Seminggu yang lalu...
Tangannya segera memencet tombol yang bertuliskan B-E-L di bawahnya ketika sampai di depan pintu rumah dengan cat bernuansa hijau khas. Samar-samar suaranya terdengar dari arah dalam rumah.
Ting ... tong ... Assalamualaikum. Tidak berselang lama Nobel yang sedang di dapur menuju ke depan untuk membukakan pintu. Nobel segera menyambar kerudung instan yang sengaja diletakkan di tempat strategis guna berjaga-jaga jika harus mendadak keluar rumah. Slupp jadi.
"Perasaan nggak ada janji dengan orang. Siapa yang datang?" gumam Nobel penasaran. Segera ia membuka pintu dan mendapati gadis yang sangat ia kenali.
"Alaikumsalam."
Nobel mematiung. Dilihatnya wanita bertubuh jenjang datang dengan membawa koper besar dan tas slempangan berwarna serasi dengan busana yang dikenakannya. Tidak ketinggalan kacamata hitam yang bertengger di atas kepalanya membuat tatanan rambutnya yang terurai terlihat rapi.
Mau apa dia datang kemari? Bukankah cerita mereka telah usai? Ya Allah, apa yang sebenarnya Engkau rencanakan? gumamnya dalam hati.
"Eh Quin, sudah datang, Sayang?" Suara dari belakang memecah ketegangan hati Nobel. Tidak lain tidak bukan suara itu milik Banowati_ibu mertuanya.
"Barusan kok, Tan."
Quin membenahi posisi kacamatanya yang dirasa miring. Kemudian mengibaskan tangan ke depan muka Nobel. "Woy, Mbak, kok bengong? Lupa sama aku?" Sambil telunjuknya diarahkan ke hidungnya sendiri. Quin terkekeh.
"Eh ... emm ... enggak, kok." Nobel masih berdiri kaku di depan pintu. Memasang senyum terbaiknya untuk Quin meski terpaksa, sembari mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan dengannya.
"Apa kabar Quin? Lama tak jumpa."
"Seperti yang kamu lihat, Mbak." Quin merentangkan kedua tangannya dan terkekeh.
"Sini, Sayang, peluk dulu, duh, Tante kangen." Banowati menghampiri Quin yang masih di depan pintu dan memeluknya penuh kehangatan. "Masuk, yuk. Kamu pasti capek," ajak Banowati sambil merangkul Quin tanpa memperdulikan Nobel yang masih berdiri di situ_samping pintu.
"Permisi, ya, Mbak."
Quin melewati Nobel dengan tubuhnya yang lebih mirip gitar Spanyol itu. Memang Nobel tidak kalah cantik. Hanya saja kesederhanaan yang selalu ditunjukkan Nobel sebagai ibu Persit membuat dirinya kalah fashion dari Quin.
Aquina Paramitha namanya. Lebih akrab dipanggil Quin. Dia datang setelah beberapa hari yang lalu Banowati berkomunikasi lewat telpon dengannya. Sengaja Banowati mengundangnya karena Quin baru saja dialih tugaskan di Kota ini. Saat ini, Quin belum memiliki tempat tinggal. Apartemen yang akan disewanya belum memberikan kepastian kapan bisa ditempati karena baru direnovasi. Sedangkan dirinya harus masuk kerja seminggu lagi. Mau tidak mau Quin harus mencari tempat tinggal sementara hingga apartemen yang disewanya siap ditempati.
Beruntung Banowati_sahabat mamanya tau tentang kabar kepindahan Quin. Tanpa meminta pertimbangan dari si pemilik rumah, Banowati mengundang Quin untuk tinggal tinggal sementara di rumah Panji.
"Bel, untuk sementara waktu biar Quin tinggal di sini, ya. Kamu tidak keberatan, kan?"
"Terserah Mas Panji saja, Ma, kalo Nobel tidak keberatan."
Nobel segera menutup pintu dan mengekori mereka berdua. Ada rasa ketidakrelaan pada diri Nobel jika Quin tinggal rumahnya. Namun, Nobel lebih tidak kuasa jika harus berseteruh dengan mama mertuanya jika keinginanya tidak dipenuhi.
"Kalo Panji, sih, sudah pasti nurut sama mamanya."
Banowati mengajak Quin duduk di kursi tamu. Sementara Nobel beranjak ke dapur setelah mendapatkan kode dari Banowati untuk membuatkan minuman.
Tiga cangkir teh hangat dan camilan siap untuk dihidangkang. Baru akan melangkah keluar dapur, Nobel mengurungkan niatnya. Diletakkannya kembali nampan ke atas meja. Perasaannya kacau, ingin rasanya Nobel menolak keputusan Banowati. Tapi apalah daya, Nobel hanya pasrah dengan keputusan mama mertuanya. Keputusan yang akan berpengaruh pada ikatan pernikahannya dengan Panji.