Part 10. Viona Muda
Bening—gadis kecil berusia delapan tahun itu melihat tumpukkan makanan ringan di meja. Kripik, kue-kue, cokelat, semua terlihat lezat. Bening menelan saliva saat pemilik makanan itu membuka satu per satu dan mengisi mulutnya penuh dengan makanan. Bening menunduk memegangi perut sendiri, terasa sangat keroncongan setelah melihat banyak makanan enak itu.
“Emmm, ini enak banget, ya?” Fina sengaja menampilkan wajah yang sangat menikmati makanan.
“Iya, ini enak banget loh.” Zani memutar lidahnya di bibir, membersihkan sisa-sisa cokelat yang lumer. Air liur Bening hampir terjatuh karena melihat itu.
Hasminah menghampiri anak-anaknya yang terpaut dua tahun itu, dan melihat kejadian miris di depan matanya. “Kalau punya makanan jangan dihabiskan semua, simpan buat nanti,” katanya sambil membereskan camilan, dia melemparkan satu bungkus taro berukuran kecil untuk Bening. Kemudian menyimpan semuanya di lemari kamar.
Sorenya ketika Bening menyapu kamar, dia melihat lemari makanan itu terbuka. Satu batang cokelat tampak dari luar. Hasratnya bergejolak. Bening ingin memakan kudapan yang terlihat lezat itu. Akhirnya tangan kecil itu mengambil satu. Menyembunyikannya ke dalam pakaian lalu dibawanya ke kamar. Dia berpikir kalau aksi mencurinya tidak akan ketahuan, nahas pikirannya memang masih sangat polos, dia kelimpungan tidak tahu bagaimana membuang bungkusnya. Bungkus cokelat itu hanya disimpan saja di bawah kasurnya. Pada akhirnya, Bening tetap ketahuan.
Bening digusur oleh Hasminah. Lalu dipukul dengan lidi berkali-kali. Bening menangis menjerit kesakitan.
“Sakiiit, Bu!” Bening terperanjat dari tidur. Dadanya berdebar kencang, matanya basah, keringat bersimbah. Lalu Bening menghirup napas cepat-cepat. Kemudian Bening menutup wajah menenangkan diri.
Tenanglah Bening ini hanya mimpi. Ah tapi bukan, ini bukan ini. Ini adalah masa lalu yang menghantui.
Dada Bening jadi panas ketika menyadari kalau dia bukanlah anaknya Hasminah. Bening bukan bagian dari keluarga ini. Tapi begitulah dia diperlakukan. Tenaganya diperas, uangnya dipakai. Bening menangis sambil mencengkeram seprei. “Jahat! Dasar Jahat! Aku tidak akan diam saja mulai hari ini.”
**
Di pagi hari, Bening tidak bangun pukul tiga seperti biasanya. Melainkan subuh, lalu berlama-lama di atas sejadahnya. Amat berat menahan beban dada. Deru perasaannya tidak jelas sejak semalam. Ada rasa lega karena sedikit bisa terlepas dari jeratan Hasminah. Namun ada juga kecewa karena kehidupannya tidak baik-baik saja. Menjadi anak yang dibuang, apa bagusnya. Kini hatinya bagai beku sulit mengeja rasa.
Di kamar lain, Hasminah dan penghuni lainnya masih terlelap seperti biasa. Kemudian menjelang pagi barulah keluarga bergaya serupa ningrat itu keluar dari kamar. Mereka siap menjalani aktivitas hari ini.
Dipikirnya masalah semalam sudah baik-baik saja. Bening dan semuanya sudah bermaafan. Jadi hari ini harusnya berjalan seperti biasa.
Namun, mana Bening? Keadaan rumah pagi ini berbeda. Sudah jam 5.30 semua lampu luar masih menyala. Sementara di dapur gelap gulita. Gorden pun masih tertutup rapat. Bahkan pakaian yang berantakan semalam masih berserakan di kursi, sebagiannya ada di lantai.
“Bening! Bening!” Hasminah teriak. Dia memanggil anak majikannya dengan kasar seperti biasa. Tiap kali Bening telat mengerjakan pekerjaan rumah, dia selalu menggunakan nada yang sama.
Hasminah membuka kamar Bening. Dia melihat kalau Bening sedang tertidur di atas sajadahnya. Kemudian tensi darahnya mendadak naik, bahkan dia lupa kalau Bening sudah tahu jati dirinya, lupa juga kalau semalam dia berlutut di kaki Bening. Yang ada di dalam benaknya saat ini hanya satu kalimat. “Bening tidak bekerja karena kesiangan.”
“Bening!” Nadanya tinggi menggelegar di sana.
“Enak-enakkan kamu tidur ya! Tahu ini jam berapa!”
Bening terbangun. Dia menggeliat dan mengusap matanya.
“Heh! Bening! Siapa yang mau menyiapkan sarapan. Tidak kau lihat rumah berantakan!” Hasminah masih memaki.
Bening membuka mukena, lalu menggantung di paku, setelahnya dia langsung keluar kamar. Melewati Hasminah begitu saja.
Bening duduk di meja makan. Dia duduk dengan mengangkat satu kaki di kursi. “Bikinin sarapan dong, Bu! Aku lapar.” Bening berkata datar.
Kalimat itu seperti berhasil menjambak-jambak rambut Hasminah. Dia tercengang sampai ternganga. Apa yang dikatakan ini anak? Apa aku tidak salah dengar? Batinnya bicara.
“Heh, songong kamu Bening. Bicara apa barusan?”
“Duh, masa tidak mengerti. Aku LAPAR, Bu!” Bening berteriak.
Delapan belas tahun usianya, beban hidup terasa begitu berat baginya. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lakukan saat ini benar atau salah. Salah satu sisi dia mengakui Hasminah seperti ibunya, karena selama 18 tahun ini yang dia tahu Hasminahlah ibu yang harus dia hormati. Tapi satu sisi batinnya menolak, Hasminah bukanlah ibunya. Dia hanya wanita yang memanfaatkan kehadirannya saja. Hasminah datang di kehidupan Bening bukan sebagai malaikat pengganti ibu. Tapi parasit yang hanya memanfaatkan inangnya.
Hasminah tersentak lagi mendengar teriakan Bening. Kurang ajar benar anak itu. Fina dan Zani saja tidak pernah berbuat durhaka seperti itu.
“Heh, kau membentaku, Bening?” Hasminah masih tidak percaya.
“Hih! Air hangat!” Bening kembali menyuruh Hasminah. Sementara di belakang Hasminah, Fina baru keluar kamar dan langsung menghampiri.
“Jangan karena aku bukan ibu yang melahirkanmu kau berlaku demikian, Bening!” Hasminah semakin menegang, dia tak sudi kalau sosok Viona kecil ada di rumah itu.
Zani dan Karman sama-sama keluar kamar, mereka ikut mendatangi keributan, menerka apa yang terjadi antara Hasminah dan Bening.
“Lama ya di suruh ambil air! Fina ambilkan air!” Bening menunjuk dengan mata.
“HAH! Hih ...” Fiona mengernyit jijik.
“Oh, gak mau? Zani, ambilkan saya air!”
“Idih, ambil saja sendiri.” Zani juga mengernyit, dia masih merasa aneh dengan kelakuan Bening.
Bening melirik Karman, lalu melengos.
“Haduh. Jadi gak ada yang mau ambilkan saya air nih? Kalau saya bilang ke Pak Pratama kalo selama ini saya dijadikan pembantu apa yang bakal dia lakukan ya.”
Hasminah, Fina, Zani, dan Karman saling lirik.
“Eh!” pekik Hasminah.
“Ya, terserah, saya tinggal bilang kalau selama ini saya harus bangun pagi, nyuci baju orang seisi rumah, nyapu, ngepel, oh iya itu, ampe bersihin lampu juga.” Bening menunjuk lampu dapur yang belum menyala hingga keadaan di sana cukup gelap. “Aku dijadikan pembantu gratisan loh di sini, mana uang dari Pak Pratama dipake semua. Hiihhhh.” Bening menggeleng.
Hasminah menelan saliva, dia pikir Bening gadis yang lugu, ternyata sekarang menjelma menjadi Viona delapan belas tahun lalu.
“Za-Zani. Ambilkan KAKAK-mu air.” Hasminah memerintah sambil memberi kode dengan mata. Sengaja dia memberikan penekanan pada kata kakak.
“Kok aku sih. Ogah, ah!” Muka Zani mengerut, malas. Meski ibunya mengingatkan kalau hubungan dia dengan Bening adalah adik-kakak, tetap saja Zani tidak mengakui itu. Bagi Zani kakaknya itu adalah pembantu yang bisa disuruh kapan pun. Jadi kalau dia melayani Bening maka serupa turunlah harga dirinya.
“Fi-Fina, ambilkan Bening air!” Hasminah berpindah pada anak gadisnya yang lain.
“Dih malah aku, males ah, aku mau sekolah.” Fina meninggalkan dapur, dia menyalakan lampu dapur dan kamar mandi hingga terang benderanglah ruangan itu.
“A-aku juga mau sekolah.” Zani juga ikut pergi.
Sementara Karmin yang selama ini selalu bertindak atas perintah istrinya itu bingung harus berbuat apa. Mau marah dia segan karena Bening anak orang kaya. Akhirnya dia pergi meninggalkan dapur, menuju depan rumah lalu mengambil koran langganan di sana.
Tersisalah Hasminah yang terkunci di tempatnya. Dia mengentakkan kaki lalu mendekati dispenser. Diambilnya segelas air lalu disimpannya di depan Bening. Gerakannya terpaksa sampai air di gelas itu******sedikit membasahi meja.
Bening mengambil gelas, lalu meminumnya santai.
“Ma, kopi. Sekalian gorengan!” pinta Karman dari depan.
“Diam! Buat sendiri!” Hasminah teriak murka. Lantas perempuan itu mulai merapikan kitchen set yang berantakan.
“Aku mau belajar makan-makanan orang kaya. Kalau sarapan, mereka biasanya makan apa?” Bening memiringkan wajah melihat Hasminah.
Hasminah melirik ke belakang dengan malasnya.
“Ya, kali, kalau aku pindah ke rumah sana aku bisa mudah beradaptasi gitu.” Lanjut Bening sengaja berlaku sombong.
“Heh, Bening, kamu pikir Nyonya Viona akan menerimamu. Mimpi! Kalau bukan karena kebaikan Pak Pratama, kamu sudah mati dari dulu.” Hasminah berbalik lagi pada kitchen set, mengelap keramik mengkilat itu. “Lagi pula Pak Pratama juga bukan ayahmu. Kamu hanya anak tidak jelas. Semua keluarga Cakra Buana bahkan tidak mengakuimu. Heh, kasihan.” Hasminah tersenyum.
“Hm, betul.” Bening mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan Hasminah. Tetapi dia tidak akan menangisi itu sekarang. Hatinya seperti sedang membeku. “Tapi kalau pun tidak di sana aku mau merasakan makanan sana ada di meja sini sekarang. Paham?!”
“Bening! Makin kurang ajar kamu!” Hasminah balik badan, matanya seperti siap melompat.
“Kenapa? Apa aku kurang ajar? Bukankah itu wajar dilakukan oleh anak yang tidak jelas?” Bening tersenyum miris, sedang hatinya bagai teriris.
Hasminah mengalihkan pandangan dari Bening. Setelah sekian lama baru kali ini wanita itu menyentuh peralatan dapur. Baru beberapa menit suara teriakan dari kamar kedua putrinya.
“Bening! Eh, Ma, sepatuku mana ... tasku mana ... buku PR ku mana?”
Fina dan Zani sibuk tidak jelas. Sementara Hasminah keluar taringnya. “Cari sendiri!” Dia teriak.
Bening menunduk, gadis itu teringat pada mimpi semalam, juga kenangan-kenangan buruknya yang sudah menancap lekat di memori. Tiba-tiba dia memikirkan satu hal, lalu tersenyum karena mendapatkan ide yang cukup baik. “Kukerjai kalian hari ini!”
Bersambung ....