Chap. 4
HADIAH TALAK USAI MELAHIRKAN
#Hadiah_Usai_Melahirkan
Chapter 4
Haruskah Fina pergi dan menjauh dari kamar ini? Atau justru mendobrak pintunya secara paksa dan menangkap basah dua manusia yang sedang memadu kasih?
***
Pelan-pelan Fina mendorong pintu kamar Astri. Ia bermaksud membukanya secara diam-diam. Lalu memergoki keduanya yang tengah memadu kasih.
Bisa dibayangkan bagaimana reaksi mereka? Pasti akan kelabakan. Fina menyeringai jahat.
Berulang kali ia mendorong pintu. Tapi tidak berhasil juga. Sepertinya pintu kamar dikunci dari dalam. Sayang, bayangan Astri dan Bagus yang tertangkap basah seketika buyar.
Haish! Fina menghela nafas kasar karena kecewa.
Baiklah! Kalaupun tidak bisa memergoki mereka berdua. Setidaknya mengetuk pintu adalah pilihan. Mau tidak mau mereka yang ada di dalam pasti kebingungan.
Hati Fina sudah mantap untuk mengetuk daun pintu. Rasanya belum ada persiapan untuk menggrebek mereka secara masal dengan para warga dan pak RT.
Tok! Tok! Tok!
Fina mengetuk pintu agak kasar. Suara des*han sudah tidak lagi terdengar dari dalam. Reaksi mereka pasti kelabakan karena tidak menyangka wanita yang dianggap lemah itu mendatangi kamar tempat mereka memadu kasih.
Bukan mengetuk, Fina malah menggedor pintu cukup keras. "Astri! Apakah kamu sudah tidur? Aku butuh bantuanmu. Cepatlah, Astri! Ini sangat penting."
Bruk!
Terdengar suara beban berat terjatuh ke lantai. Suaranya cukup keras. Pasti rasanya sakit sekali. Bisa ditebak kalau yang terjatuh itu adalah salah satu dari mereka berdua. Kalau bukan Astri ya Bagus.
Fina terkikik mendengar suara itu. Pasti akan sangat lucu kalau melihat adegan jatuhnya secara langsung.
Dor! Dor! Dor!
Lagi Fina menggedor pintu tidak sabaran.
"Iya, Fin. Sebentar, ya," sahut Astri dari dalam kamar.
Krek!
Sesaat kemudian terdengar suara engsel pintu dibuka. Tampak Astri memunculkan wajah yang berpeluh keringat dan rambut sedikit kusut. Peluh nikmat bersama laki-laki penghianat dan laknat.
"Maaf ya, aku gangguin kamu, As." Fina memasang wajah iba. "Kamu sudah tidur ya tadi?" tanyanya sembari melongokkan kepala melempar pandang ke dalam kamar.
Astri menganggukkan kepala sambil menguap. "Kamu ngelihatin apa, Fin?" Ia menoleh memandangi kamarnya lalu menarik daun pintu merapat.
Harusnya tidak perlu berpura-pura. Karena Fina sudah mengetahui segala kebusukan wanita di hadapannya. Menjalin hubungan gelap dengan suami sahabatnya sendiri. Munafik!
"Aku mau minta bantuanmu, As. Maukah kamu mengerok pungungku? Aku tidak bisa tidur karena badanku meriang."
Astri bergeming. Sepertinya ia sedang berpikir.
"Sebenarnya tadi aku mau minta bantuan Mas Bagus. Tapi pas aku cari di kamarnya dia nggak ada. Nggak tahu dia lagi di mana," ucap Fina asal. Padahal ia tidak ke kamar Bagus sama sekali.
"Mau, ya."
Tampak secuil raut keraguan di wajah Astri. Tapi sejurus kemudian ia mengangguk lalu tersenyum.
Tanpa mengulur waktu, Fina segera nyelonong masuk. Meskipun ini kamar yang menempati Astri, tapi ia punya hak penuh dong atas rumah ini.
"Tidak akan lama lagi kamu tinggal di sini. Selagi kalian belum kuusir, maka nikmatilah kenyamanan fasilitas rumah ini," bisik Fina dalam batin.
Fina mengedarkan pandang ke semua sudut kamar ini. Ia menatap jeli mencari-cari keberadaan Bagus. Kemana perginya laki-laki penghianat itu? Apakah dia masih berada di sini dan bersembunyi?
Nihil.
Fina tidak menemukan sosok yang dicarinya. Tanpa disengaja ia justru melihat jendela kamar yang sedikit terbuka. Pasti Bagus sudah melarikan diri dari kamar ini lewat jendela itu. Bodohnya, ia justru tidak menutup kembali dalam posisi yang rapat.
"Kamu ada minyak angin dan uang koin kan? Aku tidak bawa soalnya."
"Ada, Fin. Biar aku cari dulu. Kamu duduk aja dulu di kasur."
Fina segera duduk di kasur. Sebenarnya jijik untuk mendudukinya. Apalagi kalau kebayang barusan Astri dan Bagus melakukannya di sini. Ih, makin jijik deh. Tapi mau gimana lagi?
"Kamu kenapa, Fin?" tanya Astri saat mendapati raut masam di wajah sahabatnya.
"Bukan apa-apa sih. Tapi aku mencium aroma yang tidak enak di sini. Bolehkah aku duduk di kursi itu saja?" ujar Fina seraya menunjuk kursi kayu lalu tersenyum dipaksakan.
Ditariknya kursi itu lalu mendudukinya. Setelahnya Fina menyingkapkan bajunya. Dengan lembut, Astri pengerok leher lalu berganti ke punggung. Terlihat penampakan garis-garis merah menyala di leher dan punggungnya.
"Kenapa rasanya dingin sekali?" Fina berpura-pura menatap jendela. "Ya, Tuhan. Kamu belum menutup jendelanya rapat. Pantas saja hawanya dingin."
"Biar aku tutup dulu ya, Fin," tawarnya.
"Eh, nggak usah. Biar aku saja." Fina bergegas bangkit dan berjalan menghampiri jendela. Setelah berada di depan jendela, bukannya ia menutupnya tapi malah membukanya lebar.
Cuih!
Fina meludah ke luar jendela. Bukan hanya sekali, tapi ia mengulanginya tiga kali.
Terdengar suara seseorang mendesah kesal. Bisa ditebak kalau itu adalah Bagus. Ia terjebak di luar dalam kegelapan karena semua pintu sudah terkunci rapat. Tidak ada jalan untuk masuk. Hanya ada satu pilihan, yaitu menunggu sampai Fina benar-benar pergi.
"Rasakan kau, Bagus! Ludah ini pantas untuk kau terima. Ini hanya seujung kuku balasan dariku. Tidak ada apa-apanya dibanding rencanaku," batin Fina puas. Sekilas ia menyeringai usai meludahi Bagus.
Setelah menutup jendela, Fina kembali lagi duduk di kursi. "Hati-hati lho, As. Selalu tutup jendela rapat-rapat. Kadang suka ada kucing garong yang masuk. Apalagi kalau mencium aroma-aroma ikan asin," selorohnya menyindir.
Demi mengulur waktu, Fina sengaja mengajak Astri berbincang. Biar saja Bagus di luar kedinginan dan dikeroyok nyamuk. Itu balasan yang belum seberapa atas kelakuan laknatnya.
Rasanya betah sekali untuk berlama-lama di sini. Dan mungkin besok akan ada kejutan bentol-bentol merah di wajah, leher dan tangan Bagus.
Bersambung.