Ngerjain Niken
JEMURAN TETANGGA (7)



Jangan lupa sertakan komentarnya ya, agar saya semakin semangat melanjutkan ceritanya.


Terima kasih dan selamat membaca!



__________________________


Setelah memarkirkan mobil di halaman yang tidak cukup luas, tapi Alhamdulillah cukup untuk ukuran mobil Vaganza milik Mama. Mas Yuda menyiapkan kursi panjang tempat biasa aku nongkrong di depan rumah. Diangkatnya kursi ke pinggir jalan, dan aku mulai mengkesekusi baju-baju kering milik Niken. Tunggu, benar, baju-baju ini kering hanya belum kering sempurna. Setelah kuamati, ternyata baju-baju ini adalah baju yang tadi kita gantung ke atas pohon. Astaga, dan sekarang mau dikembalikan lagi ke pagarku? Benar-benar Jeng Yana sudah kelewat batas.




"Mas Ambil sound dulu di dalam." Aku mengangguk dan mulai meletakkan baju-baju Niken serta beberapa segitiga bolong itu di atas kursi panjang.



Kami memang memiliki sound kecil-kecilan, biasanya digunakan karaoke oleh Mas Yuda jika sedang suntuk.



Mbak Kokom berlari ke arahku dan melihat baju-baju Niken dengan geleng-geleng kepala. Dia melambaikan pada Mbak Sarni tetangga sebelah rumahnya.



"Sini ... sini, bentar lagi ada gelud antar dunia persilatan."



Aku melirik tajam ke arah Mbak Kokom, bukannya takut, dia malah tertawa melihat lirikan matamu menarik hati ... oh senyumanmu manis sekali, iya kamu, yang lagi baca ini. Ciyee, jadi senyum kan, ayo ngaku!




"Tadi padahal baju-baju ini udah di gantung di atas pohon loh, Mbak Sarni, tapi ya emang Jeng Yana itu bebal, menantunya di suruh manjat trus sekarang mau dibalikin lagi ke pagar rumah Mbak Sari." Mbak Sarni tergelak mendengar penuturan Mbak Kokom, sepertinya para tetangga bahagia sekali aku melawan Jeng Yana. Astaghfirullah! Jika saja bukan pagar rumahku yang menjadi incaran, aku mah bodo amat.




"Trus ini mau diapakan, Mbak Sari?" Aku menoleh, setelah dengan cekatan aku menjereng baju-baju Niken di atas kursi panjang, kubuang ember besar tempat baju-baju tadi ke dalam got. Kesal sudah mencapai ubun-ubun.




"Selamat sore, ibu-ibu, mari ... mari lihat-lihat baju yang kami jual, harga sesuai kantong. Semua baju-baju ini preloved ya," tutur Mas Yuda menggunakan pengeras suara. Beberapa tetangga mulai berdatangan, hingga depan rumah menjadi seperti tontonan gratis.




Niken berlari disusul Jeng Yana di belakangnya. Dia meringsek diantara kerumunan, dan ikut memilah baju-baju yang kutata di atas kursi.




"Loh ini kan--"



Ucapan Niken terputus saat menyadari semua baju-baju ini adalah miliknya. Dia menatap kesal ke arahku dan merampas semua baju-baju itu dengan paksa.



"Dih, ini ada celana dalamnya juga, Mbak Sari? Kok mengenaskan sekali, bolong sana sini, udah gitu bagian tengahnya menghitam lagi, iyuuw!" Mbak Hartini melempar celana dalam Niken diantara tumpukan baju yang tersisa.



"Loh, kamu mau borong semuanya, Ken?" tanya Jeng Yana pada menantunya, Niken mengedipkan kedua matanya pada Jeng Yana.



"Kamu kenapa, kelilipan? Pake kedip-kedip mata, jadi kayak orang bego!" 



Niken kulihat berjalan mendekat ke arah Jeng Yana, dia berbisik dan seketika mata Jeng Yana melotot ke arahku. Kubalas juga melotot, emang dia aja yang bisa. Sebodoh amat sama unggah-ungguh.




"Eh ... eh, ini ada kutang juga, astaga, kenapa sampai banyak cemiti begini. Pengaitnya hilang semua, miris sekali!" Lagi, kulihat Niken gusar dan meneguk ludah kasar. 



Jeng Yana celingak-celinguk melihat cibiran para tetangga tentang celana dalam dan kutang menantunya yang dia bangga-banggakan modis dan trendy itu.



"Ayo ... ayo ... dipilih, Eh, Mbak Niken itu kenapa baju jualan kami didekap begitu? Mau borong ya? Boleh ... boleh, semuanya saya bandrol 200 ribu saja ," kata Mas Yuda tersenyum licik.



"Duh, ini beneran punya Mbak Sari? Celana dalam dan kutang ini juga, Ya Allah, kalau beneran punya Mbak Sari berarti jorok juga ya," bisik seorang ibu-ibu disebelah Niken, sontak membuat Niken mengangguk ragu. 




"Mbak Niken pasti mau ngeborong semuanya ya? Boleh kok, baju-baju ini emang cocok buat wanita karir seperti kamu," ujarku sok manis dengan memainkan kedua alis.




"I ... iya, saya borong semua! Tapi tanpa celana dalam dan kutang!" sahutnya ketus.



"Celana dalam dan kutangnya nggak sekalian, kan sama kaya punya ...."



"Diam!" sentak Niken ketus, "Aku borong semuanya, mau kusumbangkan ke anak-anak jalanan. Ya ngga Jeng Mami?" Jeng Yana mengangguk ragu, semua baju di atas kursi panjang dibawa oleh Niken.




"Loh ... loh, tunggu, Mbak. Itu kami jual loh, bukan digratiskan!" tegur Mas Yuda, membuat wajah Niken memerah menahan marah. "Semuanya 300 ribu dah, jual murah."




"Tapi kok baju-baju tadi kayak pernah lihat dipake sama Niken ya, Buibu?" seloroh Bu Hindun, seketika Jeng Yana tampak kelabakan. "Jangan-jangan emang bener itu baju-baju Niken, kan Jeng Yana sama Niken suka jemur baju di pagar rumah Mbak Sari. Jadi celana dalam dan kutang tadi...."




"Jangan ngaco, Mbak Hindun, menantu saya ini wanita karir, mana mungkin pakai celana dalam nggilani begitu, apalagi kutangnya astaga ... mereka disatukan sama peniti."



Niken mengangguk-angguk setuju dengan ucapan mertuanya. Jelas saja dia malu, secara celana dalam dan kutang tadi benar-benar tragis. Sejenak aku begitu mengidolakan kutang berpeniti dan celana dalam yang sudah mirip tanaman viral, janda bolong itu.




"Kalau begitu, mana uangnya Mbak Niken," kata Mas Yuda dengan memainkan kedua alisnya.



Niken berlari ke dalam rumahnya, dia datang lagi dengan membawa uang sebesar 300 ratus ribu. Duh, lumayan buat beli baso nih.



"Aku cuma titip uang itu, kalau para tetangga udah bubar, aku minta lagi. Ingat ya, Bu Sari, ini itu baju-baju saya, mana bisa saja membeli baju saya sendiri. Edan!" bisik Niken sambil mengumpat.



Aku tidak peduli, kukipas-kipaskan tiga lembar uang berwarna merah di depan wajah Jeng Yana sambil berbisik, "Berani jemur baju di pagar rumahku, kupastikan Jeng Yana dan Niken miskin mendadak!"



Wajah Jeng Yana berubah masam, dia berlalu dengan mengehentak-hentakkan kakinya.



Sari dilawan!



Bersambung











Komentar

Login untuk melihat komentar!