Bab 5 : Zea Hamil
*Cerbung (Cerita Bersambung)*

Selingkuh dengan Tetangga

Karwita
Bab 5 : Zea Hamil 

Karya : Aenhael_1910

Sudah sebulan aku bekerja sebagai penjahit. Di perusahaan yang bernama Perusahaan Baju Lengkap itu menambah pengalaman yang kupunya. Tempat ini buka dari pukul delapan pagi hingga malam. Jadi perusahaan ini buka dalam dua belas jam.

Ada tanaman kapas. Di perusahaan ini aku juga sering mempelajari cara memintal, menenun dan lainnnya. Kini aku juga sudah bisa membuat motif pada baju. Aku juga bisa memotong kain dengan berbagai model.

Hingga saat ini tibalah sudah. Saat yang sempurna, dilengkapi cinta dan benci. Saat ini pagi hari. Senin, tanggal lima Maret. Aku sudah ada di tempat kerja, dan sedang menerima puluhan lembar kain.

"Nih, Karwita," ucap salah seorang rekan kerjaku.

"Terima kasih."

Tapi, saat aku meraih jarum untuk menjahit, perutku terasa sakit. Mual. Rasanya ingin muntah. Merasakan hal itu, segera aku singkirkan kain yang rekanku berikan. Kaki ini melangkah cepat ke toilet yang ada di luar ruangan.

"Mbak, kenapa?"

Seseorang mencekal tanganku. Namun dengan segera kulepaskan. Berlari dan terus berlari. Hingga sampailah di toilet. Aku segera memuntahkan cairan dari dalam perut.

"Mbak, lebih baik libur dahulu. Ambil cuti, karena Mbak baru sakit," ucap Ririn. Dia adalah rekan kerjaku yang lebih muda tapi menjadi sahabatku yang setia.

Aku pun setuju untuk libur, tapi entah mengapa saat ini aku masih ingin kerja. Terpaksa aku menolak usul dari Ririn. Karena aku masih ingin bekerja walaupun dengan gangguan di perut.

🎈🎈🎈

Sore harinya, pekerjaanku menjahit sudah selesai. Aku sudah pulang ke rumah. Di sana hanya ada Bang Andi sendiri. Wajahnya biasa saja. Kupikir pria itu memang tidak berhubungan dengan Zea karena ia tidak menunjukkan ekspresi bahagia.

"Abang, anterin Adik periksa, yuk!" ajakku pada pria itu.

"Memang kamu sakit apa, Dik?"

"Adik tadi muntah-muntah. Sepertinya ...."

Aku sengaja menjeda ucapan. Berharap ia menebak, aku hamil. Dengan begitu akan membuat hatiku bahagia. Serta semakin menyayangi Bang Andi.

"Masuk angin, mungkin. Tapi Abang tetep mau anter kamu periksa," ucapnya dengan wajah senang.

Aku kecewa. Namun tetap kucoba bersabar. Biarkan saja dia menjawab seperti itu. Yang penting, kan, bukan tebakan, tapi kesediaannya untuk mengantarku periksa.

"Kalau memang hamil ... owwwhhh!"

Setelah membayangkan hal itu, aku mengembangkan sebuah senyuman. Walau Suamiku tidak menebak seperti keinginanku, akulah yang akan tetap menebak seperti itu. 

Namun ketika terlihat wajah Bang Andi, harapanku hancur seketika. Kini kucoba untuk menyingkirkan harapan agar aku hamil, dan mencoba menepis. 

"Jangan berharap! Kalau salah, kau akan kecewa," batinku dalam hati.

Aku berlari menuju ke kamar untuk menyiapkan diri. Hanya tipis make up yang kupoles di muka. Sementara rambutku yang panjangnya sedang saja hanya dibiarkan tergerai. 

Aku menatap muka di pantulan cermin. Cantik! Bagaikan bidadari. Sebuah senyum pun terukir. Ah! Makin cantik saja wajahku. Bibir tebal dan merah, lesung pipi, mata besar berbulu lentik, dan alis tipis. Tanpa double chin lagi.

Dengan senyum terkembang, aku berjalan ke arah luar. Di sana Bang Andi sudah duduk di mobil, sambil memainkan gawai. Ia sedang melihat-lihat foto dan aku terus menatap foto itu. Ternyata foto Zea.

"Bang!" teriakku spontan sambil membuka pintu mobil. Dengan cepat aku merebut benda pipih itu untuk membuangnya ke tempat sampah. Tapi begitu kulihat kembali, foto yang ditampilkan adalah milikku. Memang fotoku mirip dengan Zea, karena tempatnya di ruang tamu. Jadi fotoku dan foto Zea memang berbeda tapi untuk background sama. Tapi bisa saja hanya tidak sengaja menggeser sehingga pindah ke fotoku.

"Maaf, Bang." Aku menyerahkan kembali ponsel Bang Andi.

"Namanya tidak sengaja. Tadi mungkin kurang memperhatikan, jadi gak apa-apa."

Aku tersenyum puas sembari membuka pintu belakang. Aku memang hendak mengetahui, apakah Bang Andi menyuruhku duduk di sampingnya atau tidak. Namun rupanya aku diijinkan duduk di belakang.

"Terserah. Biasanya memang romantis kalau kita di depan, tapi masa Abang mau memaksa Isteri sendiri?"

Aku hanya mengiyakan. Bagaimanapun juga alasan itu memang masuk akal. Aku terus menatap jalanan yang ramai sore ini. Dan akhirnya aku tertidur di mobil.

🎈🎈🎈

"Ibu Almira Zea, yang duduk di kursi nomor enam belas, antrian ke dua puluh tujuh, silahkan masuk."

Terdengar suara pengumuman agar pasien yang dimaksud segera masuk. Pengumuman itu juga ditujukan untuk aku walaupun nanti. Tapi aku tak salah dengar? Almira Zea, bukankah ia tetanggaku?

"Dik, Abang nemenin Zea dulu, ya. Kan, dia tetangga dekat kita. Kasihan," pamit Suamiku sembari beranjak dari kursinya.

Aku mencekal lengannya tanda tidak boleh pergi.

"Tapi, Dik, Abang terlanjur akrab dengannya!"

Terpaksa aku memberi ijin untuk Bang Andi. Namun di sini aku meluapkan kemarahan. Aku membenci Zea. Dan mengapa ia sering acuh tak acuh dengan Isteri, sementara dengan tetangga ia selalu peduli?

Keinginanku untuk membalas perlakuan Bang Andi maju-mundur. Kadang aku diabaikan begitu saja sehingga niat itu timbul. Namun belum aku mempersiapkan, Suamiku sudah berubah. Berubah lagi. Berubah lagi. Sehingga aku menjadi ragu.

"Zea hamil, Dik. Tadi katanya sakit banget saat mual-mual. Jadi Abang temenin Zea dulu, sementara kamu dengan Ririn. Abang mau telepon nomornya, dan kamu keluarlah. Kamu pulang dan sementara ditemani Ririn."

Satu pertanyaan muncul di benakku. Siapakah yang menghamili Zea? Jangan-jangan Bang Andi? Kalau iya, sudah gila gadis itu. Berani merebut Suami orang.

Namun aku kasihan juga mendengar kabar mengenai Zea. Yang katanya sakit sekali saat ia mual-mual. Aku hanya bisa mengijinkan laki-laki itu bersama perempuan lain. 

Hingga tibalah saat untuk aku cek. Aku memang dinyatakan hamil. Kebencian ku pada Zea pergi, digantikan oleh rasa cinta. Aku sangat bahagia mendengar kenyataan yang diucapkan di depan mataku. Lengkap sudah hari ini dengan cinta dan benci.

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!