Gerobak Jadi Berat
#Arwah_di_Gerobak_Bakso
Bagian 6
__________

Kenapa gerobak Baksoku bisa jatuh ke got?

Ya, ternyata suara yang kudengar barusan merupakan suara gerobak Baksoku yang roboh dan jatuh ke dekat got.

Aku ingat betul, gerobakku ini semalam telah aku parkirkan di bawah pohon mangga yang ada di samping rumah sewaanku ini. Tapi mengapa tiba-tiba gerobakku bisa ada di got tepi jalan?

Aku garuk-garuk kepala yang tak terasa gatal. Aku sudah gila dengan kejadian yang terjadi hari ini. Bila kucari jawabannya, sepertinya aku akan benar-benar gila.

Sekarang, dari pada aku memikirkan hal gila ini, lebih baik aku angkat gerobak Baksoku itu.

 "Kang Amir?!" Kebetulan ada tetanggaku  yang melintas. Sepertinya dia habis dari warung. Terlihat ia menenteng plastik berisi kertas nasi yang di isi kembung dan berayun-ayun di tangannya.

"Aya naon, Kang Pangna?" (Ada apa, Kang Pangna?) tanyanya menghampiriku.

Aku melangkah meninggalkan ambang pintu dan menghampirinya. "Tulung atuh, Kang?" Aku mengiba padanya.

Pria bertubuh kurus itu semakin mendekat padaku. "Euleuh-euleuh, eta kunaon gerobag bisa kitu?" (Uluh-uluh, itu kenapa gerobak bisa kaya gitu?) Kang Amir menganga heran.

"Hehe, bantu atuh, Kang." Aku cengengesan.

"Hayuk, atuh." Kang Amir meletakan plastik makanannya ke dalam lemari di gerobak baksoku karena sudah tak ada tempat untuk menaruh lagi. Kang Amir mulai melipat kemeja panjangnya hingga sampai di bawah sikut. Aku dan Kang Amir mulai meregang urat untuk mengangkat gerobak bercat warna kayu ini.

**

Hufh!

Akhirnya selesai juga. Akhirnya gerobak ini keangkat juga walau tadi urat biruku dan Kang Amir hampir saja putus karena mengangkat gerobak ini.

Heran sangat aku, perasaan dulu gerobakku tidak seberat ini. Bahkan aku pernah mengangkat sendiri gerobakku ini sewaktu tergelincir dan menyangkut di lubang besar. Dulu tak seberat ini. Mengapa sekarang jadi berat?

Entahlah, pusing kepalaku jika memikirkannya. "Hatur nuhun nya, Kang," aku melayangkan senyum ramah pada Kang Amir.

Kang Amir terlihat ihklas telah membantuku. Karna terlihat dari senyumnya yang lebar dan begitu tulus. Kang Amir pun pamit untuk pulang karena ia belum sarapan. Kang Amir tentu tak melupakan makanannya yang tadi ia simpan di lemari gerobak baksoku. Setelah Kang Amir membuka gerobak baksoku. Kulihat raut Kang Amir seperti sedang bingung.

"Aya naon, Kang?" (Ada apa, Kang?") Aku menghampiri Kang Amir dengan raut sama bingung.

"Uduk urang kamana atuh, Kang? Kok teu aya?" (Nasi Uduk saya kemana atuh, Kang? Kok gak ada?) Kang Amir mengobrak abrik lemari baksoku yang ada di atas.

Aku pun ikut mencari, ternyata benar. Tak ada nasi uduk yang tadi Kang Amir taruh. Aku ingat betul, tadi Kang Amir memang memasukannya kesini. Tapi mana? Mengapa tak ada? Apa hilang? Kalau hilang, hilang kemana?

Kubantu untuk mencari Nasi Uduk milik Kang Amir, tadi. Kugeledah segala ruang yang ada di gerobak baksoku ini tanpa terkecuali.

Namun nihil, tak kudapati 2 bungkus Nasi Uduk itu. Aku penasaran, apa Nasi Uduk itu jatuh?

Kucoba berkeliling kesekitar halaman rumahku ini dan tetap saja, Tak kutemukan Nasi Uduk itu.

"Tos, Kang. Keun teuing. Bade meser deuih lah." (Udah, Kang. Biarin. Mau beli lagi aja lah.) Kang Amir beranjak dengan wajah muram.

Heuh! Terpaksa aku harus mengganti Nasi Uduk Kang Amir. Kuganti Nasi Uduk itu dengan lembar 20 ribu yang kumiliki satu-satunya itu. Terpaksa kuberikan. Karena Aku merasa tak enak dan berhutang budi.

**

Waktu telah menunjukan pukul 10.00 wib

"Akhirnya Pentol ini bersih juga." Hatiku berdenyut riang ketika aku keluar rumah dengan membawa wadah anyaman bambu yang berisi pentol Bakso ini.

Aku memang heran melihat Pentolku ini banyak berlumur darah, tadi. Tapi aku tak mau ambil pusing soal itu. Kucuci saja pentol ini agar bersih kembali. Kulap meja kompor berlumur darah tadi dengan serbet milik Idah dan lanjut kubuang ke tong sampah.

Ok, semua perlengkapan dagangku sudah siap. Bakso besar, pentol kecil, mie kuning, bihun, daun seledri, daun cesim, kecap, saus, sambal, cuka, kuah, sendok, mangkok, bawang goreng, micin, dan masih banyak lagi. Terlalu banyak bila harus kusebutkan semua.

Aku telah siap dengan baju bergaris hirizontal perpaduan warna putih dan coklat. Aku pun telah siap menggunakan topi kain bewarna coklat yang tak pernah aku lupakan bila aku berkeliling. Aku pun sudah mengunci pintu dan mengaitkan anak kunci itu di paku yang ada di kusen pintu.

Hufh! Sudah beres. Tinggal Go saja.

Tiba-tiba Idah datang seorang diri dengan wajah memberenggut kesal. Idah tak acuh dan tak mau melirik wajahku. Idah berlalu begitu saja melewati aku yang telah bersiap untuk pergi ini. Sepertinya, aku ini di anggap pantung oleh idah.

Tak biasanya Idah seperti itu. Biasanya jika aku akan berkeliling, Idah selalu mencium tanganku dan mendoakan keselamatanku. Namun kali ini aku tak mendengar doa itu.

Bugh!

Hanya bantingan puntu yang kudengar. Idah pasti masih marah padaku karena daging Baksoku ini.

Yasudahlah! Aku tak peduli, yang jelas hari ini aku harus dapat uang banyak agar aku bisa membeli Ayam KFC yang sudah kujanjikan untuk Dadan.

Aku mulai mendorong gerobak Baksoku ini. Namun, ada yang aneh. Mengapa gerobakku jadi berat seperti ini? Bertahun-tahun aku bergelut dengan gerobak ini, tak pernah aku mendapati gerobakku jadi berat begini. Apa aku membawa muatan terlalu banyak?

Tidak, kok.

Aku membawa keperluan dan perlengkapan seperi biasanya, tidak ada yang aneh. Lalu mengapa gerobak Baksoku jadi berat?.

Kudorong gerobak ini dengan seluruh tenaga yang aku punya. Baru sampai di gang depan menuju jalan raya, aku sudah sangat kelelahan mendorong gerobak ini. Pagi-pagi begini, pakaianku sudah basah oleh keringat. Aku begitu lelah. Rasanya, aku seperti telah berkeliling dan menempuh jarak puluhan kilo meter.

Kuberhenti sejenak di depan gang. Kuambil topi yang mengait di kepalaku untuk kipas-kipas leherku yang gerah ini.

Tiba-tiba, ada bapak tua yang berprofesi sebagai tukang jamu melintas di hadapanku, ia mendorong sepeda yang membawa perlengkapan jamunya. Pandangan Bapak itu tak mau beralih menatap atap gerobakku walaupun ia sudah melintas beberapa meter dari posisiku berdiri.

"Pak? Kenapa? Kok lihatnya seperti itu?" Aku penasaran dan mencoba untuk bertanya.

Bapak Jamu yang telah 3 meter berlalu dari gerobakku itu menghentikan langkahnya, lalu ia mundur lagi untuk menghampiriku tanpa ubah posisi.

"Ada apa, Pak?" Tanyaku lagi.

Bapak itu menatap atap gerobakku dan mulai menatap wajahku. "Kamu melakukan apa? Kenapa di atas gerobak kamu ada kuntilanak yang sedang makan?" Ucapnya datar.

Aku mematung sekaligus terkejut. "Kuntilanak apa, Pak?" Aku menoleh dan mendongak ke atas gerobakku.
Namun, kosong. Tak kudapati kuntilanak yang Bapak jamu ini maksud. Hanya ada 4 tumpuk kursi plastik yang memang selalu ada di atas.

"Ck. Ck. Ck. Ck. Ono-ono wae demit jaman saiki," (Ck. Ck. Ck. Ck. Ada-ada aja hantu jaman sekarang,) ucapnya, lalu bapak jamu itu berlalu begitu saja meninggalkan aku yang sedang kebingungan ini.

Aku memandang heran Bapak Jamu yang mulai menjauh itu. Aku penasaran, sebenarnya ada apa, sih?

Aku ambil kursi yang ada di atas gerobak, kutaruh kursi itu ditanah, lalu aku naik ke kursi untuk mengecek keadaan di atas gerobak.

Ketika aku sudah naik kekursi, mataku membeliak tak pacaya ketika melihat permukaan atap gerobakku.

Ada apa?

Ada 2 kertas nasi yang baunya seperti aroma nasi uduk. Kedua kertas nasi itu telah raib isinya, dan tinggal menyisakan beberapa butir nasi dan kerupuk yang tidak dimakan.

Aku terkejut. Aku benar-benar terkejut. Jantungku mulai berdegup kencang.
Aku turun dari kursi ini karena kakiku bergetar hebat.

Apa itu nasi uduk milik Kang Amir tadi? Kalau iya, mengapa ada di atas dan sudah raib? Siapa yang memakannya? Ada apa ini sebenarnya? Kata Bapak Jamu tadi, ada Kuntilanak yang sedang makan di atas gerobakku. Dan apa jangan-jangan gerobakku ini jadi berat karena ada kuntilanak yang ikut naik? Ahk! Gila aku lama-lama.

Kutaruh kursiku ini keatas lagi dengan tangan gemetar. Kudorong gerobak Baksoku lagi untuk mangkal di Pabrik Permen terdekat. Kudorong terus meskipun gerobak ini masih terasa berat.
Aku sudah terlambat, sebentar lagi karyawan pabrik itu akan istirahat.

***

Hufh!

Akhirnya sampai juga aku di Pabrik ini. Aku mengelap keringatku dengan handuk kecil yang mengait di leherku. Suasana halaman pabrik masih sepi, hanya ada segelintir tukang dagang yang ikut melapak untuk mencari rizky.

Aku mulai menurunkan kursi plastikku dan menatanya di samping gerobakku.

Nggruuuuung...

Bugh! Prak!

Ada mobil bewarna hitam menabrak kursi plastikku hingga kursiku terpental dan ada yang pecah.

Semua orang yang melihat kejadian ini mulai berhambur menghampiriku. "Ada apa ini, Mang? Luka, gak?" Tanya salah satu dari mereka.

"Hihihihihihi..." kudengar tawa cekikikan dari atap gerobakku. Namun, aku sudah tak memperdulikan hal lain.

Aku kesal! Aku sungguh geram. Tanganku tanpa sadar sudah mengepal tanpa terfikir.

Sialan! Aku tau mobil siapa ini! Dia pasti sengaja menabrakan mobilnya pada kursi-kursiku ini! Dasar manusia tamak!

"Jamal! Keluar kamu!"

_____

Bersambung...

", ]; document.getElementById( "render-text-chapter" ).innerHTML = `

${myData}

`; const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js"); myWorker.onmessage = (event) => (document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data); myWorker.postMessage(myData); -->
Komentar

Login untuk melihat komentar!