6


"Fotonya terjatuh, Mbak, saya nggak ada maksud apa-apa," jelasku dengan suara bergetar. Jujur saja, aku takut akan disangka sebagai seorang pencuri.
Tapi yang kulihat, Sajna malah tersenyum tipis.

"Fotonya memang sengaja saya balik, Mbak. Saya nggak mau melihat foto itu lagi."

Aku semakin penasaran, ada siapa di balik foto itu? Mungkinkah Mas Tio? Lalu ia kesal karena tak bisa mendapatkan Thalita?

Disatu sisi, aku penasaran. Namun disisi lain, aku tak bisa memburu waktu. Bisa-bisa, Sajna curiga jika aku bertindak terlalu jauh.

"Kenapa tidak dibuang saja?" Aku masih berusaha memancing agar bisa melihat, wajah siapa di balik foto itu.

"Maunya begitu, Mbak, tapi sama Mak Siti dilarang."

"Tak baik membenci keluarga sendiri, Sajna!" sela Mak Siti yang muncul dari dapur.

"Mereka membenci saya lebih dulu, Mak!" Sajna, wanita itu menangis. Aku berada dalam situasi yang serba salah.
Jiwaku terobsesi untuk melihat ada apa di balik foto itu. Tapi sebagai kurir, apakah itu tidak akan membuat mereka berpikir aku lancang?

Baiklah ... sepertinya, aku tidak bisa memaksakan diri untuk melakukan ini dengan terburu-buru.
Aku butuh waktu untuk bisa bertemu lagi dengannya. Sebelum pulang, aku berpesan pada Sajna.

"Mbak, jika mau kita bisa berteman."

"Terima kasih, Mbak. Saya akan simpan nomor Mbak ... maaf dengan Mbak siapa?"

Aku sedikit kelimpungan saat ia menanyakan namaku. Kenapa tidak kusiapkan sejak tadi?

"Cahaya. Panggil saja saya Cahaya."

"Baik, Mbak Cahaya. Jika mengantar pesanan lewat sini, mampir saja, ya!" pesannya sebelum pergi.

Aku melangkah keluar dengan pikiran yang semakin ruwet dan bercabang-cabang.
Benarkah Sajna adalah selingkuhan Mas Tio? 

Jika memang benar ia ibunya Thalita, bukankah berarti dia akan kesulitan merawat anaknya sendiri? Lalu, kenapa Mas Tio mengatakan kalau seseorang akan mengambil Thalita dari kami?

***

Setelah mengembalikan motor dan seragam yang kupinjam dari driver ojek online itu, aku bergegas pulang. Entah apa yang akan Mas Tio katakan nanti, aku harus mencari cara untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari suamiku.

Perjalananku menuju Jakarta masih panjang. Bahkan aku sendiri tak percaya, bisa bertindak sejauh ini.

Sambil memikirkan jawaban yang akan kuberikan pada Mas Tio, ku kendarai mobil dengan kecepatan rendah. Sebelum masuk ke dalam tol, tak lupa kusembunyikan ponsel cadanganku ini di tempat yang aman.

Namun, ketika aku hendak mematikan ponsel, ada beberapa pesan masuk dari Sajna. Ia mengirimkan sebuah foto dan penjelasan yang membuatku tersentak.

Foto di dalam bingkai yang tadi sangat ingin kulihat itu, menunjukan foto seorang anak kecil yang diapit oleh orangtuanya dan seorang anak laki-laki.

Foto orangtua itu tak lain adalah Papa dan Mama mertuaku. Dan anak laki-laki dalam foto itu, kuyakini adalah Mas Tio.
Meski foto lawas, aku bisa mengenali wajah mereka satu persatu. Bahkan, ada nama keduanya di sana. Tio Mahadewa Suwarso dan Sajna Maharani Suwarso.

Sajna, benar-benar darah daging keluarga Suwarso.
Di bawah foto itu, ia juga menuliskan pesan yang membuat hatiku semakin bergetar membacanya.

[Itu keluargaku, Mbak. Foto itu diambil ketika tubuhku masih baik-baik saja. Mereka membuangku kesini, karena aku cacat. Menyedihkan bukan?] 
[Oya, apa Mbak Cahaya, masih mau berteman denganku?]

Tak terasa air mata ini mengalir begitu deras. Semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Bagaimana Sajna bisa cacat, sementara foto saat dia kecil terlihat baik-baik saja?

Dan kedua mertuaku, aku tak bisa memercayai kalau mereka tega melakukan semua ini terhadap anak mereka sendiri.
Yang aku tahu, selama menikah dengan anaknya, Mas Tio adalah anak tunggal kebanggaan keluarga Suwarso.

Aku tak menyangka kalau mereka memiliki anak lain. Pantas saja, wajah Sajna begitu mirip dengan Mas Tio.

Segera kubalas pesannya, agar Sajna tidak kecewa.

[Tentu saja, aku mau berteman. Kita sambung besok, ya. Baterai ponselku habis.]

Tanpa menunggu balasan, kumatikan ponsel dan menyimpannya di tempat tersembunyi.

Kepalaku mulai pening. Belum selesai menguak masalah siapa ibu kandung Thalita, aku malah dihadapkan dengan permasalahan Sajna dan kedua mertuaku.

***

"Aleia, dari mana saja, kamu!!!" Wajah Mas Tio terlihat sangat marah. Selama delapan tahun menikah dengannya, baru kali ini aku melihatnya marah begitu.

Wajar saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, dan ini adalah kali pertama aku melakukannya.

"Maaf, Mas. Tadi aku panik karena teman masa kecilku sakit, sampai di sana dia malah meninggal dunia. Aku nggak bisa pulang begitu saja tadi. Handphone ku juga ketinggalan,"  jelasku berbohong.

"Aku tahu, kamu itu udah buat aku panik. Mama sama Papa sampai kesini." Kulirik dua orang yang tengah menunggu di ruang keluarga. Keduanya menatap lekat ke arahku.

"Nggak enak sama mereka, Mas. Kita bisa bicara lagi setelah Mama dan Papa pulang."

Kutinggalkan Mas Tio, dan menghampiri kedua mertuaku. Dari wajah keduanya, aku bisa melihat Sajna di sana. Tak tahu dimana hati nurani mereka, hingga sampai hati membuang gadis cantik itu.

Kucium punggung tangan keduanya dengan terpaksa. Tak ada lagi wibawa yang biasa kulihat dari Mama dan Papa.

"Tio sangat khawatir, Aleia ... kamu bisa minta antar supir kan?"

"Maaf Ma, Aleia nggak kepikiran. Maaf karena sudah membuat Papa dan Mama datang kesini. Aleia mau mandi dulu."

Aku langsung bergegas ke kamar mandi dan mengguyur tubuhku di sana dengan air hangat.

Segar. Itulah yang kurasakan setelah selesai mandi. Di dalam kamar, kulihat Mas Tio sudah menungguku, duduk di sofa, dengan kedua tangan dilipat. Wajahnya masih terlihat menyeramkan.

"Keputusanku sudah bulat. Mulai besok, kamu harus berhenti bekerja, Aleia!!!"





Komentar

Login untuk melihat komentar!