“Jadi uangmu habis, Nang?” tanya Ibu setelah selesai mandi, menikmati secangkir teh melati hangat dan martabak telur.
“Gampang, besok aku cari lagi, Bu,” ujarku sembari membersihkan badan gitar, memeriksa tali senarnya.
“Sebenarnya Ibu baru akan membayar kontrakan dua hari lagi, nunggu gajian. Mpok Enon kurang sabar,” gerutu Ibu.
“Biar saja, Bu, mungkin Mpok Enon lagi butuh uang. Katanya buat bayar sekolah anaknya,” ujarku.
Ibu tidak menjawab, hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya. Diam-diam Ibu memperhatikan keasyikanku mengulik gitar, kulihat itu dari sudut mataku.
“Nang…”
“Ya, Bu.”
“Kamu nggak pengen kerja yang benar?” Ibu mulai lagi dengan kata-katanya yang tidak pernah berubah, Jujur, aku bosan mendengarnya, aku bahkan nyaris ingin meledak, sebab sudah kujelaskan berkali-kali pekerjaanku mengamen ini benar, bukan iseng.
Aku menyanyi dengan sepenuh hati, mempelajari nada, kunci, dan menguras energiku berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Uang yang kudapat juga halal, dan hatiku bahagia dengan itu semua.
“Di tempat Ibu bekerja lagi butuh tenaga laki-laki untuk belanja dan—“
“Tidak, Bu!” jawabku tegas. Kuletakkan lap kain yang kugunakan untuk mengelap badan gitar, aku berbalik menatap ibuku serius. “Kalau hanya uang sejuta dua juta perbulan, aku bisa mendapatkannya, Bu, tapi jangan paksa aku bekerja seperti itu. Itu bukan duniaku, Ibu mengerti itu,” ujarku.
“Tapi mengamen itu tidak punya harapan pasti, Nang, bisa jadi bulan ini kau dapat dua juta, bulan depan kau tidak dapat apa-apa. Sementara—“
“Ibu, kalau masih ingin aku di rumah ini, jangan memaksakan apa yang tidak bisa aku lakukan,” potongku terpaksa tegas. Aku tahu itu akan melukai hatinya, tapi aku tidak ingin memupuk harapan Ibu. Ibu pasti berharap aku bisa bekerja di tempatnya bekerja atau bekerja tetap lainnya.
“Kamu mau Ibu kreditkan motor?” diluar dugaan Ibu tidak tersinggung dengan ucapanku seperti biasa, bahkan kini menawarkan motor. Tentu saja aku menggeleng keras.
“Tidak, aku tidak ingin Ibu berkerja keras untuk membelikan hal-hal yang tidak penting,” kataku.
“Nang, motor itu penting, kau bisa ngojek seperti Pakde. Dari pada uang Ibu buat bayar Pakde, mending kau yang antar jemput Ibu sambil ngojek. Hasilnya lebih jelas, dan—“
“Ibu sayang, Ibu tercinta, aku mohon jangan paksa Lanang bekerja yang aneh-aneh. Pokoknya Lanang mau jadi penyanyi, titik.” Aku bangun dari lantai, aku lelah jika harus berdebat soal pekerjaan sama Ibu.
Kugantung gitarku di dinding, lalu pamit ke luar untuk nongkrong bersama anak-anak muda. Hal yang sebenarnya tidak aku suka, tapi ketimbang aku di rumah berdebat dengan Ibu dan berujung menyakiti perasaannya, lebih baik aku nongkrong sampai ngantuk baru pulang. Seperti ini jika aku di rumah, makanya aku kerap tinggal di kost teman-teman.
…
“Nyanyi, Lan, nyanyi!” teriak seorang laki-laki berusia tidak jauh beda denganku, dia anak tetangga samping rumah. Sudah lulus STM dua tahun lalu, dan kini katanya bekerja di sebuah bengkel cukup besar.
“Gak bawa gitar,” sahutku malas-malasan. Kadang aku berpikir, keramaian anak-anak muda di gang ini tentu cukup mengganggu warga. Tapi memang tidak ada tepat lain, anak-anak muda butuh wadah ketika tidak betah di rumah. Makanya warga jadi maklum, asal pukul 12 malam harus sudah bubar.
“Ini pakai gitar gue, nyanyiin lagu Noah ya. Nanti gue beliin camilan.” Seorang anak muda dengan rambut dikuncir menyodorkan gitar, dia keponakan Mpok Enon yang gencar jodohkan aku sama sepupunya, Sofie.
Akhirnya aku menuruti permintaan teman-teman yang sudah tidak sabar, setiap aku kumpul memang selalu didaulat menyanyi. Apalagi aku jarang kumpul, sekalinya kumpul otomatis semua akan kompak request lagu-lagu sampi rela ada yang beli camilan, kopi sachet, rokok. Solidaritas gang kumuh ini luar biasa kuat, yang membuat mimpi-mimpi pupus karena kebahagiaan semu.
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah aku di sini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Serempak semua ikut menyanyikan lagu Noah yang hits itu, tidak hanya sekedar teriak-teriak, ada juga yang menari-nari tidak karuan. Sesederhana ini kebahagiaan mereka, yang sejujurnya bisa menghapus sejenak beban hidup masing-masing. Termasuk beban yang menekan dadaku barusan, setidaknya aku kembali ke rumah dengan hati sedikit longgar.
“Sebelum tidur, makan dulu nasi goreng yang Ibu bawa tadi, Nang. Itu sudah Ibu hangatkan.” Ibu ternyata belum tidur, padahal besok Ibu harus berangkat ke warteg pukul 6 pagi.
“Kenapa Ibu nggak tidur?” tanyaku.
“Nanti kamu nggak makan, Ibu lupa bilang kalau bawa nasi goreng kambing kesukaanmu,” kata Ibu serak. Wajahnya terlihat lelah, dan mengantuk.
“Tidur, Bu, besok Ibu harus bekerja kan? Oya, besok Lanang mau pergi ketemu seseorang, Ibu tahu kemeja kotak-kotak biru yang dulu Lanang pakai buat PKL?” aku jadi teringat pesan Kinan untuk datang rapi dan wangi.
“Kau mau melamar kerja?” wajah Ibu yang letih berubah ceria, sinar matanya penuh harap.
“Belum tahu juga, Bu, tapi sepertinya orang itu tertarik dengan suaraku,” kataku pelan, karena aku agak khawatir jika membicarakan perihal menyanyi harapan Ibu akan pecah.
“Bukan kantoran, Nang?” tanya Ibu dengan raut berubah, seperti yang aku perkirakan.
Aku menggeleng.
“Sudahlah, jangan datang. Paling juga penipu, mau jadiin kamu artis atau penyanyi, nanti minta uang, atau malah hal berbahaya lainnya,” tukas Ibu hilang simpati. “Meski kamu kere, rupamu bagus. Mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, Ibu takut, Nang.”
Aku tertawa lirih, rasanya tidak mungkin Kinanti berbahaya. Lagi pula aku laki-laki, apa yang bisa mereka lakukan? Foto bugil? Adegan mesum? Aku bisa menghajar mereka sampai terkapar, begini-begini aku paling ditakuti kawan-kawan di jalan. Aku berani mati, karena hidupku sudah seperti mati. Jadi apa yang aku takutkan?
“Nang,” panggil Ibu melihat aku hanya terdiam saja.
“Ya, Bu.”
“Hati-hati ya, Ibu tidak mau kehilangan kamu, Nang.”
Aku jadi sedih mendengar suara Ibu, kupeluk wanita itu. Kucium keningnya, “Maafkan Lanang kalau banyak salah ya, Bu,” bisikku, karena aku tidak bisa berjanji untuk tidak datang ke tempat Kinanti. Hatiku mengatakan, aku harus ke sana. Ada masa depan yang bisa aku jemput di sana, belum pernah aku seyakin ini.
“Sudahlah, sekarang kau makan nasi gorengnya. Habis itu tidur, besok jangan ke mana-mana. Tunggu sampai Ibu pulang, kecuali kau mau pergi mencari kerja yang benar, Ibu tidak akan melarangmu,” kata Ibu sebelum beranjak ke kamarnya.
Aku hanya mengangguk kecil agar Ibu tidak bicara panjang lebar lagi, wanita itu harus istirahat. Besok aku akan menjemput impian, walau aku tidak tahu untuk apa Kinanti memanggilku ke kantornya. Kalau jadi satpam atau OB, aku akan menolak keras, batinku seraya menghabiskan nasi goreng kambing yang Ibu bawa tadi. Aroma dan rasanya sangat lezat, ini pasti mahal. Ibu lagi-lagi menghabiskan uangnya hanya untuk menyenangkan perutku.