Bab 2 : Es Batu plus Salju
*Cerbung (Cerita Bersambung)*

Selingkuh dengan Tetangga

Karwita
Bab 2 : Es Batu plus Salju

Karya : Aenhael_1910

Cit ... cuwit ... cit ... cit ....

Kok ... kokokok ... kokokokokokok ....

Nyanyian burung yang merdu telah membangunkan tidurku. Ayam-ayam juga bersuara, membangunkan aku. Kulirik jam dinding yang terpajang di pojok kamar. Pantas, hewan-hewan berkaki dua itu sudah bernyanyi. Jarum itu memang menunjuk pada angka lima.

Brak ....

Terdengar pintu kamar mandi membuka. Aku masuk dalam ruangan berbau tidak enak itu, untuk membuang air kecil dan berwudhu. Setelah keduanya selesai, kubentangkan sajadah biru di depanku. Kemudian kupakai mukena dan memulai ibadah wajib ini.

Beberapa menit kemudian, ibadah dua raka'at ini sudah usai. Kubawa kaki ke luar kamar. Di sana terlihat Bang Andi sedang duduk menonton televisi. Pria tersebut sedang menonton drama. Memang ia sukanya drama, sementara aku suka film horor.

"Bang Andi." Aku menyentuh bahu Suamiku sambil menyebut nama panggilannya.

"Hem," Bang Andi mendehem sebagai jawaban. Aneh sekali. Tidak biasanya ia sedingin es batu plus salju.

"Abang sedih?" kucoba bertanya.

"Enggak," ujarnya. Singkat saja.

"Abang sakit? Makanya besok lagi gak usah jaga malam kalau hujan," jawabku.

Meski ia menggeleng, aku tetap mengambilkan sebotol minyak kayu putih. Kututup pintu ruang tengah karena letaknya di pinggir jalan. Tak kuinginkan jika seorang wanita lain tertarik pada Suamiku, karena dia yang sangat kusayang. Dia milikku selamanya. Hanya maut yang dapat memisahkan kami. 

"Abang, Adik kasih minyak, ya," ucapku seraya mengoleskan minyak kayu putih ke perut, dada, punggung dan tengkuk Bang Andi. Ia membiarkan aku mengoleskan minyak di tubuhnya.

Seraya mengoleskan minyak kayu putih, aku memandangi dada bidang Suamiku. Rasanya ingin bermanja-manja dan bersandar pada dada itu. Tapi karena sepertinya Bang Andi sakit, gara-gara kehujanan saat berjaga malam, aku tak ingin mengajaknya berduaan sambil duduk. Biarlah besok saja aku memuaskan keinginan dalam lubuk hati.

"Bang, rebahan dulu," perintahku.

"Gak mau," jawab Bang Andi seraya memfokuskan mata pada drama yang sedang ia tonton.

Aku memilih untuk duduk di sebelah pria itu. Ingin kutanyakan keadaannya. Apakah yang Bang Andi rasa sehingga sikapnya menjadi cuek dan dingin. Sedingin es batu plus salju. Tapi laki-laki tampan yang sedang menonton drama ini menghindar.

"Abang, berterus-teranglah! Jangan menyembunyikan apa-apa. Abang kira, Adik ini siapa?"

Aku memberanikan diri berbicara lebih panjang serta mendekat lagi. Aku pandangi wajah Bang Andi yang pemiliknya tidak punya keinginan untuk menjauh. Sebab, ia berada di pinggir dan akan jatuh jika tetap bergeser.

"Kamu lupa nama, Dik?"

Hanya itu pertanyaan sekaligus jawabannya. Namun cukup membuatku mengerti kenapa ia bertanya seperti itu. Ia menanggapi kalimat terakhir pada ucapanku tadi.

"Nama Adik adalah Karwita. Namun, Abang tahunya Adik ini siapanya Abang? Isteri, kan?"

Pria itu tidak menjawab.

Sejenak kutatap wajahnya nanar. Bingung. Mengapa hari ini Bang Andi sangat aneh?

"Bang, Abang harus berterus-terang! Kenapa Abang jadi cuek begini?"

Aku mulai bersikap tegas terhadap Suamiku sendiri. Sungguh bukan maksudku marah pada Suami. Justeru kesetiaan ini membuatku terpaksa harus tegas. Tak ingin cinta di hatinya terbagi menjadi dua. Untukku dan untuk wanita lain yang mungkin sedang berdekatan dengan Bang Andi di belakangku. Serta tidak menginginkan pria ini terserang demam, karena nekad ronda di saat hujan deras. 

"Gak apa-apa, Dik!" 

Sedikit merasa tidak disukai, tapi kucoba bersabar dengan bentakan Bang Andi. Masih bermanfaat juga. Jika suaranya masih bisa melengking begini, berarti ia masih sehat-sehat saja.

"Oh ... syukurlah bila keadaan Abang baik-baik saja," jawabku sambil ikut menonton drama.

"Pergilah!"

Suamiku membentak. Dengan sangat mendadak sehingga dadaku tergetar. Ya, aku kaget. Karena suara Bang Andi terdengar marah. Sepertinya ia tidak suka padaku.

"Bang? Abang ini kenapa, sih?"

"Pergi! Kamu dengar, pergi?"

"Ma---maksud Abang?" panikku.

"Kamu masih bayi, kah? Memahami kata pengusiran itu saja tidak dapat," omel Bang Andi.

"Maksudnya, Adik kenapa harus pergi? Dan harus pergi ke mana?" cecarku.

"Jangan banyak tanya."

Lalu pria itu mematikan televisi. Remote hitam dalam genggamannya terbanting keras. Menimpa tangga yang ada di luar. Benda itu menjauh dan pergi entah menuju ke mana.

Aku berjalan ke luar rumah. Hendak mencari remote yang tadi dibanting Bang Andi. Namun pria itu juga melarang aku.

"Lalu Adik harus apa?"

"Ke kamarmu," jawabnya. Singkat. Namun setidaknya ia sudah menunjukkan arah yang harus kutuju.

🎈🎈🎈

Siang ini aku masih mengurung diri di kamar. Kupikir Bang Andi sudah tidak marah lagi. Karena pikiran itu, kubuka pintu dan mengambilkan makan siang. 

"Hehehe ...."

Samar, tawa seorang gadis terdengar. Aku sedikit curiga. Takut jika Bang Andi berselingkuh di belakangku. Namun sepertinya obrolan mereka hanya biasa saja.

"Eh ... Sayang, nanti lagi, ya! Nyaman banget kalau di ranjang sama kamu."

Duag ... duag ... duag ....

Benarkah? Gadis itu, siapa sebenarnya? Berani sekali memanggil Suamiku dengan kata yang romantis? Dan Suamiku? Apakah ia berselingkuh di belakangku?

Aku berlari membawa sepiring makanan. Sampai di luar, segera aku bertanya kepada Bang Andi. 

"Bang, gadis itu siapa?"

"Tetangga kita," jawab Bang Andi sambil tersenyum memandang gadis itu.

"Mbak Karwita, saya ingin memperkenalkan diri. Saya bernama lengkap Almira Zea, dipanggil Zea," kata gadis itu tanpa mengulurkan tangannya.

Kuulurkan tanganku untuk bersalaman dengan Zea. Namun, seperti tak mengerti arti uluran tanganku, gadis itu sama sekali tak menyambut. Ia justeru sibuk mengotak-atik ponselnya.

Aku menarik kembali tangan yang menggantung di udara, meletakkannya di pegangan kursi. Walau ada rasa jengkel terhadap gadis itu, aku mencoba memasang wajah biasa saja. Tak ingin menjadi seorang yang membawa keributan.

"Diminum, Ze." Aku menggeser posisi nampan sehingga maju mendekat ke kursi Zea. Namun minuman itu, jangankan ia minum, menyenggol atau meliriknya pun tidak. Ia masih sibuk dengan benda pipih di tangan.

Aku masih diam. Hampir terlontar kata makian jika tidak berpikir akan terjadi sesuatu. Karena itu aku memilih pergi ke kamar saja. Aku pun akan dapat menguping percakapan mereka.

"Saya tinggal dulu, ya." Aku masih meminta ijin kepada Zea. Gadis berambut cokelat itu meletakkan HP-nya di meja. Bukannya menjawab, melainkan ia berbisik entah apa. Seraya ditatapnya wajah ini, sinis.

Aku masih menahan diri. Tanpa menunggu jawaban dari Zea, segera aku pergi ke dalam kamar. Di sana aku sedang melakukan penantian. Menunggu, apa yang akan mereka bicarakan berdua. Namun kedua insan bersikap sedingin es batu plus salju tersebut tidak jua membuka suara.

Aku masih kepikiran dengan kata romantis yang kudengar tadi. Zea mengucapnya dengan perasaan senang. Namun bisa saja semua cuma halusinasi. Sepertinya aku merenungkan perbedaan sikap Bang Andi kemarin dan sekarang terlalu jauh. Sehingga terbayang saat-saat Suamiku berduaan dengan perempuan lain.

Aku terus menanti apa yang akan mereka jadikan bahan obrolan. Menanti dan terus menanti. Tetapi mereka diam saja. Bosan, aku tak ingin menunggu lagi. Biarlah aku berhenti menunggu. Hingga kantuk segera datang, membawaku pergi ke alam mimpi.

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!