Aku tak ingin terlalu lama berpikir. Kupanggil Suster Irna, dan meminta ia membawa Thalita ke kamarnya.
"Bagaimana jika Bapak telepon, Bu?" tanya Suster Irna sebelum keluar dari kamar.
Ah, iya ... benar juga!
"Bilang saja, saya sedang menjenguk teman yang sakit. Selebihnya, biar saya yang bicara sama Bapak."
"Baik, Bu ...."
Sambil berbicara dengan Suster, tanganku terus mengutak-atik ponsel dan membalas pesan wanita itu.
[Maaf, Mbak nanti mubazir. Apa nggak sebaiknya diterima dulu, lalu diberikan pada tetangga atau siapapun yang mau?]
Kucoba membujuknya, agar usahaku tidak sia-sia. Aku yakin betul, ada sesuatu yang disembunyikan perempuan bernama Sajna ini.
[Baiklah ... saya akan share lokasi.]
Syukurlah ... akhirnya aku bisa mengetahui dimana alamat perempuan ini.
Namun, mataku terbelalak, saat ia mengirimkan lokasi di sebuah tempat di daerah Sukabumi.
Mana mungkin aku bisa ke sana dalam waktu singkat? Belum lagi jika Mas Tio menghubungiku seperti biasa.
Tapi, bukan Aleia namanya, jika menyerah begitu saja. Aku bergegas pergi menuju kesana. Masalah izin dengan Mas Tio, itu urusan nanti. Sebelum pergi, kukirimkan pesan pada wanita itu agar ia sabar menunggu.
[Maaf Mbak, saya antar pesanan lain dulu. Mungkin bisa sore atau malam]
[Baik, Mas.]
[Saya wanita.]
[Oh, maaf. Baik, Mbak, saya tunggu.]
Kuletakkan ponsel pertamaku di atas kasur sebelum pergi, agar ada alasan menolak panggilan telepon dari suamiku.
Selama perjalanan, aku terus memikirkan cara untuk bisa bertemu dengan Sajna tanpa dicurigai. Satu persatu rencana sudah tersusun di kepala.
Aku akan membeli beberapa makanan setiba di sana, lalu mencari ojek online yang akan meminjamkan atributnya untukku.
***
Tiba di Sukabumi, sudah hampir jam delapan malam. Daerah ini masih asri. Tak banyak orang yang berlalu lalang, sempat membuatku takut.
Selama perjalanan, aku terus berpatokan mengikuti arah Google Maps. Hingga yakin, alamat yang dikirim Sajna sudah benar. Rumah berukuran besar dengan cat berwarna putih yang terletak paling ujung.
Makanan yang akan kuantar untuknya, juga sudah dibeli. Hanya saja, aku masih memikirkan cara, bagaimana bisa menemui wanita itu dengan seragam ojek online?
Tak kehabisan ide, aku memesan kendaraan dari handphone baruku.
"Ibu Aleia?" tanya driver itu memastikan. Aku langsung keluar dari mobil dan mencoba berbicara dengannya.
"Ya Mas ... begini. Sebenarnya, saya nggak perlu jasa Mas, tapi saya butuh seragam Mas."
Ia terlihat ragu menyimak ucapanku.
"Saya akan bayar. Mas bisa tunggu di mobil saya ini. Tenang Mas, tidak akan disalahgunakan. Saya hanya ingin memberi kejutan untuk seseorang di rumah itu!" Aku menunjuk rumah yang kuyakini adalah rumah Sajna. "Ini satu juta rupiah. Mas bisa awasi saya dari sini, bagaimana?"
Kuserahkan sepuluh lembar uang yang telah disiapkan sejak tadi. Dengan uang segitu, aku yakin ia takkan menolak.
"Baik, Bu ... tapi takutnya Ibu nggak nyaman karena jaket dan helm ini sudah saya pakai seharian."
"Nggak apa-apa, itu nggak masalah buat saya."
***
Sepeda motor milik ojek online itu, kuhentikan di depan rumah besar bercat putih. Setelah mengucap salam, seorang wanita paruh baya, datang membukakan pagar.
"Permisi ...."
Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu menyambut kedatangan ku dengan tergopoh-gopoh.
"Benar ini rumah Mbak Sajna?"
Belum sempat ia menjawab, seorang wanita yang kuperkirakan seumuran denganku, datang dengan kursi rodanya hingga membuatku terbelalak menatapnya.
Ia cantik, sangat cantik. Wajahnya sangat mirip dengan Mas Tio. Kalau memang ia adalah ibunya Thalita, mungkinkah mereka memang pasangan yang sesungguhnya? Bukankah kata orang jodoh itu sangat mirip?
"Mbak mau antar kiriman, ya?" tanyanya ramah. Aku membetulkan letak helm yang sejak tadi terus merosot. Mungkin karena terlalu besar, atau aku yang kesulitan menggunakannya.
"Betul, Mbak," jawabku sambil membenahi masker. Aku khawatir, ia akan mengenaliku.
Perempuan tua itu lalu meraih bungkusan dari tanganku.
"Ini dari Bu Rianti? Apa dia sedang berada di sini?"
Aku harus menjawab apa? Bagaimana jika ia langsung menghubungi Mama mertuaku itu?
"Maaf Bu, saya hanya di suruh mengantar dari toko ini." Tanganku menunjuk nama dan alamat toko kue yang tertera di dalam paper bag itu.
"Mbaknya sendirian? Malam-malam begini, apa tidak takut? Jalanan sudah sepi lho, Mbak." Sajna terlihat khawatir menetapku.
Untuk sesaat, aku berpikir dan mencari cara agar bisa mengorek keterangan apa saja.
Selain sudah terlanjur sampai sejauh ini, entah kapan aku bisa kesini lagi.
"Saya sudah biasa, Mbak. Tadi saya muter-muter dulu, ingin cari toilet, tapi nggak ada pom bensin," kataku beralasan. Tentu untuk mengulur waktu.
"Kalau mau ke toilet, silahkan saja, Mbak, jangan di tahan." Sajna menawarkan. Tentu saja aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku segera menyetujuinya.
"Helmnya, nggak dibuka dulu?" tanya Sajna.
Ah, iya! Aku sampai tak sadar kalau belum membuka helm.
Sajna lalu meminta perempuan tua yang ia panggil dengan sebutan Mak Siti itu untuk mengantarku ke toilet.
Melewati ruang tamu dan keluarga mataku terus meluas mencari foto atau petunjuk apapun. Sayang, nihil! Tak ada satupun foto keluarga yang menguatkan, kalau ada hubungan sesuatu antara Sajna dengan Mas Tio.
Pikiranku lalu berspekulasi sendiri. Apa mungkin, ia menyerahkan Thalita padaku karena kondisinya yang tidak bisa berjalan itu?
Tapi ... bagaimana hubungannya dengan Mas Tio? Kenapa ia tidak memasang foto pernikahan atau foto lainnya?
Setelah berpura-pura buang air kecil sebentar, aku keluar dari toilet setelah mendengar Mak Siti pamit ke dapur.
Sebuah bingkai foto yang diletakkan terbalik, di sebuah meja yang terletak di depan kamar mandi, menarik perhatianku. Itulah satu-satunya bingkai foto yang kutemui di rumah ini.
Perlahan, tanganku mulai menyentuh bingkai itu ...
"Mbak!!!"