Mataku terbuka dengan mendadak. Pergi dari alam mimpi. Karena badan ini diguncang-guncangkan oleh Bang Andi. Pria itu rupanya tidak punya tamu lagi.
"Dik, bisa bangun, gak, sih?"
Tangan Suamiku sudah menggantung di udara, hendak menampar wajahku. Sambil mencekal pergelangan tangan tersebut aku beranjak bangun. Tidak lupa melirik jam yang menunjukkan angka satu.
Betul juga ia membangunkan aku. Ia seorang Suami yang baik terhadap Isterinya. Karena aku mengakui, sedari tadi memang belum shalat Dhuhur.
"Terima kasih, Bang. Adik sudah dibangunkan." Aku melempari Bang Andi dengan seukir senyum.
"Tak perlu banyak bicara. Cepat, lakukan tugas yang kuberikan. Cuci piring. Jangan shalat dahulu, karena Zea akan segera datang dan—."
"Mas Andi." Sudah menggema suara Zea yang kedengaran manja.
"Kamu harus menanggung akibat dari perbuatanmu, yang hanya bilang terima kasih setelah aku bangunkan. Padahal tugasmu mencuci piring harus segera terlaksana." Tangan Bang Andi mendarat di pipi kiriku.
"Beri suguhan untuk saya." Tiba-tiba gadis itu sudah muncul di pintu tanpa kusadari.
Aku berlari dengan segera, dan mencuci piring. Serta gelas. Kemudian kubuka termos air dan betapa terkejutnya saat ternyata airnya habis.
"Celaka ... celaka! Aku harus merebus air lagi," umpatku dan merebus air dengan segera.
"Mana minumannya? Tuh, masih kosong gelasnya." Ucapan seorang gadis yang tidak lain adalah Zea mendadak aku dengar. Asalnya dari belakang. Tapi aku tak merasa ada orang di belakangku.
"Sebentar, Ze, Mbak baru rebus air."
"Huuuhhh ...." Zea hanya mendengus serta berjalan keluar dari dapur. Masih terdengar bibirnya yang komat-kamit, entah mengucapkan apa. Mungkin memakiku, atau mengucapkan mantera untuk mencelakakan aku. Ah ... aku mulai berpikir negatif!
Selesai memasak, kubawa suguhan ke ruang tamu. Di sana tampak Zea sedang tersenyum menyambut suguhan yang kuletakkan di meja.
"Gleg ... gleggghhh ... gleggghhh ...." Beberapa kali tegukan air itu sudah tinggal separuh. Padahal air itu panas.
Aku hanya menahan diri serta minta ijin untuk masuk. Di dalam aku melaksanakan ibadah empat raka'at dengan khusyuk. Tidak lupa untuk mendoakan, agar Zea berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Tidak cuek dan seenaknya dikala ia bertamu.
Shalat sudah usai. Aku masih jengkel terhadap Zea yang seenak hati berbuat sesuatu di rumah orang. Sampai-sampai ia menyusulku di dapur. Jadi, tanpa minta ijin dahulu segera kubersihkan diri. Lagian, kenapa harus minta ijin? Memang ini tempat tinggal Zea?
Mandi usai sudah. Aku tidak punya kegiatan yang belum terselesaikan. Lalu akhirnya aku bingung, apa yang harus kulakukan?
"Jam lima ... jam enam ... jam tujuh ... jam delapan ... jam sembilan! Asyiikk! Lima jam lagi, kan?" Kudengar Zea yang berkata-kata dengan manja.
"Seandainya waktu bisa aku percepat, mungkin sekarang kita sudah dapat berduaan kembali ...."
Cup ....
Dadaku bergemuruh tiba-tiba. Jelas sekali Bang Andi dan Zea sudah berbuat sesuatu di belakangku. Buktinya mudah ditemukan. Tadi aku mendengar Bang Andi berucap senang saat bersamaan dengan Zea. Kudengar pula ia mengecup Zea.
Aku bergegas meraih handphone untuk memanggil nomor Bu Hani, Ibu Mertuaku. Beliau bernama lengkap Aqila Hanifa. Anaknya yang menjadi Suamiku bernama lengkap Adnandi sehingga dapat dipanggil Andi. Sementara aku sendiri bernama lengkap Karwita. Hanya Karwita saja. Sama dengan nama panggilan.
"Assalamualaikum, Bu. Karwita mau cerita sedikit," lirihku dengan ponsel menempel di telinga.
"Apa, sih? Coba Ibu dengar."
Aku dengan lirih menceritakan apa yang dibicarakan oleh Bang Andi dan Zea. Tapi Ibu menolak ceritaku dengan suara keras. Sepertinya perempuan itu dengan enteng tanpa menyelidiki, sudah langsung membela Suamiku tanpa tahu siapa yang salah.
"Ibu gak percaya. Baru kemarin menikah, masa sekarang sudah bermasalah? Kamu hanya ingin ribut-ribut agar tidak sepi, ya?"
"Masalah ini memang Karwita alami. Abang jadi cuek, sementara dengan Zea ia sangat senang."
"Halah ... alasan saja! Kalau hampa dengan hidup pengangguran, jangan berbuat masalah agar sibuk-sibuk. Bisa, kan, nyari pekerjaan? Itu juga ada kantor di dekat rumah Ibu."
"Tapi ...."
Tut ... tut ... tut ....
Telepon sudah terputus tanpa aku kehendaki. Kucoba untuk menelepon nomor Ibu lagi. Namun operator yang menjawabnya.
"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang dialihkan."
"Woh ... gimana ini? Kenapa begitu tanggapan Ibu?" cecarku, kepada diri sendiri.
Aku kembali memanggil nomor Ibu Mertuaku, namun operator lagi yang mengangkat. Kalimat yang kudengar dari suara operator juga sama seperti yang tadi. Aaargh ... kenapa Ibu tidak mau percaya?