Bergelut dengan Kepala
#Arwah_di_Gerobak_Bakso
Bagian 5
__________

"Huuuuu... Abah, kenapa diem. Dadan pingin makan Bakso Abah. Huuuuu...." Dadan menangis dengan mengucek-ngucek matanya.

Argh! Aku harus bagaimana? Anak semata wayangku ini ingin daging dikulkas, tapi tak kuberi. Sekarang Dadan ingin Bakso, masa aku tolak lagi. Harus jawab apa ini teh, Gusti!. Biasanya, kan. Dadan memang suka makan Bakso buatanku.

Aku hanya bisa bergeming dan sesekali mengacak-ngacak rambut cepakku ini. Aku menatap Idah yang masih menangis untuk meminta bantu jawab. tapi, ia tak mau melihatku. Argh! Sialan!

Kulihat jam dinding usang yang menggelayut di dinding dapurku, waktu sudah menunjukan pukul 07.15 wib.

Ah, aku bisa mengelak. "Dadan Kasep anak Abah. Udah jam 7 lewat, tuh. Nanti Dadan telat sekolahnya. Nanti di marah atuh sama Guru. Berangkat, jung. Dadan mah anak pinter, kan. Nanti pulang sekolah Abah beliin Ayam goreng KFC, deh. Itu loh, Dan. Ayam goreng yang ada di Tv-Tv itu. Dadan tau, kan. Abah janji." Aku menjentikkan jari kelingkingku di depan wajah Dadan.

Dadan menghapus air matanya dengan dasi merahnya. Dadan menyambut kelingkingku dengan jari kelingking mungilnya. "Janji ya, Abah." Ucap dadan terisak-isak.

"Siap, Bos." Aku memperagakan tangan hormat pada Dadan.

Akhirnya Dadan mau tersenyum juga setelah di rayu dengan Ayam KFC. "Idah! Antar Dadan kesekolahnya!"

Idah bangkit dengan kesal dalam wajah yang basah karena air mata. Idah menatapku dengan sorot kebencian. Sangat benci, benar-benar benci seperti sedang memandang Teroris!

Bugh!

Pragh!


Idah membanting pintu kulkas hingga plastik hitam yang ada di atas kulkas menggelinding jatuh.

Argh! Ingin aku memerahi Idah karena telah bersikap tak sopan padaku. Tapi aku berfikir ulang, tak baik jika aku bertengkar dengan Idah di depan Dadan. Akhirnya, kubiarkan saja Idah pergi bersama Dadan meskipun aku lihat wajah Idah memberenggut masam kepadaku.

"Huh! Dasar! Punya pamajikan teh gak bisa di ajak kompromi!" (Pamajikan=istri) marahku meluap setelah Dadan dan Idah tak tertangkap oleh netraku.

Bugh!

Aku menendang plastik hitam yang jatuh tadi hingga menghantam pintu kulkas karatan itu.

Tunggu dulu, aku seperti kenal dengan plastik itu. Kupandang plastik hitam berisi benda bulat namun terlihat penyok itu, lanjut aku jongkok di hadapannya. Plastik itu berada tepat di bawah pintu kulkas bututku ini.

Kupindai lebih dalam, lalu kucoba untuk pegang. Astaga! Yang aku pegang ini seperti sebuah hidung. Kutengok kantong plastik hitam yang ada di kolong meja kompor semalam. ternyata, plastik hitam yang semalam aku tendang itu sudah tak ada di tempat.

Sreeek!

Terdengar bunyi plastik.

Dag dug... Dag dug... Dag dug...

Jantungku mulai kumat, suara plastik itu seperti suara plastik semalam, kuputar leherku perlahan untuk melurus lagi. Dan, "waduh, Gusti!" Aku terlonjak hingga terjengkang duduk kebelakang.

Ternyata benar, itu kantong plastik semalam. Sial! Kenapa ikatannya bisa terbuka seperti itu? Tadi perasaan plastik ini terikat? Jantungku seperti akan melompat ke lambung ketika melihat wajah itu.

Kuberanikan diri untuk mengikat kantong plastik ini agar tak kulihat lagi wajah ini. Sial! Bau! Kenapa bau sekali!? Padahal baru semalam aku eksekusi. Kenapa sudah bau bangkai lagi.

Kuangkat kantong plastik ini dengan ibu jari dan jari telunjukku. Aku harus membuang benda sialan ini. Sialan betul, benda ini berkali-kali membuatku takut.

Aku mulai keluar pintu dapur untuk mencari tempat yang pas untuk mengubur benda ini. Tapi, Kenapa kantong plastik ini bisa ada di atas kulkas?, padalah semalam aku ingat betul jika plastik ini ada di kolong meja kompor. Tak mungkin, kan. Kalau Idah yang memindahkannya? Untuk apa Idah pindahkan? Argh! Bisa gila lama-lama aku!

**

Kupindai seluruh halaman dapur yang berukuran sempit ini. Begitu sempit bakhan aku tak menemukan tempat yang pas. Di belakang rumah sewaanku ini terdapat kebun jangung milik pemilik rumahku ini. Tapi, apa aku harus mengubur benda ini di kebun jagung?

Argh! Jangan bodoh, Pangna! Kalau tanahnya kamu gali, nanti tumbuhan jagung itu akan rusak. Terus kalau waktunya jagung itu panen, lalu mau menanam jagung lagi dengan menggali tanah, bisa kacau kalau benda ini ikut kegali.

Lulu harus kukubur dimana ini? Argh! Aku benar-benar sudah gila! Sayang sekali, halaman dapurku ini bukan tanah, melainkan semen coran. Bila aku menggali semen ini, rusak dong kalau gitu!

Duh, Gusti. Aku benar-benar gila.

Srek!

Kurasakan plastik yang sedang kucubit ini bergerak. Kuangkat plastik ini hingga menggantung diudara tepat dihadapan wajahku.

Tak bergerak, kok.

Srek!

Brek!


Plastik yang ada di hadapan wajahku ini sobek dan dari sobekan itu menjulur lidah.

Sial!

Sial!

Sial!


Argh! Kurang ajar!

Bugh!

Bagh!

Bugh!

Bagh!

Prak!


Kubanting-banting plastik ini ke batu yang ada hingga benda di dalamnya pecah. Aku sudah tak tahan lagi, aku sudah mulai prustasi. Bajuku ini sudah basah oleh kringat.

Braagh!

Aku terduduk di semen dengan stamina telah habis. Kubiarkan benda di dalam plastik koyak itu tergeletak di hadapanku. Aku mencoba mengatur nafas agar aku tenang. Argh! Tetap saja aku tak bisa tenang.

Srek!

Sial benda bajingan itu masih bergerak.

Argh!

Bugh!

Kelemparkan benda itu hingga menghantam septitank. Kutengok benda itu, benda itu tergeletak di dekat septitank yang berlubang sedikit.

Aha!

Aku punya ide.


Aku bangkit dari duduk lemasku. Aku ambil batu beton yang ada di dekat pintu dapur rumahku, lanjut kuhampiri benda aneh itu.

Tanpa basa-basi lagi.

Bugh! Bugh! Bugh!

Kupukul-pukul benda itu hingga gepeng, penyet, seperti rengginang. Heuh! Jangan salahkan aku. Kamu sendiri yang menakutiku.

Kumasukan secara paksa benda yang sudah remuk ini kedalam septitank ini, tadinya diameter lubang ini hanya seukuran bola bekel. namun, kukorek-korek saja hingga diameternya seukuran bola kasti.

Bau? Jangan di tanya lagi. Menjijikan? Itu sudah pasti.

Muat tak?

Muat tak muat! Harus muat! Aku sudah muak di jahili habis-habisan oleh benda ini.

Cuih!

Aku meludah padanya yang telah bercengkrama dengan kotoran manusia.

Ha ha! Puas sekali aku.

Ku cari tanah di dekat tumbuhan jagung itu. Untuk apa? Untuk menutup lubang itu lah. Untuk apa lagi.

**

Pyuuuh!

Lelah sekali aku. Tak pernah seumur-umur aku merasa lelah seperti ini. Argh! Sialan! Benda itu telah menguras tenagaku habis-habisan.

Tapi, aku harus tetap keliling untuk berjualan. Bagaimana pun, aku memiliki janji pada Dadan untuk membelikan Ayam goreng KFC. Kalau aku tak jualan, mau dapat uang dari mana?

Hufh! Begini nasib menjadi orang susah.
Andai saja kedai Bakso Kang Jamal itu menjadi milikku. Argh! Tak mungkin! Orang tamak seperti itu mana mau berbagi warisan!.

Aku mulai mengambil pentol yang semalam telah aku tiriskan. Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat pentol ini sudah berubah warna menjadi warna merah.

Kulihat lebih seksama lagi pentol ini dengan mendekatkan wajahku ke wadah anyaman bambu ini. Astaga! Ini darah! Pentol ini seperti habis di siram darah.

Darah siapa ini? Darah dari mana pula!? Mengapa banjir sampai luber di permukaan meja kompor!?

Aaargh!!

Aku sudah gila!

Brugh!

Suara apa lagi itu?!


Kutingglkan pentol berlumur darah ini untuk menghampiri asal suara di halaman depan.

****

Ya Gusti!

Mataku melebar sempurna ketika melihat gerobak Baksoku terjungkal.

___

Bersambung.
", ]; document.getElementById( "render-text-chapter" ).innerHTML = `

${myData}

`; const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js"); myWorker.onmessage = (event) => (document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data); myWorker.postMessage(myData); -->
Komentar

Login untuk melihat komentar!