tio di telepon kemarin, sepertinya ibu kandung Thalita memang sering berhubungan dengan Mama mertuaku ini.

"Tumben kesini, Al?" tanya Mama heran. Kucium punggung tangannya seperti biasa agar ia tak curiga. Walau hati terasa sakit karena telah dibohongi selama ini.

"Kangen aja sama Mama. Tadinya mau bawa Thalita, tapi aku pikir, nanti bisa minta suster dan supir untuk bawa dia kesini."

Mama mengangguk dan mengucapkan terima kasih saat tangannku menyodorkan paper bag berisi makanan kesukaannya, yang kubeli di perjalanan.

"Ma, handphone aku mati ... boleh pinjam handphone Mama untuk hubungi orang rumah? Aku mau suster bawa Thalita dan bermalam disini "

"Sungguh? Ini!" Mama langsung menyodorkan handphonenya dengan wajah ceria. Aku tersenyum melihat Mama. Senyum yang menutupi rasa kecewa yang begitu besar.

"Ma, Mbok lagi masak, ya? Aku haus banget." Aku mencoba mencari cara agar Mama tidak melihatku mengutak-atik ponselnya.

Tapi, bukannya pergi, dia malah berteriak memanggil asisten rumah tangganya itu. 

Aku tidak kehilangan akal. Karena dia sedang tidak fokus, kukirim semua kontak yang ada di ponsel Mama dan mengirimnya ke nomorku. Setelah selesai, kuhapus jejak dari handphonennya.

"Suster, bisa ajak Thalita kesini? Hah, apa? Baru tidur? Ya sudah nanti saja kalau sudah bangun, kamu telepon saya lagi."

Kulihat Mama memerhatikan aku bicara di telepon.

Fiuh ... untunglah ... Ternyata Thalita sedang tidur. Aku jadi memiliki alasan untuk membatalkan rencanaku.

Belum sempat kukembalikan pada Mama, ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Mas Tio.

"Ma, ini telepon dari Mas Tio, loud speaker ya?" 

"Jangan!" Mama buru-buru mencegah dan mengambil ponselnya dari tanganku.

Aku semakin kecewa dengan sikap Mama. Meski jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku masih berharap, kalau ini semua hanyalah mimpi buruk.

"Apa, Mas? Mama nggak denger! Disini ada Aleia ... Iya, ada Aleia. Katanya handphonenya mati. Kamu mau mau bicara?" Mama menyodorkan kembali ponselnya padaku.

"Aku kangen aja sama Mama. Kemarin kan, Mama nggak jadi makan malam. Tadinya aku mau bermalam di sini sama Thalita, tapi dia malah tidur."

"Jangan, sayang. Kamu pulang saja. Nanti kita ke sana lagi di akhir pekan sama aku, oke?" bujuk Mas Tio di sebrang sana.

Syukurlah! Aku bisa mendapat alasan untuk bisa pulang dan memiliki kesempatan untuk menyaring kontak yang ada di handphone Mama.

***


Komentar

Login untuk melihat komentar!