Daging Burung Goreng
Kontrak dua tahun dengan gaji 5 juta perbulan. 
Aku gemetar membaca surat kontrak sebanyak 3 lembar berisi beragam peraturan, fokusku tentu saja ke gaji yang akan dibayarkan. 5 juta buat kehidupan orang-orang berada mungkin kecil, tapi buatku ini pencapaian luar biasa. Bahkan lebih besar dari gajiku dulu.
5 juta, aku bisa menghidupi diri sendiri dan Ibu. Setidaknya aku akan membawa Ibu pada kontrakan yang lebih layak, membukakan warung kecil-kecilan agar Ibu tidak lagi bekerja setiap hari di warteg, bergumul dengan minyak panas, bau bawang, dan aroma rokok dari para pelanggan.
Aku mulai menghitung pemasukan dan pengeluaran. Ah, mimpiku terlalu besar ingin ini-itu, tapi ini adalah gaji terbesar yang pernah aku terima, dan itu dari hasil menyanyi. Aku tertawa keras, meluapkan kebahagiaan hari ini, dan aku ingin menjemput Ibu. Aku ingin menceritakan semuanya pada wanita itu.
Aku bergulir ke kanan dan ke kiri di lantai beralaskan tikar, membaca berulang-ulang surat kontrak yang diberikan Kinanti tadi pagi. Aku setuju, sangat setuju, tapi aku akan menandatanginya setelah Ibu pulang, di depan Ibu. Aku ingin membuktikan pada wanita itu bahwa suaraku memang layak untuk dibayar sebesar ini.
“Sudahlah, jangan datang. Paling juga penipu, mau jadiin kamu artis atau penyanyi, nanti minta uang, atau malah hal berbahaya lainnya,” ucapan Ibu terngiang di telinga, aku tersenyum sedih. 
Ibu memang begitu polos, tapi Ibu adalah wanita berhati baik. Ibu tidak pernah membenci seseorang dengan memakinya walau dirinya dihina, Ibu tidak pernah pamrih meski oranglain selalu memberinya karena tenaga yang diberikan Ibu. Satu-satunya amarah di mata Ibu hanya ketika aku membicarakan Bapak. Sebenarnya ada apa?
Apa Bapak seperti suami Mpok Enon, sudah jadi gossip umum kalau suami wanita gemuk itu tukang kawin, istrinya di mana-mana, padahal jabatan suami Mpok Enon hanya sopir angkutan umum. Akhirnya Mpok Enon menendang laki-laki itu, hidup mandiri dari uang hasil kontrakannya yang berjumlah 5 petak.
Kenapa Ibu tidak bisa bersikap seperti Mpok Enon, meski pisah dari suaminya yang seperti sampah masih bisa ceria, masih bisa menceritakan tentang suaminya ke anak-anaknya, setidaknya anaknya tahu siapa Bapak mereka. Tidak seperti aku, aku terlahir ke dunia ini seperti Adipati Karna dalam kisah Mahabharata, tidak tahu siapa Ayahnya.
Namun Adipati Karna akhirnya tahu dia putra Dewa Surya, lalu aku? Masa aku putra dewa juga, aku terbahak dengan pemikiranku sendiri. Jelas aku anak manusia, aku punya Bapak karena proses memiliki anak adalah proses yang diawali fertilisasi atau pembuahan, di mana******laki-laki bertemu degan ovum di rahim wanita. Pertanyaannya, sel******siapa yang membuahi Ibu?
Astaga! Aku memaki pelan seraya bangun dari lantai, menyimpan surat kontrak dalam laci lemari baju reot di sudut ruang tamu, lalu mengambil gitar. Aku harus banyak berlatih lagi. Kata Kinanti, nanti akan ada latihan sebelum aku show di kafenya agar tampil maksimal. Semoga saja tidak grogi, batinku sembari mulai memetik gitar.
Du-du-du-du-du, du-du-du
Kalau ini memang maumu
Silakan pergi, pergi menjauh dariku
Seharunya ku tak memulai semua
Semua cerita antara kita
Yang kini tinggal kenangan
(Bisa Tanpamu- Andmesh)
“Pakde!” panggilku. Pakde tanpa asyik mengobrol di pos dengan para tukang ojek yang merupakan warga sekitar tempat aku tinggal. Mereka memang biasa nongkrong di pos yang dijadikan tempat pangkalan ojek.
“Hei, ono opo, Nang?” Pakde langsung bangun dari duduknya. Jarang-jarang aku mencarinya kalau tidak ada perlu, karena itu Pakde paham betul kedatanganku.
“Aku bisa sewa motor Pakde buat jemput Ibu?” tanyaku sambil nyengir. Jujur, baru kali ini aku menyewa motornya untuk menjemput Ibu.
“Tumbenan, ada perlu sama Ibumu tho?” Pakde menatapku penuh tanda tanya.
“Lagi pengen aja, Pakde. Kalau gak biar aku nyewa mot—“
“Bisa dong, nih kuncinya.” Pakde memberikan kunci motornya padaku.
“Berapa Pakde?”
“Uangmu ono piro?” tanya Pakde, seperti biasa laki-laki baya itu tidak pernah memberikan tarif. Ini membuatku diam-diam berjanji, jika suatu saat aku memiliki rejeki lebih mau membelikan celana panjang buat Pakde. Sebab celana bahan cokelat pudar yang dikenakannya benar-benar sudah pudar, ada beberapa sobekan kecil di bagian bawahnya.
Aku langsung merogoh saku celanaku, di sana ada uang dua puluh ribu, “Nanti bensinnya aku penuhin, Pakde,’ ujarku seraya menyerahkan selembar uang dua puluh ribu.
“Makasih yo, Nang. Hati-hati bawa Ibumu, jangan ngebut-ngebut,” pesannya kebapakan.
Pakde memang baik sekali pada Ibu, kebaikan yang kurasakan jauh lebih besar ketimbang cinta lawan jenis. Karena di situ ada ketulusan tanpa pamrih, sebab tidak ada yang dapat dipamrihkan pada Ibu. Seorang wanita berstatus single parent yang tidak jelas, aku sendiri tidak tahu Ibu ini janda atau wanita yang memiliki anak di luar nikah. 
Ibu tidak cantik, buat orang yang baru pertama melihatnya mungkin akan kaget. Jadi kebaikan Pakde ini kadang terasa mengobati rinduku yang tidak pernah tuntas terhadap Bapak, meski hanya tipis-tipis saja. Karena Pakde kadang juga menjengkelkan jika sedang menggoda Mbak Tari, matanya yang teduh mendadak liar, dan mulutnya yang bijak berubah mesum. Aku sempat memergokinya saat datang ke warteg tempat Ibu bekerja. Aku yakin Bapak tidak seperti itu.
Jalan raya lancar, aku cepat sampai ke warteg Ibu, kebetulan Ibu pulang sesuai jam kerjanya karena sedang tidak ada pesanan, hanya memasakkan para pelanggan.
“Tumben jemput Ibumu?” suara Mba Tari yang nyaring menyambutku. Mungkin dia berharap Pakde yang datang, kadang Pakde datang membawakan oleh-oleh jajanan atau memberikan sedikit uang jajan, aku tahu dari Ibu. Mungkin supaya wanita itu tidak marah dirayu Pakde.
Aku hanya tersenyum, dan bersorak ketika Ibu muncul sudah rapi, siap pulang. Wajahnya sumringah melihat aku yang datang, dia berpamitan dengan Mba Tari sebelum naik ke motor Pakde yang kukendarai.
“Tumben kaum menjemput Ibu,” ujar Ibu saat motor yang kukendarai sudah menembus jalan raya, sesaat lagi azan Magrib. Suaranya dipenuhi bahagia.
“Aku ingin menyampaikan kabar gembira buat Ibu,” kataku dengan perasaan berdebar. Sudah lama aku menyimpan mimpi dengan menyanyi aku bisa membuktikan pada Ibu, ini adalah perkerjaan yang benar dan serius.
“Kabar apa? Kamu dapat pekerjaan tetap atau—“
“Nanti di rumah Lanang kasih tahu, sekarang kita buru-buru pulang, makan malam sambil—“
“Aduh, Ibu baru ingat tidak bawa apa-apa, kita mampir beli daging burung goreng ya buat makan malam,” ujar Ibu seraya memberi aba-aba saat motor mendekati gerobak daging burung goreng yang mangkal di pinggir jalan menuju rumah.
“Beli dua puluh ribu saja,” kata Ibu seraya  memberikan selembar dua puluh ribu saat motor kuberhentikan di depan gerobak penjual daging burung goreng. Ada burung puyuh yang digoreng utuh, ada burung belibis yang dijual dengan dipotong-potong, aku membeli daging burung belibis bagian paha yang lumayan berdaging.
Sebenarnya lebih enak daging burung puyuh, lebih empuk, tapi harganya lebih mahal. Makanya aku memilih daging burung belibis yang lebih murah, tapi rasanya cukup gurih sekali meski dagingnya sedikit alot. Enak buat lauk nasi hangat.
“Cepat kau ceritakan berita gembira itu,” kata Ibu setelah di rumah, aku asyik menggerogoti daging burung goreng.

Komentar

Login untuk melihat komentar!