Subuh yang utuh. Kegalauan semalam membuat sahur rasa hambar. Meski tenang saat berangkat ke masjid, tetap saja muka tegang. Kabar baiknya, tak sejumputpun sempat mengantuk. Tuntas sampai kuliah subuh.
Nampaknya, menyimpan pertanyaan menjadi pilihan Fajri. Ia memilih diam sepanjang pagi. Ummi bukan tidak tahu. Hanya berusaha mengendapkan rasa yang bergolak. Meski makin mendekati pukul tujuh, gejolak itu makin tak terkendali.
“Ummi sudah mendapatkan ide?” Sesaat setelah rapi memakai seragam pramukanya, tagihan melayang.
“Sudah, Dek. Alhamdulillah.”
“Oya? Apa, Mi?” Berbinar matanya. Sungguh, melihat itu, serasa tak ada lagi kebahagiaan paripurna melebihi ia.
“Adek itu laki-laki. Satu-satunya anak cowok yang Ummi miliki. Kelak, Adeklah yang melindungi Ummi dan Mbak. Maka Adek harus kuat. Jadi anak pemberani.”
“Idenya itu, Mi?” Kebingungan menyergap. Binarnya redup, berganti tanda tanya yang rumit.
“Bukaaaan, Dek. Sabar, dong.” Kami akhirnya tertawa lepas.
“Adek pasti bisa! Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa. Sekarang siap-siap dulu, ya. Ummi juga harus segera berangkat.” Ekor mata ummi melirik jam dinding. Hampir terlambat. Bergegas berkemas. Menyambar kunci dan berlalu.
Tiba di teras, menemui abi. Mengobrol sebentar, secepat kilat.
“Tolong ya, Bi. Ini urusan lelaki. Ummi percaya, Abi pasti bisa. Assalamu’alaikum.”
Bismillah, starter. Ada debar tak tenang yang menyeruak datang. Berkecamuk di dalam dada. Memilih untuk percaya pada kemampuan suaminya. Setelah kejadian azan, ummi merasa amat kesulitan mengembalikan kepercayaan diri anak lelakinya.
Dulu dia sungguh anak pemberani. Tapi semenjak itu, bagai hilang ditelan bumi. Tak ingin menyalahkan siapapun. Tapi luka itu tetap saja membuat geram.
#Ramadan_ala_Fajri
Login untuk melihat komentar!