Bab 8 : Althaf
*Cerbung (Cerita Bersambung)*

Selingkuh dengan Tetangga

Karwita
Bab 8 : Althaf

Karya : Aenhael_1910

Aku menahan sesak di dada kala terdengar suara Bang Andi, mengatakan cinta kepada Zea. Kedua orang tua gadis yang hamil itu pun menyetujuinya, namun mereka tidak mau untuk mengadakan acara pernikahan. Ribet katanya.

Dengan cepat kuayunkan kaki. Gontai. Terduduk aku di tepian sawah, di dekat parit-parit yang mengalir. Kulepaskan karet yang mengikat rambutku. Dengan sengaja aku membiarkannya tergerai. Saat ini aku sedang tidak ingin berdandan. Kupikir, tak ada manfaatnya. Suamiku sudah tertarik dengan perempuan lain.

"Papa, ada ... kuntilanak," teriak seorang bocah lelaki. Hehehe .... Pastinya aku dia kira kuntilanak karena rambut panjangku. Kebetulan juga baju terusan yang kupakai malam ini warnanya putih.

Aku sedikit terhibur mendengar suara bocah yang merupakan anak Rendra itu. Nama lengkapnya adalah Azril Althaf. Kata kedua sebagai nama panggilan. Sementara nama lengkap Rendra adalah Virendra. Dan nama perempuan yang melahirkan Althaf adalah Shafiyyah Akselia, biasa dipanggil Selia. 

"Bukan. Itu, kan, Tante Karwita!" bantah Rendra sambil membawa Puteranya kembali.

Anak itu tiba-tiba menjadi sangat senang. Sama dengan aku. Lantas dia berlari ke sini. Aku dengan segera menangkapnya, takut terperosok ke parit. Tak sempat kuhapus air mata yang dapat membuat Althaf bertanya.

"Tante kenapa menangis?" tanya Althaf dengan jari telunjuk yang menghapus cairan di dekat mataku.

"Eh ... gak, kok! Cuma kemasukan debu atau mungkin pasir," jawabku salah tingkah.

"Oh ... oke. Emmm ... Tante." Anak laki-laki itu menenggelamkan wajahnya dalam pelukanku. Tiba-tiba dia jadi manja.

"Kenapa?" jawabku singkat.

"Bagaimana jika besok Tante ajak Althaf ke mall?" 

Aku diam. Selain besok aku harus berangkat kerja, masa aku bawa-bawa anak orang tanpa ajak orang tuanya? Padahal Selia paling benci ke mall, takut tersasar dan tidak bisa pulang. Apakah yang kubawa harus Rendra? Mengapa saat aku terluka, bukan Suamiku sendiri yang berubah dan mengobati? Justeru pria lain? Dan aku juga bisa kena tuduhan bila kusudah berhubungan dengan lelaki lain. Bahaya jika yang menuduh adalah Bang Andi, atau Zea. 

"Tante gak mau, ya? Gak apa-apa, Althaf bisa minta dianterin sama Papa walaupun Althaf pengen banget dianterin Tante Karwita."

Tes ... tes ....

Dua titik air mata jatuh di pipi. Bagai gerimis, air tersebut tumpah semakin banyak. Dan seolah hujan deras diikuti tiupan udara, aku menangis seraya menghembuskan napas panjang berulang-ulang. Sedih hati ini jika seorang anak harus menahan keinginannya.

"Gak apa-apa, kok. Tante gak boleh nangis," jawab anak itu sambil memeluk tengkukku.

"Ehhh ... Karwita, kenapa kamu nangis?" Tiba-tiba Rendra berlari meloncati parit, dan duduk di sampingku. Kulit kami bersentuhan.

"Aduh ... tidak apa-apa," jawabku sambil menjauh dan mengembalikan Althaf pada Rendra.

"Kamu pasti sedih, kan? Dendammu pada mereka yang membuatmu begini?"

"Tidak," jawabku dengan diiringi gelengan kepala.

"Aku tahu, kau berbohong. Sedari dulu aku lebih banyak melihat mereka," jawab Rendra. Aku jadi terkejut.

"Ren? Kok, kamu tidak bilang ke aku?" pekikku dengan rasa terkejut yang masih mengguncangkan jantung. Sehingga degupnya masih belum normal.

"Waktu itu kamu bersikap biasa aja. Kupikir kamu takkan percayai keterangan aku," jawab Rendra.

"Oh. Baiklah," jawabku. "Tapi aku minta sedikit keteranganmu. Sudah banyak, kok, yang membuktikan mereka berselingkuh. Bahkan mereka sendiri pernah beraksi tepat di depan mataku."

Rendra membiarkan udara yang hangat keluar dari hidungnya. Sepertinya pria itu juga merasa kesal karena perselingkuhan Bang Andi dan Zea. Aku tahu. Dilihat dari sorot matanya.

"Saat pertama kali kau tinggal di sini, aku melihat pertemuan Andi dan Zea. Mereka janjian, nanti malam akan berdua di ranjang. Itu pun hanya yang kudengar. Aku tak tahu kepastiannya, karena kudengar pembicaraan itu dari kejauhan."

"Jadi, saat hujan itu ...." Aku tiba-tiba terengah-engah. Api kemarahan sudah menyala dalam dada.

"Ya, saat hujan Andi malah ke tempat Zea."

"Gila. Sia-sia kucemaskan dia, kalau dia hanya pergi ke rumah Zea. Perempuan yang juga gila itu," makiku dalam hati.

"Paginya, apakah Andi sudah balik?" tanya Rendra seraya menatapku.

"Sudah. Sikap dia cuek, dingin ...."

"Lah ... iya itu. Dia pasti mikirin gadis gila itu. Dan dia pasti marah padamu, tanpa sebab."

"Eh ... emmmhhh ... Ren," panggilku ragu. Sebetulnya hendak mengganti bahan pembicaraan. 

"Kenapa?" jawab dan tanya Rendra.

"Itu ... Althaf pengen ke mall aku anterin," jawabku. Akhirnya bisa juga melepaskan kalimat yang sempat tertahan di kerongkongan.

"Anterin aja. Aku, kan, sudah mempercayai kamu!" ucap Rendra dengan nada santai.

"Eh ... gimana kalau aku gak bisa jagain anak itu dengan ketat dan benar?" tanyaku ragu.

"Pasti bisa," jawab Rendra dengan nada seperti bersemangat.

"Tapi, Ren ...."

"Gak usah takut. Pasti kamu bisa," jawab Rendra lagi.

Aku masih merasa sedikit ragu. Namun rupanya, Rendra betul-betul rela melepaskan bocah laki-laki keturunannya untuk hanya bersamaku. Oke, lah, besok akan kuantarkan Althaf ke mall dan belanja serta melihat apa yang ia suka.

🎈🎈🎈

Sang Mentari sudah naik dan bertengger di langit. Jam pun menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku baru terbangun dari tidur yang nyenyak. Begitu membuka pintu terlihat Zea menatapku sinis.

"Bukannya itu anak Rendra?" tanya perempuan hamil tersebut sembari tangannya menunjuk ke arah ruang tamu.

Aku ikut menoleh. Memang benar, di sana Althaf menungguku dengan sepenuh kesabarannya. Harapan agar aku datang tak pernah pudar. Matanya selalu menatap tajam-tajam.

"Benar. Memang kenapa?" jawab sekaligus tanya terlontar dari bibirku.

"Kau selingkuh dengan Rendra?"

"Bukan urusanmu!" jawabku sambil berlari ke kamar mandi. Sebelumnya kusambar baju ganti serta handukku yang tergantung pada paku.

Aku mengguyur sekujur tubuhku dengan air bersih. Rambut panjang ini ikutan basah juga. Aku jadi tidak mendengar apa-apa selain air yang jatuh dari atas seperti hujan. Aku memang ingin keramas karena serasa hari ini tidak biasanya. Aku tetap saja merasa kantuk.

Memang benar. Usai mandi, tubuhku menjadi segar. Namun begitu pintu kamar mandi terbuka lebar dengan diiringi derit, segumpal darah nampak menodai. Dan di dapur, ada seonggok sesuatu yang terbalut kain. Onggokan tersebut hanya kecil.

Aku mencemaskan Althaf, segera kuhampiri onggokan itu. Perlahan aku mulai membuka kain dengan iringan doa kupanjatkan. Namun aku belum juga siap menghadapi kenyataan yang akan segera datang di depan mata.

"Bismillahirrahmanirrahim ..." bisikku sembari menyingkap kain itu.

Mataku membulat sempurna. Pemandangan di depan mata sangat mengagetkan. Dengan refleks aku memegang dada. Tubuh itu Althaf yang sedang terbaring dengan kain membekap mulutnya. Namun anak itu tidak segera sadar. Matanya tetap terpejam.

Aku meraih kain yang membekap mulut kecil tersebut. Kucoba menyadarkan dirinya, tapi Althaf tidak kunjung sadar. Aku menjadi cemas. Apa yang harusnya aku perbuat pagi ini? Kerja, lapor ke Rendra, atau mencari pelakunya?

"Huuuhhh ..." desahku sambil mengacak rambut. Frustasi. 

Tapi kalau aku hanya begini, semua tidak akan selesai. Jika aku libur bekerja hingga seminggu, aku bisa dipecat dari pekerjaan sebagai penjahit. Dan keputusan yang akhirnya kuambil adalah pergi bekerja dengan membawa Althaf. Kalau aku sampai dilarang ... dipecat ... huh!

Aku dengan cepat menggendong tubuh Althaf ke kamar. Aku mengunci pintunya supaya pelaku tidak bisa masuk secara diam-diam. Dan yang kulakukan hanya menyisir rambut tanpa merapikannya. Dengan cepat kugendong tas kerja di belakang, dan Althaf di depan.

🎈🎈🎈

Aku melintas di depan Mbak Rara yang duduk. Perempuan dengan tugas di bagian pendaftaran itu nampaknya heran. Dia menatapku dari ujung kepala sampai kaki.

"Mbak Karwita, kok, bawa anak kecil?" tanyanya hampir berbisik.

"Tidak apa-apa. Anak ini pengen ikut, malah ketiduran. Dia juga udah janji kalau gak akan mengganggu."

Dengan semakin mencepatkan gerakan kaki, aku berlari ke ruang kerja. Banyak orang melirik dan berbisik dengan lainnnya. Tapi aku tak perduli. Jika aku malu dilihat orang, kemudian menghentikan ayunan kakiku, maka segalanya tidak akan cepat beres.

Lega akhirnya. Aku sudah sampai di ruang kerja. Di sana aku menutup pintu agar suara tak kedengaran orang. Kubuka ponselku dan segera mencari nomor Rendra.

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang dialihkan."

Aku memutuskan sambungan telepon, karena diangkat operator. Harus bagaimana lagi aku agar semua selesai? Ingin rasanya aku berteriak, menyeru hingga kedengaran sampai di rumah Rendra. Menunjukkan kegelisahan yang kian menjadi.

Aku menelepon Rendra lagi. Lega ketika ia mengangkat telepon. 

"Halo, Karwita. Di mall belanja apa, sih?"

"Jangan tanyakan itu," ucapku.

"Eh .... Memang kenapa, sih?"

"Althaf malah ... emmm ... pingsan saat aku mandi," jawabku dengan nada ditekan. Berharap cowok itu cepat menjemput Putera satu-satunya.

Rendra memutus telepon. Tapi aku malah berpikir negatif. Jangan-jangan ia anggap berita ini hoax? Uh!

Tapi ternyata pikiran aku salah. Pria itu datang lebih cepat dan mengambil anaknya. Aku minta maaf karena tidak dapat mengikuti Althaf yang dibawa pergi Papanya.

Namun saat melepas perginya kedua laki-laki yang masing-masing besar dan kecil itu, aku mulai berpikir negatif lagi. Jangan-jangan pelakunya adalah Zea? Hemmm .... Kalau benar, aku akan membalas dendam!

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!