Dini hari yang riuh. Sahur tak berasa nikmat, karena tangis sesaat. Ngambek. Mutung. Sepele. Nasinya dingin. Fix, sahur dengan segelas susu saja. Emaknya dah kebat-kebit menyiapkan jawaban. Jaga-jaga untuk pertahanan diri disepertiga awal hari.
Pukul delapan waktu Indonesia bagian Wonogiri. Tepatnya sih, di rumah Fajri.
“Kemarin jam setengah sepuluh sudah lapar. Hari ini kira-kira akan lapar jam berapa ya, Dek?” Yang ditanya hanya menyodorkan bibir tiga centi ke depan. Pasti pertanyaan itu sungguh menyebalkan baginya.
“Adek akan kuat. Lihat saja.” Heu, emaknya speechless. Mati gaya. Salah tingkah. Buru-buru nyari kalimat lezat.
“Wow, keren. Adek pengin minta apa kalau nanti lulus 30 hari puasa?” Salah deh! Biasanya emak tidak begitu. Tapi melihat binar wajahnya, emak mendispensasi kalimat itu. Biarlah.
“Jalan-jalan ke Malang lagi ya, Mi.” Nahlo! Rasain! Mau ngeles apa lagi?
“Eh, emmmm ... jalan-jalan ya? Tapi kesepakatan kita kemarin, jalan-jalan setelah sunat. Gimana?”
“Yah, Ummi ga asik. Enakan jadi cewek, ga usah sunat.”
“Hei, cewek bakalan hamil dan melahirkan, Dek. Mau?” Kak Fatiha nyerobot jawaban emaknya.
“Hah? Nggak mauuuu. Mending disunat, deh.”
“Jadi ...?” Emak di atas awan.
“Jalan-jalannya ditunda besok kelas enam saja.”
?
#ramadan_ala_Fajri
Login untuk melihat komentar!