Sebungkus Tempe Orek
“Bapakmu mati! Bapakmu mati!” suara Ibu menggerung di telingaku, membenturkan akan semua pertanyaanku tentang Bapak, selalu. 
“Mati karena apa, Bu?” 
Aku selalu ingin tahu kenapa bapakku mati? Sejujurnya aku sering tidak percaya sama ucapan Ibu, karena Ibu selalu mengucapkanya dengan amarah. Bahkan mungkin dendam karena di bola matanya yang bening, salah satu jejak yang masih tersisa kalau dulu Ibu adalah wanita berparas cantik. Sementara kini?
Wajah Ibu tidak lagi simetris, mulutnya merot ke kiri, sehingga dagunya jadi seperti terdorong ke kiri juga. Tangan kirinya sedikit melengkung ke dalam dengan jemari yang tidak bisa membuka sempurna, begitu juga kaki kirinya harus diseret ketika berjalan. Bicaranya pun tidak begitu jelas, secara keseluruhan Ibu tidak sempurna, tapi aku mencintainya sepenuh jiwa.
Hanya saja aku kecewa, karena wanita itu selalu menyembunyikan siapa bapakku? Sejak aku bisa bertanya, siapa bapakku? Sampai aku mengamuk, di mana bapakku? Hingga aku lelah, dan malas bertanya. Namun aku jadi sering mimpi buruk bertemu laki-laki yang seolah dalam mimpi, dia adalah bapakku. 
“Siapa kamu?” teriakku gemetar. Sosok di depanku tinggi besar, berparas tampan, tapi senyumnya bengis. Makanya aku bertanya, karena aku tidak  mungkin memilik seorang Bapak yang bengis. 
“Siapa kamu?” aku terus bertanya, dan seperti mimpi sebelumnya, laki-laki itu tidak mengeluarkan suara. Hanya tatapannya yang bengis menatapku seakan ingin melumatnya tanpa sisa, anehnya batinku berkata, dia bapakku. SETAN!
Aku terjaga dengan tubuh gobyos, basah keringat. Napas tersengal-sengal, berapa menit kemudian pikiranku baru bisa normal bahwa aku tengah bermimpi. Mimpi yang sama berulang, membuat aku kembali mengejar Ibu dengan pertanyaan yang sama, “Siapa Bapakku, Bu?”
“Kamu sudah dewasa, Nang. Sebaiknya cari pekerjaan yang benar, cari istri, dan jadi seorang Bapak.” Kali ini jawaban Ibu yang tentu saja dengan suara terbata, terdengar lebih bijaksana. Namun sesungguhnya semakin menusukku.
Usiaku sudah 20 tahun, aku hanya tahu ibuku, Sekar. Seorang wanita tanpa suami, bekerja di warteg sebagai tukang masak. Tidak kurang, tidak lebih. Aku juga tidak menemukan jejak Bapak di rumah, termasuk surat nikah, di kartu keluarga hanya ada namaku berdua Ibu. Apakah aku anak haram, atau aku anak pungut?
Ya, ya bisa saja aku hanya anak pungut. Ibu tidak laku di mata laki-laki, karena mungkin Ibu cacat sejak gadis. Sebab aku tidak berani bertanya soal kelainan dalam fisik Ibu, aku takut menyinggungnya. Aku tidak ingin melukai hatinya soal fisik, karena konon wanita begitu terbebani dengan masalah fisik, yang sempurna maupun tidak sempurna. Mungkin karena aku anak pungut, Ibu ketakutan jika aku tahu Bapakku, aku pasti dikiranya ingin kembali ke Bapak.
Hih! Aku meninju dinding kamar yang tampak rapuh karena hanya terbuat dari batako pasir dengan ditempeli semen seadanya. Ibu mengontrak rumah dengan harga sewa sangat murah, aku tidak perduli, yang penting bisa berteduh. Teman-teman sekolahku dulu tidak ada yang pernah ke rumah, selain rumah ini begitu sempit, terletak di lorong gang yang becek jika hujan, dan selalu lembab meski musim panas. Karena tidak terkena banyak cahaya matahari.
Kini, setelah usiaku 20 tahun, aku memiliki penghasilan dari ngamen ke warung-warung tenda, aku kadang jarang pulang. Tidur di rumah kost atau kontrakan temen sesama pengamen, sebab dengan tidak di rumah perasaan yang meremas-remas akan Bapak perlahan mengendur, meski nanti menguat lagi. Setidaknya aku memiliki jeda untuk tidak mengingat, siapa bapakku.
“Lan, lo nggak pulang?” sebuah suara mengejutkanku. Seorang laki-laki muda berperawakan kerempeng, berkulit hitam, mengenakan kaos tanpa lengan, menenteng gitar, berdiri di depan kamar kost. Dia adalah Andi, penghuni kost yang merupakan teman ngamenku. Bedanya Andi ngamen untuk tambahan uang jajan selama kuliah di Jakarta, sementara aku untuk bisa makan tanpa membebani Ibu.
“Dari kemarin lo tidur kayak orang kesambet, teriak-teriak, bangun bengong,” tukas Andi sambil menatapku lekat. “Ibu lo nyariin kali. Kemarin Ghafar ketemu Ibu lo, katanya Ibu lo tanya anaknya kenapa lama nggak pulang,” lanjutnya dengan senyum masam. Sebagai anak perantauan Andi memang sangat menghargai arti kehadiran orangtua.
“Ghafar ngamen di warteg tempat Ibu gue kerja?” tanyaku sambil mengusap wajah beberapa kali. Wajahku berpeluh, mimpi di siang hari yang membuat jantungku berpacu.
Andi mengangguk sambil menyambar kemeja kotak-kotak yang tersangkut di paku dinding. Meletakkan gitarnya, baru kemudian memakai kemeja kotak-kotak. “Gue jalan kuliah dulu, sebaiknya lo pulang, Lan,” katanya serius. “Kasian Ibu lo, sudah hampir sebulan lo tidur di sini.”
Aku menarik napas panjang, dan menghembuskannya. Pulang? Sampai di rumah hanya melihat rutinitas Ibu, jarang sekali tercipta obrolan. Meski aku tahu, jika aku tidur diam-diam Ibu sering  mengusap rambutku sambil menangis. Jika aku pura-pura terbangun, Ibu akan terburu-buru mengusap air mata dengan punggung tangannya, dan menawarkan teh hangat atau makanan agar aku tidak tahu apa yang dilakukan saat aku tidur.
Ah, Tidak seharusnya aku meninggalkan Ibu, tapi aku bosan di rumah. Jika Ibu pergi bekerja, selalu berpesan aku jangan mengamen. Uang Ibu cukup untuk hidup berdua, kalau ingin kerja jangan jadi pengamen. Aku punya ijazah, nilaiku  bagus, bahkan aku pernah mendapat tawaran kerja yang bagus. Namun aku keluar karena tidak suka dengan peraturan di tempat kerja yang banyak maunya, sejujurnya aku suka kebebasan, seperti bernyanyi.
“Lan…” suara Andi masih terdengar.
“Eh— Iya, iya, gue pulang,” kataku seraya bangun, mengambil handuk. Aku akan mandi, lalu pulang ke rumah kontrakan Ibu. Mendadak aku kangen tempe orek buatan Ibu yang sangat legit. Meski hanya dibumbui cabe, bawang merah, bawang putih, garam, kecap, tempe orek buatan Ibu super enak. Apalagi jika disantap dengan nasi hangat. Mungkin itu salah satu  yang membuat aku ingin pulang.
“Bu! Ibu!” panggilku saat tiba di warung tempat Ibu bekerja. Aku menyusul Ibu lewat pintu belakang warung, tepatnya di dapur umum yang kumuh dan penuh aroma bumbu.
Wanita itu tengah sibuk mengulek bumbu, menoleh dan menatapku nanar. Tidak ada suaranya, tapi ada air mata meleleh di pipinya.
Aku segera menghampirinya, khawatir kalau ada yang melihat air mata Ibu. Apalagi rata-rata wanita yang bekerja di warteg tempat Ibu ini cerewet, tidak jarang ikut menegurku kalau mendengar Ibu sedang mengomeliku. Habislah aku, jika mereka tahu Ibu menangis begitu melihat kedatanganku.
“Aku lapar, Bu,” bisikku sebelum Ibu membuka suara.
“Ibu bungkusi nasi tempe orek ya, bawa pulang. Makan di rumah, dan tunggu sampai Ibu pulang,” ujar Ibu sambil menyeka air matanya.
Aku hanya mengangguk. Menatap tubuh Ibu yang berjalan terseok menuju depan warung untuk membungkus nasi dan lauk. Biasanya selain tempe orek, Ibu akan memberikan sedikit sayur, dan menyelipkan sepotong ikan atau ayam. Aku tahu untuk ikan atau ayam, pasti Ibu akan membayarnya. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!