Chapt. 1
Chap. 1
HADIAH TALAK USAI MELAHIRKAN
#Hadiah_Usai_Melahirkan

Chapter 1

"Aku menjatuhkan talak kepadamu, Fina. Mulai detik ini, kita berpisah," ucap Bagus kepada wanita yang baru saja melahirkan buah cintanya seminggu yang lalu.

Seketika Fina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Menahan rasa panas yang menjalar di bagian wajahnya. Sesaat kemudian kedua matanya berkaca.

Aqiqah baru saja berlangsung malam ini. Semua orang bersuka cita menyambut kelahiran bayi mungil nan cantik itu. Tapi, sekejam itu ucapan Bagus membakar hangus kebahagiaan yang masih terpancar di wajah Fina.

Suara Bagus memang terdengar lembut. Namun di balik kelembutan itu justru menyimpan ketajaman yang mampu membuat hati Fina tersayat. Meninggalkan bekas luka yang dalam dan menganga.

Apakah ini sebuah kejutan dan hadiah untuk Fina usai melahirkan seorang bayi cantik? 

Bukan hadiah berupa barang yang mewah dan berharga yang didapat Fina. Bukan pula hadiah berupa ungkapan rasa terima kasih yang tulus karena telah melahirkan seorang putri. Tetapi yang didapatnya justru hadiah berupa talak dan perpisahan.

Hati wanita mana yang tidak sakit menerima kejutan semacam ini dari suaminya? Sosok yang seharusnya memberi dukungan sepenuhnya justru membuat hati istrinya terluka. Bukankah ini sesuatu yang gila?

Luka bekas jahitan di jalan lahir Fina saja belum kering. Bisa dikatakan masih basah karena baru seminggu melahirkan. Rasanya juga masih perih dan ngilu. Bukannya bersabar menunggu kesembuhan luka itu, Bagus malah menambah luka lagi di tempat yang berbeda. Ialah hati. 

Menyayat segumpal daging itu dengan ucapan halusnya. Rasa sakit yang ditimbulkan akan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Akan lebih lama sembuhnya dibanding sayatan di jalan lahir Fina. Dan mungkin saja luka itu tidak akan sembuh seiring berjalannya waktu. Melainkan akan membekas selama-lamanya.

Bagus menunduk memandangi bayi perempuan mungil dalam pangkuannya. Bayi mungil yang berbalut gedong sebagai penghangat tubuhnya. Bayi cantik yang baru saja diberi nama beberapa jam yang lalu. 

Zidny Rizka Prayoga. Nama yang menyematkan doa indah untuk keluarga kecil Bagus.

Sepasang mata Bagus berganti memandangi Fina. Perempuan berparas ayu, kalem dan tenang. Ada semburat air muka yang meredup dalam wajah ayu itu.

Bagus menghela nafas panjang. Memulai ancang-ancang untuk bicara. "Maafkan aku, Fin. Aku rasa ini pilihan yang terbaik untuk kita berdua." Ia menjeda sebentar sembari menelan saliva. "Aku capek menjalani kehidupan rumah tangga seperti ini. Harusnya kita menyadari kalau langkah kita sudah salah dari awal. Tapi kita tetap saja melanjutkannya."

Fina bergeming. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir pucatnya.

Bagus menidurkan Zidny ke atas ranjang. Lalu menutupnya dengan kojong. "Kita menikah terhalang restu dari ibuku. Aku capek jika terus-terusan bertengkar dengan ibu karena masalah ini. Nyatanya sampai sekarang ibu tidak juga memberikan restu itu untuk kita. Aku rasa percuma kalau rumah tangga ini tetap berlanjut," ujarnya memberi penjelasan. 

Fina menangkupkan kedua telapaknya menutupi wajah. Air matanya berderai dan berjatuhan membasahi telapak tangannya.

"Sekali lagi maafkan aku, Fina. Tidak perlu menangisiku seperti itu. Carilah laki-laki yang lebih baik dariku," ucap Bagus seolah berusaha membuat Fina berbesar hati atas perpisahan ini.

Perlahan Fina menampakkan wajah yang telah basah oleh air mata. Sepasang mata sendunya menatap Bagus lekat.

"Baiklah, kalau itu maumu, Mas. Tapi aku meminta waktu untuk tetap tinggal di sini beberapa saat."

Bagus tidak menyangka Fina kan menerima keputusan ini. Ia pikir wanita lemah seperti Fina akan memohon dan menangis darah demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dan terbukti dugaan Bagus salah. 

"Kamu boleh tinggal di sini sampai kapanpun. Karena mulai saat ini rumah ini sudah menjadi milikmu, Fina. Rumah ini sengaja kuberikan padamu."

"Terima kasih, Mas," ucap Fina lalu menyeringai sekilas.

"Aku yang seharusnya berterima kasih kepadamu, Fina. Terima kasih banyak karena menghargai keputusanku."

Fina mengulum senyum kecut. Sesaat kemudian ia menganggukkan kepala.

Bagus bangkit dari duduknya. "Tidurlah! Aku akan tidur di kamar sebelah," ucapnya sebelum akhirnya keluar kamar dan pergi.

Setelah Bagus pergi, Fina segera mengusap air matanya. Sejurus kemudian ia menyeringai tajam. "Kamu bodoh, Mas! Kamu pikir aku benar-benar menangis karena kamu talak? Kamu pikir aku menangisi laki-laki licik sepertimu tadi? Air mataku terlalu berharga untuk menangisi laki-laki bangs*t sepertimu," ucapnya setengah berbisik.

Fina beranjak bangkit. Ia berjalan menghampiri pintu kamarnya. Diam-diam ia mengintip dari celah pintu kamarnya yang tidak ditutup rapat. Dilihatnya Bagus sedang melongok awas sambil berjalan menuju kamar yang berada tidak jauh dari kamar Fina, hanya berjarak satu kamar saja. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang sedang beraksi. Lalu saat sampai di depan kamar itu, ia mengetuk pintunya pelan.

"Astri ... Buka pintunya," ucap Bagus setengah berbisik sembari mengetuk pintu pelan.

Tidak lama kemudian, Astri membuka pintu. Sepasang mata keduanya menatap awas sekeliling. Setelah dirasa aman, Bagus segera memasuki kamar itu lalu menutup pintunya rapat.

Bersambung.

Jangan lupa klik subscribe, tekan ❤ dan tinggalkan komen kalian di cerita ini ya.

Terima kasih!

Komentar

Login untuk melihat komentar!