Kian keras kilat menyambar, petir menggelegar, dan tiupan angin. Hujan tak kunjung reda. Berkali-kali aku menoleh ke jendela kamar, takutnya banjir dan aku harus mengungsi. Aku takut juga kalau Bang Andi, Suamiku, akan terkena sesuatu di pos kamling.
"Ya Allah ... selamatkan Bang Andi!"
Hatiku terus menjerit, berharap keselamatan untuk Bang Andi. Aku serasa ingin nekad keluar untuk mencari Suamiku, tapi pikiranku masih normal, tidak dikuasai oleh keinginan. Aku masih bisa mengetahui akibat buruk jika nekad.
Akhirnya aku meraih ponsel untuk menelepon Bang Andi. Kutulis sebuah nomor Telkomsel yang dimiliki Bang Andi, tapi suara deringnya kedengaran berasal di dalam kamar samping. Rupanya ia tidak membawa ponsel. Harus bagaimana lagi aku?
"Abang, pulanglah. Adik nungguin!" Begitu dan begitu saja jeritan hatiku dengan harapan, Bang Andi akan pulang. Tapi lelaki itu tidak kunjung kembali.
Akhirnya kuraih benda pipih yang ada di dalam kamar samping. Aku menelepon ke nomor Rendra, tetangga baik yang selalu jaga malam. Tapi tidak kunjung diangkat pemiliknya.
"Assalamualaikum. Kenapa, Mbak Karwita?"
Akhirnya ia mengangkat telepon dariku, setelah aku menelepon untuk kelima kalinya. Entahlah! Yang penting telepon sudah dijawab. Mungkin karena derasnya hujan, Rendra tidak mendengar suaranya.
"Nanya, Ren. Suami aku gimana keadaannya?" tanyaku cemas.
"Eeehhh ... dia? Mana tahu aku keadaan dia?" cecar Rendra, membuatku semakin cemas. Tapi aku terus mewawancarainya. Aku tetap ingin menyimpan informasi mengenai Bang Andi di benakku, supaya mudah mengambil tindakan untuk membawanya kembali ke sisiku.
"Memang dia gak di pos kamling?"
"Enggak, Mbak Karwita. Tadi dia gak ke pos," jawab Rendra.
Aku tak memutuskan sambungan telepon dengan pria berkulit cokelat tersebut. Gegas kutarik pintu agar terbuka, dan menampakkan ruang tengah yang kosong. Aku berlari menuju ke ruang tamu, kubuka pintu sekuat-kuatnya, berlari-lari menembus derasnya titik air hujan.
"Baangng ... Bang Andi, keadaan Abang gimana?" Aku berbicara sendiri.
Slettt ....
Aku tergelincir ke aspal. Ponselku terlempar, terseret arus air hujan. Aku hendak mendapatkannya kembali, tapi sepertinya kakiku sudah lemah. Untuk berjongkok saja sudah gemetaran, padahal saat ini gelap. Di desa sepi lagi. Mana mungkin orang tahu jeritanku? Apa lagi jeritan hatiku?
"Abaaang ... Abang, pulanglah."
Aku menangis meraung. Tapi berisik suara hujan sudah menelan habis teriakan yang lantang ini. Dan menyerah, hanya satu ini yang sanggup kulakukan. Seraya tak menghentikan doa dan permohonan yang kuucap, demi keselamatan Bang Andi.
Cruattt ....
Beberapa titik air hujan memercik di wajahku. Lalu, lebih banyak. Yang menyebabkan aku kena ciprat air dari langit tersebut, adalah sebuah motor mengebut. Mungkin dikiranya aku bukan orang, melainkan makhluk dari alam lain. Karena memang aku seorang perempuan, yang sendirian dalam gelap malam, serta hujan yang menimbulkan banjir kecil-kecilan.
"Sial!" umpatku di dalam hati. Tapi kaki masih lemas dan tidak kuat. Apa yang dapat kuperbuat?
""Kamu? Sstt ...."
Tiba-tiba bahu kananku dicekal laki-laki. Ia berbisik tidak jelas pula. Sepertinya mengomeli aku karena nekad bepergian dalam hujan, tanpa payung lagi.
Tek ... tek ....
Aku mendengar tetesan hujan yang jatuhnya bukan ke aspal, tepatnya sebuah payung. Kudongakkan kepala ke atas. Sebuah payung merah menjadi atap darurat di saat tak ada genting untukku. Si Pemilik terlihat hendak berjongkok.
"Rendra," kusebut sekali saja namanya. Rendra menarik lenganku, menyeretku ke bawah pohon. Setelah itu menggendongku, dan membawaku pulang. Aku mau saja, karena aku tidak bisa berjalan tenang untuk saat ini. Tapi entah kenapa, jantungku berdegup kencang.
Mataku tak mau lepas dari wajah Rendra. Sepertinya aku jatuh cinta pada dua lelaki. Suamiku, dan Rendra. Wajah yang berwarna cokelat itu, tiba-tiba nama Sang Pemilik terukir di relung hati terdalam. Rapi. Dengan perasaan cinta. Apakah aku bisa berjodoh dengan ... ah!
Blukkk ....
Tiba-tiba aku melihat secercah sinar, dan aku didudukkan di karpet ruang tamu. Rupanya, lampu ruang tamu baru menyala sekarang. Tadi mati lampu. Dan, pria itu ... di depanku, persis. Hanya berjarak empat centimeter sepertinya.
"Terim---makasih, Ren," gumamku sembari menutup muka dengan kedua tangan.
"Gak apa-apa, Mbak Karwita. Aku tak merasa kerepotan, malahan senang, bisa menolong orang, dan aku akan mendapatkan pahala. Mbak gak perlu merasa terharu."
Aku mendongak.
"Gak, Rendra, aku malu."
Bibir itu mengukirkan senyum yang mulai menjadi sangat indah. Hatiku sudah mencintai pria lain, padahal baru kemarin menikah.
Sejenak kemudian Rendra pergi dari rumah ini. Aku menutup pintu, sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku mulai jatuh cinta.
Tapi karena merasa tidak pantas, kuraih ponsel Bang Andi yang ditinggal pemiliknya. Kubuka galeri untuk sekedar melihat-lihat foto tampan Suamiku. Aku tahu, fotonya pada tampan-tampan. Dan itu yang menyebabkan aku jatuh cinta.
Ceritanya dulu ada berita ponsel hilang yang viral di medsos. Aku banyak mendengar dari Ibu-ibu yang membicarakan walau tak ikut mengurus, jika ponsel itu ditemukan di sebuah jalan raya. Terekam di CCTV, pengendara motor sedang melacak lokasi tujuannya dan tiba-tiba ponselnya jatuh. Begitu terlepas, motor mengebut tanpa bisa dikendalikan. Sehingga pemilik tidak mencari ponsel hingga benda pipih itu terlupakan begitu saja. Aku pun memutuskan untuk ikut mencari ponsel itu, yang masih disimpan. Aku membuka galerinya tanpa malu, dan melihat foto-foto tampan di sana. Aku menunggu hingga urusan selesai dan pemilik menemukan benda yang jatuh itu. Sejak saat itulah aku berkomunikasi erat, hingga dalam pernikahan. Karena aku cinta dia dan dia cinta aku.
Mengenang masa indah itu, senyuman manis terkembang di bibir. Aku tiba-tiba sudah bisa menyingkirkan nama Rendra. Hasratku tiba-tiba menggebu, tidak tertahankan. Hingga aku melakukan hal lucu. Kukirim tulisan ke WhatsApp di ponsel Bang Andi.
[Cepet-cepet pulang, Sayang. Beri Adik jatah untuk sekali ini saja. Kabulkan permohonan Adik. Cepetan ... cepetan ... cepetan! Kok, gak pulang-pulang, sih?]
Emoticon cinta kutambahkan setelah teks.
Aku menaruh kembali ponsel di tempatnya semula. Guling kuraih dengan segera. Kudekap erat-erat. Lalu aku sudah pergi ke alam mimpi sambil membayangkan jika kami berdua di ranjang lagi.