JEMURAN TETANGGA (6)
Jangan lupa sertakan komentarnya ya, agar saya semakin semangat melanjutkan ceritanya.
Terima kasih dan selamat membaca!
____________________
Sepanjang perjalanan menuju rumah Mama, aku dan Mas Yuda tertawa puas mengingat baju-baju Jeng Yana sudah tertata rapi di atas pohon. Sekarang aku tau, kenapa Jeng Yana tidak mau menjemur baju di depan rumahnya, dia tidak ingin rumahnya terlihat jelek karena ada jemuran baju, lah apa kabar dengan rumahku, dia menjemur baju di pagar rumahku pula! Ngeselin!
"Kita keterlaluan nggak sih, Mas?" tanyaku pada Mas Yuda ditengah asyiknya dia menyetir motor.
"Apa ... Nggak dengar!" teriak Mas Yuda, terpaksa aku duduk sedikit maju dan menempelkan tubuhku pada punggungnya.
"Nah, gini dong enak, biarpun tipis tapi terasa menonjol!" Aku menoyor helm yang dia pakai, bisa-bisanya dia bicara******saat aku sedang serius bertanya.
"Dek, kira-kira dong, dosa tau berani noyor kepala suami. Kamu mau masuk neraka, hah?"
"Siapa sih yang noyor kepala kamu, kan aku mukul helm, nih, helm kan yang kupukul?" Lagi, kupukul keras helm yang melindungi kepala Mas Yuda, membuat lelaki itu mencekal tanganku dan dia lingkarkan pada pinggangnya yang ramping. Duh, jadi romantis kan? Jangan ngiri, kita memang penggemar film Dolan, jadi suka romantis kaya gini.
"Kita keterlaluan nggak sih, Mas? Gimana kalo Jeng Yana nggak bisa ngambil baju-bajunya yang ada di atas pohon?" tanya sedikit lantang.
"Enggak, siapa bilang keterlaluan. Yang ada malah harusnya Jeng Yana berterima kasih ke kita, bisa cepet kering pasti tuh baju-baju, apalagi segitiga lebar nan tipis itu, pasti kalo mereka bisa ngomong, mereka bakal bilang, 'semriwing', soalnya angin bisa masuk dari berbagai celah, banyak bolongnya!" Mas Yuda tertawa lebar, aku memukul lengannya keras. Bagaimanapun aku jadi nggak tega sama Jeng Yana, gimana kalo mereka nggak bisa ngambil baju-bajunya? Duh, dilema kan!
Sesampainya di rumah Mama, kami langsung ikut berkumpul karena adik Mas Yuda baru pulang dari luar kota. Sejenak aku bisa melupakan masalah perbajuan, karena Mama dan Aisyah sedari tadi ngajakin ngomong mulu. Alhamdulillah, aku diberi mertua dan ipar yang baik, aku sering merasa ngeri ketika baca cerita di aplikasi KaBeEm, semoga Mama mertuaku selalu baik dan pengertian pada kami.
"Yud, kamu bawa mobil aja, itu motornya mau dipake Adit besok!" pinta Mama pada Mas Yuda, tuh kan, apa kubilang? Dia itu baik, kami datang bawa motor pulang malah bawa mobil.
"Nggak mau, nggak ada tempat parkirnya," sahut Mas Yuda cuek, dia memang begitu suka nolak kalo disuruh bawa mobil. Padahal bagus, bisa pamer ke Jeng Yana, eh.
Setelah melewati perdebatan yang alot, akhirnya Mas Yuda mengalah dan kami pulang membawa mobil. Kira-kira gimana ya nasib baju-baju Niken? Entahlah!
__________________________
Kami hampir sampai di depan rumah, tapi tunggu! Baju-baju Jeng Yana udah turun semua dari pohon, jangan-jangan mereka punya kaki, atau Niken berhasil manjat? Wkwkwk.
Kurasa Mas Yuda melambatkan laju mobilnya, benar saja, didepan ada Niken dengan membawa satu ember besar berisi baju menuju rumahku. Belum kapok juga dia ternyata.
Tin!
Tin!
Tin!
Saat hendak menyeberang dari rumahnya menuju rumahku, Mas Yuda menekan klakson berkali-kali membuat Niken terperanjat dan berjalan mundur. Saat kami sudah melewati depan rumah, Mas Yuda melihat dari arah spion jika Niken hendak kembali menyeberang, sontak saja dia kembali menekan klakson dan melajukan mobil mundur membuat Niken kembali berlari ke arah rumahnya. Begitulah seterusnya, Niken bahkan mengetuk kaca mobil kami karena kesal kurasa. Aku diam, enggan membuka kaca, biarlah dia menerka-nerka siapa yang berada di dalam mobil, secara mobil Mama memakai lapisan kaca yang terlihat gelap dari luar namun terang dari dalam.
"Buka aja, Dek, biar syok dia." Aku menurut, kubuka kaca mobil dan mendapati Niken menganga lebar.
"Bu Sari? Bukannya Ibu nggak punya mobil ya, kok---"
"Siapa bilang kami nggak punya mobil, ini buktinya!"
"Halah, palingan juga mobil travel yang dibawa."
Mas Yuda keluar dan membuka pagar, aku masih tetap pada posisi, duduk bersandar dan melihat Niken yang kepanasan membawa seember jemuran baju sedang berdiri menahan beban berat. Nih anak kenapa nggak cari jalan lain, malah nungguin Mas Yuda masukin mobil, aneh!
"Niken ... kenapa kamu berdiri doang disitu, cepat jemur baju-baju Jeng Mami Yana!" teriak Jeng Yana dari arah rumahnya, seketika Niken tersadar dan hendak berjalan menuju rumahku.
"Mas ... Mending kita tabrak aja pagarnya biar roboh, daripada buat jemur segitiga bolong, ya kan?" Mas Yuda mengangguk, dia kembali masuk ke dalam mobil, kulihat Niken berdiri dengan gelisah, sampai pada akhirnya Mas Yuda melajukan mobil dan mendekat ke arah Niken berdiri yaitu di depan pagar rumahku.
Niken ketakutan dan berlari, sementara baju-bajunya dia tinggalkan begitu saja di depan rumahku. Kulihat dia menutup pintu kasar hingga terdengar sampai ke telingaku.
"Lah, kabur dia, Dek?"
"Takut ditabrak kali," sahutku cekikikan.
"Ya kali kita beneran mau ngerobohin pagar, dikira keluarga sultan!" Kami berdua tertawa melihat kekonyolan Niken.
"Eh baju-bajunya ketinggalan, Mas. Enaknya diapain ya?"
Kami berdua saling berpandangan, dan melemparkan senyuman licik ke arah masing-masing.
Bersambung