Kulepas semua yang kuinginkan
Tak akan kuulangi
Maafkan jika kau kusayangi
Dan bila kumenanti
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah aku di sini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Di sebuah kedai kopi yang cukup aku kenal, sehingga pemiliknya mengijinkan untuk mengamen di sana. Karena pengunjung juga suka suaraku yang katanya sangat bagus, memiliki karakter. Jadi lagu siapa pun yang aku nyanyikan , tetap akan terdengar berbeda.
“Lo tuh cuma apes aja, Lan, padahal suara dan tampang lo lebih kece dibanding Aril.” Begitu canda teman-temanku, selalu.
Apa memang hidupku ditakdirkan apes, sampai Bapak sendiri pun tidak memilik rindu padaku. Kalau Bapak memiliki rindu, pasti laki-laki itu akan datang padaku. Dulu, dulu selagi aku bayi, atau aku kanak, atau remaja, atau—
“Bisa request lagu?” sebuah suara empuk menyapa telingaku. Sepasang matanya yang bening menatapku ramah, dan rambutnya yang lurus pekat bergoyang ketika gadis berusia matang itu tersenyum.
Aku mengatakannya berusia matang, karena dari garis wajahnya meski cantik dan terawat, dia bukan gadis belia. Gesturenya, suaranya, mungkin berusia sekitar dua puluh lima tahun, dan pasti seorang wanita karir melihat dari penampilannya yang ‘wah’. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya itu terlihat mahal, bagus.
“Halooo!” gadis berambut lurus itu mengulurkan tangannya, dan menggoyang-goyangkannya di depanku.
“Eh—“ aku gugup, terbatuk-batuk kecil sehingga gadis itu terbahak.
“Dia grogi disapa gadis cantik,” bisik teman gadis itu, yang duduk di sebelahnya mengenakan hijab biru langit, asyik menikmati sepiring roti bakar.
Aku nyengir. “Request lagu apa?” tanyaku ramah, sambil mengelus gitarku. Ini gitar akustik yang kubeli dengan niat tinggi. Aku nabung selama bertahun-tahun, itu pun hanya bisa beli yang bekas dari seorang kolektor yang menjual padaku karena terkesan dengan suaraku. Katanya, gitar ini terbuat dari kayu rosewood yang langka dan mahal.
Kayu rosewood lebih mahal dari kayu maple, karena kayunya lebih kuat dan berat. Sehingga nada suara yang dikeluarkan lebih hangat dengan resonansi, dan volume yang besar. Aku sangat cocok, gitar dan diriku sudah seperti satu jiwa yang tidak terpisahkan. Kalau kata Ibu, “Pacarmu itu gitar ya?”
“Bisa nyanyi lagu barat?” gadis itu mengerling, seperti menggoda kemampuanku. Dia belum tahu, meski aku anak gang kumuh, pengucapan bahasa inggrisku selalu mendapat nilai tinggi. Aku tidak pernah les, hanya sering mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu barat, seperti lagu-lagu milik The Beatles,
“Mau yang judul apa?” tantangku.
“Apa saja yang kau bisa?” ujarnya dengan ekspresi sedikit meremehkan.
Aku mulai menggerakan jemariku. Ada satu lagu yang sejak aku SMP sering aku nyanyikan, awalnya lagu itu aku temukan di tumpukan barang bekas milik Ibu, berupa kaset. Kaset tanpa cover, dan begitu aku coba di tape, ternyata sekumpulan lagu-lagu The Beatles. Aku suka dengan salah satu lagunya, Don’t Let Me Down.
“Hey, don't let me down… Don't let me down… Don't let me down.. And from the first time that she really done me..”
Saat petikan gitar terakhir, baru akan aku membuka suara, tepuk tangan gadis itu memecah kesunyian. Bahkan dia kini berdiri tepat di depanku sambil menatapku dari atas ke bawah.
“Kamu mahasiswa?” tanyanya.
Aku menggeleng, “Pengamen biasa yang punya cita-cita jadi penyanyi,” kataku sambil nyengir. Aku sudah terbiasa mendengar pujian seperti itu, kadang aku berharap bertemu dengan seorang produser musik atau pencari bakat seperti di film-film. Tapi ternyata itu impian naïf, dua tahun aku mengamen hanya mendapat muntahan pujian saja.
“Serius kau ingin menjadi penyanyi?” gadis itu membeliakan matanya.
Aku menahan tawa, aku berpikir gadis cantik ini pasti tengah menggodaku, seolah dia adalah malaikat yang akan mewujudkan mimpiku.
“Kamu punya canel youtube?”
Aku menggeleng. Aku tidak punya media sosial selain instagram, itu pun hanya berisi 3 foto gitar saja.
“Gila!” maki gadis itu.
Aku terbengong.
“Kamu tahu nggak?” katanya penuh nada kesal, entah kenapa.” Suaramu bagus, punya karakter. Kalau kamu punya akun youtube pasti akan banjir fans, jadi duit. Selain itu namamu akan terkenal, mimpimu jadi penyanyi akan terwujud,” cerocosnya.
“Terima kasih sarannya, Mba,” kataku seraya hendak berbalik karena gadis itu tidak kunjung memberi uang. Sebentar lagi pukul delapan malam, Ibu mungkin akan tiba di rumah. Jangan sampai Ibu mengira aku pergi lagi, hatinya bisa patah karena tadi di warteg saat aku temui, wajahnya begitu sumringah melihat aku pulang.
“Tunggu!” panggil gadis itu.
Aku menoleh, kulihat gadis itu mendekat lagi.
“Ini kartu namaku, kalau besok kau ada waktu datanglah. Aku tunggu pukul 10 pagi, berpakaian yang rapi dan wangi ya,” kata gadis itu seraya memberikan selembar kartu nama, dan selembar uang seratus ribu rupiah.
Aku terdiam menatap kartu nama dan selembar uang seratus ribu rupiah di telapak tanganku.
“Siapa namamu?” tanya gadis itu lagi.
“La— Lanang,” desisku.
“Jangan sampai tidak datang ya, kalau kau ingin mewujudkan mimpimu.” Habis berkata demikian, gadis itu kembali ke kursinya tanpa menoleh lagi. Asyik bicara dengan temannya. Entah apa yang dibicarakan, tapi temannya berulang kali melirik ke arahku. Mungkin gadis-gadis itu menganggumi wajahku, selorohku dalam hati.
…
Tidak hanya sekotak teh melati buat Ibu, tapi aku juga membelikan sekotak martabak telur kesukaan Ibu. Nanti akan aku sajikan saat Ibu sudah sampai rumah. biar masih terhidang hangat. Sembari menunggu kedatangan Ibu, kuamati kartu nama pemberian gadis di kedai kopi tadi. Nama gadis itu Kinanti.
Wajahnya bulat telur dengan rambut bagai tirai, senyumya lembut, dia terlihat berada, kaya, tapi tidak ada pandangan bengis di wajahnya. Dia memandangku dengan ramah, bersahabat, dan kagum. Ya, ya, gadis itu mengagumiku seperti gadis-gadis kebanyakan. Tapi biasanya gadis-gadis kalangan atas akan bersikap sombong kepada laki-laki sepertiku, miskin. Namun gadis itu tidak.
“Don't let me down.. And from the first time that she really don—“ suaraku terputus saat mendengar suara mesin motor butut yang amat aku kenal, itu suara motor Pakde yang memasuki gang menuju rumah ini.
Ibu sudah pulang, bergegas aku ke dapur menjerang air untuk menyeduh teh melati, meletakkan martabak telur di atas piring keramik yang tepiannya sudah gopel. Lalu berlari ke depan untuk membukakan pintu, terlihat Ibu berdiri di depan pintu, ditangannya ada kantong plastik hitam dengan aroma nasi goreng.
“Baru mandi, Nang?” tanya Ibu saat melihat rambutku basah. Aku memang sehabis pengamen tadi, pulang langsung mandi.
“Kalau mandi jangan kemalaman, nanti kamu kena rematik,” lanjut Ibu seraya menyeret langkahnya ke dapur.
“Ibu mandi saja, biar aku yang menyiapkan semuanya. Aku akan membuatkan Ibu teh melati hangat,” kataku sembari mencegah langkah Ibu ke dapur.
“Kamu—“
“Aku tadi beli teh melati dan martabak telur kesukaan Ibu,’ bisikku sambil mencubit pipi Ibu yang lembut.
“Kamu punya uang, Nang?” tanya Ibu polos, ada tatapan haru di wajahnya yang merot.
“Punya dong, Bu, tadi aku sudah menyicil uang kontrakan juga, tapi baru dua ratus ribu,” ujarku malu-malu.
Ibu tidak berkata apa-apa, sepertinya wanita itu dibungkam rasa haru yang dalam. Seperti biasa, Ibu menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata, dan terburu-buru meletakkan kantong plastik hitam yang dibawanya ke meja, untuk segera masuk kamar mandi.
…