Matanya berkabut, sesekali buliran bening muncul menggenangi kelopak mata Nobel. Di bawah terangnya sinar rembulan, si pemilik wajah ayu itu memilin scraf yang sebagian tampak basah oleh air matanya. Meski telah berjam-jam duduk di taman belakang, tidak membuat suasana hati Nobel tambah membaik. Baginya, mengingat kejadian itu selalu membuat hatinya ngilu.
"Nduk, sana temui suamimu!" Dengan nada lembut namun tegas, suara itu memecahkan keheningan di sekitar taman. Rama Efendi_yang tak lain adalah ayah Nobel sudah berdiri di belakangnya sejak beberapa saat yang lalu.
Mas Panji, ku kira dia tak akan datang, batin Nobel masih memilin ujung scrafnya yang mulai kusut. Nobel hanya menoleh sebentar kemudian melanjutkan aktivitasnya kembali."Nobel mau di sini dulu, Pa," ucapnya pada sang papa.
"Kalo punya masalah itu diselesaikan. Jangan dihindari seperti ini! Ayolah, Nduk, jangan seperti anak kecil!" bujuk Rama sembari memeluk putrinya dari belakang. "Jangan pernah meninggalkan rumah tanpa seizin suami, Nduk! Apalagi dalam keadaan marah. Allah nggak suka." Rama mengusap bahu Nobel setelah mengurai pelukannya.
"Tapi, Pa, Nob_." Belum sempat Nobel melanjutkan sanggahannya, Rama sudah memotongnya.
"Papa suruh Panji ke sini ya, Nduk." Tak sempat Nobel mencegahnya, Rama sudah beranjak meninggalkan bangku taman dan masuk ke dalam rumah.
Nobel menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. Sejujurnya ia merindukan Panji_suaminya_, namun tak bisa dipungkiri rasa sakit, kesal dan kecewa masih bergemuruh di dadanya. Nobel menengadahkan kepala dengan mata terpejam. Hembusan nafas yang hangat seketika menyapu pipinya yang mulai dingin akibat udara malam. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan sang suami. Karena sejujurnya akar permasalahan yang sedang dihadapi bukan berasal dari Panji.
"Aku masih mau di sini, Mas." Nobel membuka suara tanpa memastikan siapa sosok yang sedang mendekatinya. Aroma parfum maskulin yang menyeruak sejak beberapa detik lalu menjadi sinyal tersendiri bagi Nobel.
"Pantas kamu pengen di sini terus. La wong di sini indah banget tempatnya. Apalagi untuk orang yang lagi ngambek," gurau Panji. "Dek, pulang ke asrama, yuk!" ajak Panji sambil menyapu air mata istrinya dengan jari telunjuknya. "Mas, nggak masalah kalo kamu mau di sini, tapi setidaknya bukan saat kamu marah seperti ini. Tempat ini buka tujuan pelarian, Dek. Ini rumah Papa yang harusnya ketika kita datang membawa kebahagiaan. Jadi kasihan, kan, Papa." Bujukan Panji belum juga meluluhkan kerasnya hati istrinya itu.
"Setidaknya tempat ini yang membuat hatiku jadi tentaram, Mas." Nobel beringsut dari posisi duduknya, memberikan tempat untuk Panji duduk bersanding dengannya.
Panji segera menempati sebagian bangku yang disediakan istrinya. Ia melipat tangannya di dada sambil menatap rembulan yang memperlihatkan kesempurnaannya malam ini. Pria berambut cepak itu kembali menatap istrinya. "Terus mau sampai kapan? Mau sampai kapan lari dari masalah? Nggak baik loh kayak gini. Apalagi kamu ketua ranting, Dek. Kamu punya anggota. Harusnya bisa memberikan contoh yang baik kepada anggotanya. Kalo hanya masalah seperti ini aja kamu kabur-kaburan, bagaimana kalo dicontoh anggotanya? Bagaimana kalo jadi sorotan atasan, Bu Dankinya nggak bisa ngasih contoh yang baik ke anggotanya? Kira-kira malu nggak, Dek?" Panji mencoba membujuk istrinya.
Nobel berpikir ada benarnya perkataan suaminya itu. Terlebih suaminya merupakan orang nomor satu di kompinya. Jika anggotanya sampai tahu, bakalan jadi perbincangan seantero kompi bahkan lebih dari itu. "Baiklah, Mas, aku ikut pulang ke asrama. Tapi bagaimana dengan Rino? Anaknya sudah tertidur pulas, kasihan kalo dibangunin." Akhirnya Nobel mengiyakan ajakan suaminya untuk pulang ke asrama.
"Aku ada IB, jadi malam ini kita nginap di sini, besok siang baru kita pulang." Panji mencubit gemas hidung istrinya dan dibalas anggukan oleh Nobel sebagai persetujuan.
Bersambung...