2
Apakah semuanya telah berbohong padaku selama ini? Tapi ... bagaimana dengan Ibu kandung Thalita sebenarnya? Siapa dia?

Perlahan, aku mundur beberapa langkah, lalu keluar dari pintu dan menyandarkan tubuhku di tembok. Kuhela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang.

Inikah kado yang sesungguhnya, setelah delapan tahun pernikahan beberapa hari yang lalu?

***

Setelah merasa lebih baik dan tenang, aku kembali menemui sekretaris Mas Tio lagi.

"Wita, tolong jangan bilang sama Bapak kalau saya kesini, ya. Karena saya di telepon untuk kembali lagi ke kantor, takutnya suami saya malah bingung."

"Baik, Bu."

Aku memutuskan pergi dengan perasaan kecewa dan bingung yang bercampur jadi satu. Bagaimana bisa Mas Tio dan keluarganya membohongiku selama ini?

Sebelumnya, aku mampir ke kafe yang terletak tak jauh dari kantor stasiun penyiaran.
Kupesan segelas cokelat dingin agar hatiku terasa lebih tenang.

Segala pertanyaan dan jawaban yang aku pikirkan sendiri, bercampur menjadi satu di dalam kepalaku. Seolah mereka ingin melompat keluar dan menjawab semua teka-teki ini.

Aku terbayang wajah Thalita dan kemiripannya dengan Mas Tio. Kenapa aku begitu naif selama ini? 
Terlalu percaya bahwa kemiripan mereka terjadi karena hubungan saudara.

Aku bersyukur bisa mengetahuinya lebih awal. Kalau saja tadi aku tidak berniat mampir ke kantor, mungkin kebohongan mereka akan tersimpan rapi lebih lama lagi. 

Tak ada kebohongan yang abadi. Begitulah cara Allah menunjukan semuanya padaku.
Tapi ... siapa ibu kandung Thalita sebenarnya? Kenapa dia malah menyerahkan anaknya dalam pengasuhanku?

***

Selama acara berlangsung, aku tak bisa konsentrasi. Pikiranku terus tertuju pada pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalaku.

"Aleia, kamu tidak seperti biasanya, ada apa?" tanya Tania teman satu tim-ku khawatir.

Aku menatap Tania dengan lekat. Haruskah aku menceritakan semua padanya? Akan tetapi, melihat ibu mertua dan suamiku bisa menyimpan rahasia dan bersandiwara, sepertinya aku tak bisa gegabah sekarang.

Kalau mereka saja bisa menipuku, mungkin saja Tania terlibat, atau mengetahui sesuatu.
Bukankah di dalam drama, banyak sekali menceritakan seorang suami yang selingkuh dengan teman istrinya?

Ah ... sekarang, aku jadi kesulitan memercayai orang!

"Mungkin, karena sempat diundur mood-ku jadi berubah," kataku memberi alasan.

Kulihat Tania mengangguk dan menerima jawabanku.

[Sayang, kamu belum pulang?]
Pesan dari Mas Tio.

Selama ini, ia memang suami yang posesif. Ia selalu memastikan aku pulang tepat waktu dan tidak berpergian tanpa seizinnya. Kalau dulu aku akan berpikir itu adalah bentuk rasa sayangku padanya, tidak untuk saat ini. Aku yakin dia tidak ingin aku bergaul lebih luas lagi agar rahasianya tetap terjaga. Itulah yang ada di pikiranku saat ini.

[Tadi acaraku di undur dua jam, Mas. Aku pulang telat hari ini.]

[Jangan terlalu lama, kasihan Thalita. Inilah alasanku meminta kamu segera resign, sayang!]

Kamu ingin aku percaya, Mas? Aku tersenyum sinis. Kali ini aku takkan mengira kalau Mas Tio memintaku berhenti bekerja sebagai bentuk perhatiannya. Melainkan, dia ingin mengurungku bersama Thalita di dalam rumah dan menjadi Ibu yang baik untuk anaknya. Sementara ia, bisa saja jadi lebih sering melepas rindu dengan ibu kandung Thalita, atau mungkin wanita lain.

Aku benar-benar kecewa dan tak bisa memercayai suamiku lagi. Begitu juga dengan orang di sekitarnya. Mama, Papa mertua, juga Nadine adik ipar ku yang tinggal di luar kota.

Ah ya .... bukankah itu berarti, Mbak Lastri dan seluruh keluarganya juga berbohong? Entah berapa banyak yang terlibat dalam drama ini, sampai aku merasa seperti orang bodoh sekarang.

Aku tak akan tinggal diam. Akan ku bongkar semua sandiwara dan pengkhianatan mereka di belakangku.

Kali ini, aku tahu kenapa Mama memberiku nama Aleia. Aleia, berarti perempuan kuat dan cerdas. 

***

Aku pulang ke rumah dengan perasaan kalut. Sebelum masuk ke kamar, kulewati kamar Thalita seperti biasanya

"Ami ...!" teriaknya histeris. Ia memang kuajari memanggil Mommy, tapi karena belum jelas, hanya terdengar seperti itu.

Awalnya aku ingin menyambutnya saat Irna-suster yang menjaganya- hendak memberikan Thalita padaku. Namun, kenyataan yang kudengar dari Mas Tio, seketika membuatku kesal saat melihat wajahnya. Aku tak sanggup menerima, kalau balita berambut keriting dan sedikit kecoklatan itu adalah anak hasil selingkuhan suamiku.

Aku kembali merasa seperti orang bodoh. Meski dibantu seorang suster, akulah yang setiap hari merawatnya. Terjaga kala dia demam, bangun setiap kali dia meminta susu dan antusias ketika dia mulai bisa melakukan sesuatu.

Kutatap wajah Irna, suster yang merawat Thalita. Kupandangi wajahnya, adakah kemiripan dengan balita ini?

Tiba-tiba aku merasa seperti orang gila. Semua orang kucurigai sekarang.

"Bawa ke kamarnya saja, Sus. Saya capek!"

"Ami ...." Tangan mungil Thalita berusaha menarik bajuku. Aku tak kuasa menahan tangis. Balita itu tak berdosa. Orangtuanyalah yang berdosa!

'Aleia, kamu mengurusnya sejak bayi. Dia anakmu!' Bisikan itu seolah terdengar jelas di telingaku. Benar, Thalita adalah anakku!


Komentar

Login untuk melihat komentar!