Part 3
Bening merangkak ke dalam kolong ranjang. Dia menutup hidungnya karena udara pengap dan berdebu. Padahal bagian kolong ranjang dia pel setiap hari. Ternyata masih saja ada debu tersisa.
Detak jantung Bening semakin cepat. Pikiran-pikiran jelek berhasil membuatnya tegang. Organ dalamnya itu seperti akan jatuh ke perut. Bening mengusap dada. Ia berdoa lagi.
Suara keran air di kamar mandi terdengar sayup. Itu artinya Karman mungkin sedang kencing. Cepat-cepat Bening menuliskan nomor yang tinggal satu lagi. Setelahnya dia menyimpan ponsel di atas nakas. Bening berencana segera ke luar kamar. Namun, Karman sudah kembali lagi. Dia bahkan mengunci pintu kali ini. Akhirnya gadis berambut hitam itu terperangkap di kolong ranjang.
“Buuu.” Karman membelai pinggang istrinya sebagai satu pertanda.
Di bawah Bening menepuk jidat. ‘Jangan sampai mereka nganu malam ini. Please, Pak. Jangan sekarang!’
Menit kemudian apa yang ditakutkan Bening terjadi. Decit ranjang semakin cepat durasinya. Bening seperti sedang mendengarkan adegan dewasa. Jijik, Bening menutup kuping. Apa lagi gerakan dan suara ranjang bergoyang membuat Bening takut bukan kepalang. Bagaimana kalau roboh? ‘Mampus’ Dia menepuk jidat lagi dengan pelan. Lalu telapak tangannya kembali ke telinga.
Entah jam berapa, pergulatan itu tampaknya sudah selesai. Hingga terdengar dengkuran keduanya. Bening menimang, apakah dia harus keluar memutar kunci? Apa tidak akan ketahuan jika begitu? Dia tidak mungkin diam di dalam kamar sampai pagi.
Kalau sampai pagi, bisa-bisa malah ketahuan. Tapi kalau tidak ...?
Akhirnya Bening menyatukan tangan, lalu membaca surat Al-Fatihah. “Ya Allah, jika para pencuri itu kau selamatkan agar tidak ketahuan, maka tolong selamatkanlah aku. Please, Ya Allah, Please.”
Bening nekat ke luar kamar. Memutar kunci dengan amat hati-hati. Lelahnya pergulatan tadi berhasil membuat Hasminah dan Karman terlelap dalam. Hingga saat pintu dibuka, pasangan itu tidak terbangun.
Bening lolos kali ini. Tinggal lah persoalan pintu yang sebelumnya terkunci dari dalam. Kali ini jawabannya pun ‘La haula’ saja. Semoga orang tuanya tidak ada yang menyadari.
Malam ini Bening tidak tidur sama sekali. Dia kembali disibukkan dengan beban pekerjaannya.
**
“Mana, Ning, nomornya?”
“Ini.” Bening menyerahkan kertas.
“Lah, banyak?”
“Ibuku sepertinya menghapus kontak Pak Pratama itu. Atau mungkin menggantinya. Saat aku periksa tidak ada kontak bernama Pak Pratama.”
“Oke lah, mari kita coba.” Bella mulai mengetik nomor-nomor satu per satu. Pemilik rambut panjang berombak itu rela sengaja membeli pulsa untuk sahabatnya Bening.
Sebetulnya Bella selalu mempertanyakan tentang asal-usul Bening. Bukan apa-apa, selain Bening mendapatkan perlakuan yang kasar, perawakan Bening pun berbeda dengan ibu, bapak, dan adik-adiknya. Di keluarga itu hanya Bening saja yang berkulit putih. Matanya cokelat dan rambutnya lurus. Kalaulah wajahnya bersih, mungkin penampilannya seperti artis-artis di layar kaca. Sayang sekali Bening memang tidak terurus, jangankan bedakan, untuk membeli pembalut saja dia harus merengek-rengek dulu.
“Hallo, apakah ini dengan Pak Pratama?”
“Bukan? Oh, baik. Terima kasih.”
Satu nomor berhasil dihubungi. Ternyata yang menjawab bukan laki-laki tapi perempuan.
Suara nomor ke dua pun sama perempuan. Dan itu bukan Pak Pratama.
Ke tiga, ke empat, ke lima, tibalah Bella menemukan suara yang terdengar familier.
“Hallo, apakah ini dengan Pak Pratama.”
“Ngapain kamu Bella, ini Mama!”
Ha? Bella menjauhkan ponselnya, lalu memeriksa nomor itu lagi.
“Kok, Mama?”
“Haih, memang kamu tidak menyimpan nomor telepon Mama, lagi pula siapa Pratama.”
“Anu, Ma. Guru Bella.” Cepat-cepat Bella memutus panggilan sebelum kena omel panjang lebar.
“Duh, emakku, Ning.” Bisik Bella sambil menekan nomor ke sekian.
“Kok bisa, memang tidak keluar namanya?”
“Aku gak punya nomer telepon Mama. Cuma punya nomer WA. Abis gonta-ganti mulu,” seru Bella diiringi kekehan.
Bening ikut tersenyum melihat hubungan ibu-anak itu. Cara mereka ribut kadang terasa lucu dan hangat. Sayang sekali Bening tidak bisa merasakan itu. Hasminah jika marah tidak ada lucu-lucunya, yang ada malah benar-benar menakutkan. Hati Bening teremas lagi.
“Kita coba nomor yang ke sekian.” Di kamar berukuran sangat kecil itu Bella mengangkat ponsel. Mendekatkan benda pipih itu ke telinganya lagi.
Sampai nomor ke tujuh, tidak ada pencerahan. Sedangkan nomor ke delapan tidak diangkat meski sudah beberapa kali panggilan. Nomor ke sembilan dan ke sepuluh juga sama, bukan Pratama.
Bening duduk pasrah sambil memeluk kaki yang menekuk. Sering dia mengkhayal bukan anak dari Hasminah dan Karman. Mungkin anak orang kaya yang dibuang, seperti Josua dalam film anak-anak itu. Dalam mimpi Bening, orang tua yang asli akan menjemputnya. Tapi mimpi itu seperti pupus hari ini. Tak mungkin dia mengendap lagi untuk mencari nomor lain. Bening mengingat-ingat kembali apa yang dia dengar tempo hari.
“Bening, ini ayah, Nak.” Ya, betul begitu, Bening tidak salah dengar.
“Sudahlah, Ning. Jangan putus asa. Nanti kita cari nomor lain lagi.” Bella mengusap punggung Bening.
“Kapan kuliahmu mulai aktif, Bel?”
Bella terdiam. Kedua netranya menatap Bening dengan nanar. Kalau Bella kuliah dan jauh dari rumah, bagaimana jadinya Bening yang harus sendiri tanpa teman.
“Aku berharap saat aku pergi kamu pun bisa pergi dari rumah ini, Bening.”
Bening tersenyum, tapi air kesedihan menggumpal di sudut mata. Bening mengusapnya dengan ujung jari.
“Jangan sedih, Bening.”
“Aku sudah kebal. Hanya saja ... pasti sulit kehilangan satu charger kehidupan.”
“Kamu kata, aku powerbank.” Bibir Bella mengerucut, lalu mereka cekikikan bersama.
Ponsel Bella tiba-tiba berdering. Terlihat panggilan dari sebuah nomor baru yang berawalan 021 dengan delapan digit angka di belakangnya.
“Ini seperti nomor perusahaan, Bening.”
“Ayo cepat angkat!”
“Hallo.”
“Hallo, selamat siang ibu, saya dengan sekretaris Mr. Pratama, sejak tadi nomor ibu berkali-kali menelpon pada Mr. Pratama. Maaf Anda dengan siapa, dan ada perlu apa?”
“Se-sekertaris, Bening?” Bella mengernyit.
Bening segera mengambil alih ponsel. “Saya anaknya, Bu. Saya Bening anaknya Pak Pratama.”
“Baik, sebentar saya sambungkan.”
Jantung Bening berdebar kencang, serupa remaja yang mau bertemu pacar. Bening menghela napas panjang agar groginya lekas hilang. Tidak lama kemudian suara bariton dari seberang sana terdengar.
“Hallo, Bening. Ada apa?”
‘Ha, ada apa? Kenapa dia jadi bertanya ada apa. Padahal kemarin bilang kalau dia ayahku.’ Bening mengernyit.
Bersambung ....