5
Di dalam mobil, baru saja Juwi ingin jujur pada Umi Yuni, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan cepat wanita itu mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tasnya. Matanya membelalak melihat nama yang terpampang di ponsel, Nenek.

Perlahan, ia mendekatkan ponsel di telinganya. Baru saja ia akan mengucapkan salam, suara Nenek terdengar lebih dahulu.

“Wi, cepat ke rumah pamanmu!” ucap Nenek tegas. “Nenek tunggu sekarang.”

“I―iya, Nek.”

Nenek mematikan sambungan teleponnya. Sedangkan Juwi menatap ragu pada Umi Yuni.

“Kenapa, Wi?” tanya wanita yang sedang fokus menyetir itu tanpa menoleh. “Tadi nenekmu?”

“I―iya, Um.” Jawaban pendek Juwi membuat Umi Yuni tidak enak untuk menanyainya lebih jauh. Hingga sampai di ujung gang tempat kosnya, wanita itu pun mencium tangan Umi Yuni dan turun dari mobil.

Langkahnya tergesa menuju kamar kosnya. Hingga saat pintu terbuka, ia segera menghampiri lemari pakaian dan mengambil tunik berwarna hijau lengkap dengan jilbab persegi empat dengan warna senada. Tak lupa ia mengambil celana kulot hitam.

Setelah semua barang dirasa lengkap, Juwi keluar kamar dan kembali berjalan ke ujung gang. Cukup lama ia menunggu angkot, tapi tak satu pun lewat. Ia melirik arloji di tangan putihnya. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Pada jam ini mustahil ada angkot lewat.

Akhirnya Juwi menelepon Rochim―pamannya, bermaksud minta dijemput. Beruntung, pamannya itu sedang perjalanan pulang dari kerja sehingga bisa menjemputnya.

Setelah beberapa saat, Rocim melihat wanita bercadar di ujung gang tempta kos Juwi. Ia yakin wanita itu adalah keponakannya. “Ayo cepat naik, Wi,” ucapnya.

Juwi yang tadi fokus melihat ponsel karena ada pesan walimurid yang masuk segera mendongak. Ia mengikuti instruksi pamannya untuk naik ke motor dan ganti pakaian di pom bensin. Memang, dalam keluarganya, hanya Rochim yang tahu masalah pakaian tertutupnya.

Setelah Juwi selesai berganti pakaian, Rochim melajukan motornya dengan cepat menuju rumah sederhana di jalan Kartini. Itu adalah rumahnya, sekarang Nenek berada di sana.

Tatapan sinis langsung dilayangkan Ida―istri Rochim. Dari dulu wanita itu tak menyukai Juwi, bahkan saat paman-keponakan itu dekat, seperti saat ini.

“Kok baru pulang, Mas? Kemana aja sama Juwi?” cecar Ida. 

“Iya tadi ada masalah di kantor. Jadi aku pulangnya agak telat. Maaf ya, Dek.”

“Lalu kenapa bisa bareng Juwi?” tanya Ida sewot.

“Kebetulan tadi lewat depan gangnya. Kamu tahu ‘kan aku selalu pulang pergi lewat jalan itu.” Rochim menatap istrinya sambil tersenyum. 

Juwi yang mendengar percakapan sepasang suami-istri itu hanya mematung di sebelah motor Rochim.

“Di mana Ibu?” tanya pria kurus tinggi itu pada Ida.

“Di dalam, Mas,” ucap Ida sambil menggamit tangan suaminya. Ia mengacuhkan keberadaan Juwi.

“Eh, Juwi. Ayo masuk.”

Ucapan Rochim membuat Juwi melangkah perlahan masuk ke rumah. Di dalam rumah, Nenek menunggunya dengan wajah cemas.

“Kok lama, Wi? Nenek sampai khawatir padamu.”

Juwi menghampiri neneknya dan mencium takzim tangan wanita yang tak lagi muda itu.

“Maaf, Nek. Tadi Juwi nunggu angkot lama. Beruntung ada Paman Rochim, akhirnya bisa bareng sama Paman,” ucap Juwi. “Nenek sama siapa ke sini tadi? Kok nggak ngabari Juwi sebelumnya? ‘kan Juwi bisa ke sini lebih sore.”

“Iya tadi lupa soalnya asyik ngobrol sama Nur,” ucap Nenek enteng.

“Mbak Nur kemana, Bu?” tanya Rochim sambil duduk berhadapan dengan bibi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Sejak ibu kandungnya meninggal, wanita yang duduk di hadapannya itulah yang merawatnya.

“Ia ada keperluan. Jadi habis ngantar ke sini langsung berangkat lagi,” balas Nenek.

“Oh ya, Wi. Kamu besok izin ya. Kita mau ketemu sama Hartati dan calon suamimu.”

*
*
*

Ucapan neneknya semalam membuat Juwi kelabakan untuk izin dan membuat tugas dadakan untuk murid yang ditinggalkannya di sekolah. Sebenarnya ia masih ragu unutuk bertemu dengan calon ibu mertua dan suaminya. Bahkan, ia teringat saat Fajar mengungkapkan keberatan menikah lagi.

“Uda Wi? Ayo, Bu Hartati sudah menunggu kita di depan.” Nenek melangkah keluar setelah berpamitan pada Rochim dan Ida. Sementara cucunya setia mengekor di belakangnya.

Juwi memakai pakaian yang sama dengan semalam karena ia tak membawa pakaian yang lain. Semalam ia meminjam daster panjang milik Ida untuk tidur. Kali ini ia mengenakan masker untuk menutupi wajahnya.

Mobil sedan hitam mewah terparkir di depan pagar rumah Rochim. Wanita berpenampilan sosialita turun dari bangku penumpang. Ia bersalaman dengan Nenek lalu menyapa Juwi. Setelah itu mengarahkan dua wanita di hadapannya masuk mobil.

Selama perjalanan Juwi hanya diam mendengar perbincangan antara Hartati dan Nenek. Ia lebih memilih melihat pemandangan jalan melalui jendela yang ada di sisi kanannya. 

Begitu juga dengan Fajar. Ia sama sekali tak tertarik dengan obrolan dua wanita beda usia di mobilnya. Ia juga lebih memilih diam dan fokus mengemudi.

“Sudah sampai. Ayo, turun.” Hartatik menggiring Nenek dan Juwi untuk masuk ke rumah mewah bertuliskan ‘Jessica Wedding and Bridal’.

Dengan ragu, wanita muda itu masuk. Ia menatap tulisan besar itu hingga kakinya tersandung dan membuat tubuhnya limbung.

“Jalan pakai mata.” Pria di sebelahnya meneruskan langkah tanpa menolongnya. Jangankan menolong, menoleh saja tidak.

Hal itu membuat Juwi sedikit kesal. Ia bangkit sendiri dan masuk ke rumah mewah itu.

“Ini calon pengantinnya,” ucap Hartatik pada wanita sosialita yang berdiri di sebelahnya.

Terlihat Fajar masuk dan tersenyum pada wanita yang akrab disapa Madam Li. Di belakangnya, Juwi berjalan agak terpincang karena kakinya terasa sakit saat terjatuh tadi.

“Ini calon menantuku.” Hartatik meraih tangan Juwi dan menggiringnya ke dekat Madam Li.

“Buka dulu maskernya,” pinta Madam Li sambil tersenyum.

Juwi ragu karena di ruangan itu ada Fajar. Meskipun pria itu terkesan cuek padanya, tapi hal itu tetap membuat Juwi risih.

“Ayo dibuka, Sayang,” ulang Hartatik.

Dengan terpaksa wanita itu melepas maskernya. Tentunya ia memunggungi di mana Fajar berada.

“Ya ampun, ini sih wajah barbie.” Madam Li takjub melihat wajah Juwi yang memang sangat cantik. “Padahal nggak pakai make up ya ini, Jeng?”

“Itu manusia, bukan babi,” sela Nenek yang tiba-tiba muncul. Ia baru saja dari kamar mandi. “Cucu saya cantik begini kok dibilang babi.” Sinis, Nenek menatap nyalang pada Madam Li, membuat semua orang tertawa.

Hal itu membuat Fajar yang sedari tadi melihat pigora yang terpasang di dinding menoleh ke sumber suara. 

Tanpa sengaja, ia melihat wajah Juwi yang polos tanpa make up. Pria itu kaget dengan wajah calon istrinya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!