7
“Wi, ikut Nenek pulang sekarang aja.”

“Maaf, Nek, bukannya Juwi menolak, tapi Juwi punya amanah di sini. Tidak bisa seenaknya meninggalkan amanah itu.” 

“Dari awal Nenek sudah bilang, secepatnya kamu resign, toh nanti suamimu yang akan menanggung biaya hidupmu,” titah Nenek seolah tak bisa terbantah oleh apapun. Juwi hanya mendengarkan tanpa menjawab.

“Dalam pekan besok, kamu harus ‘dipingit’. Makanya, kamu harus segera putuskan, mau tetap mengajar, tapi harus mengajukan cuti yang panjang,” imbuh Nenek. “Atau berhenti sekalian, biar nggak ribet!”

Obrolan melalui telepon yang didominasi oleh Nenek itu berakhir. Menyisakan pukulan dan beban berat bagi Juwi. Sekali lagi, ia harus dihadapkan pada pilihan yang sulit. Masalah dengan keluarga Azzam belum selesai, kini berganti masalah pekerjaan. 

Wanita muda bercadar itu termenung, ia mencari dosa apa yang telah ia lakukan di masa lalu yang membuatnya dilanda masalah begitu besar saat ini. Juwi menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

Nenek berpesan pada Juwi agar menemuinya di rumah Rochim. Jika Juwi tidak ikut pulang, minimal cucunya itu harus menampakkan diri sebelum ia pulang.

Dengan tergesa, Juwi menuju rumah Rochim. Hingga ia lupa membawa baju ganti untuk menemui Nenek. Tepat di depan rumah pamannya itu, ia baru tersadar bahwa belum berganti pakaian. Wanita cantik bercadar itu pun berlari bersembunyi di rumah tetangga Rochim yang punya usaha laundry.

“Mbak, saya boleh minta tolong?” tanya Juwi memelas dengan napas terengah-engah pada pemilik usaha.

Wanita berdaster pendek itu pun mengernyitkan dahi. “Siapa ya? Mau minta bantuan apa mbaknya?”

Juwi menurunkan cadar dan memperlihatkan wajahnya. Sontak pemilik laundry itu pun kaget.

“Mbak Ju―” Wanita yang kerap disapa Juwi dengan sebutan ‘Mbak Lani’ itu terhenti saat melihat Juwi menaruh telunjuk di bibir mungilnya.

“Kok Mbak Juwi bisa berpenampilan begini?” tanyanya.

“Saya jelaskan nanti ya, Mbak. Saya mohon bantuan, pinjami saya beberapa baju ini.” Juwi menunjuk atasan dan bawahan milik orang lain yang sekiranya pas di tubuhnya.

Lani mengangguk dan menyerahkan pakaian itu pada Juwi. 

Wanita bercadar itu pun diarahkan masuk ke dalam dan ganti baju di kamar mandi. Setelah selesai ganti, ia pun keluar.

Atasan baby pink dan kulot plisir warna abu-abu muda pas menghias tubuh mungilnya. Jilbab pink yang senada juga dipinjamkan dari pelanggannya Lani.

“Aduh ternyata bajunya ngepres banget,” ucap Juwi.

“Mau ganti?” tanya Lani yang pernah ditolong oleh Juwi saat usaha laundry-nya kemasukan maling. Saat itu Juwi menunggu menunggu angkot dan melihat dua pemuda mencurigakan di tempat usahanya. Wanita muda itu berteriak dan menarik perhatian warga untuk mengejar pria yang sempat mencuri hasil laundrynya hari itu. Beruntung dua pencuri itu tertangkap dan uang usahanya kembali. Itulah mengapa, ia sangat berhutang budi pada Juwi.

“Nggak, Mbak. Uda nggak keburu,” ucap Juwi cepat. “Aku pinjem ini dulu ya.”

Juwi pun melangkah ke rumah pamannya. Di sana telah ada Bibi Nur dan suaminya. Nenek juga telah bersiap.

“Ini Juwi datang.” Bibi Nur menyambut Juwi dengan gembira. Berbanding terbalik dengan Ida yang menyambutnya dengan tatapan sinis.

Wanita muda yang memakai baju pinjaman itu menyalami semua orang tanpa kecuali.

“Pulang sama Nenek aja sekarang. Nanti sekalian bantu-bantu untuk pengajian di rumah hari Minggu besok. Kan hari Jumat pekan depan kamu udah akad.”

Jantung Juwi serasa mau lepas dari tempatnya. Meskipun panik luar biasa dalam hatinya, ia berusaha menguasai diri.

“Hari Minggu Subuh saja Juwi pulang, Nek. Banyak urusan dan tugas yang harus diselesaikan,” kelit Juwi.

“Oke setelah itu kamu harus ngajuin cuti yang paaaaaanjang!” titah Nenek.

“I―iya.” Juwi hanya meringis mendengar ucapan Nenek.

“Ayok, masuk! Nenek antar kamu ke kos. Nenek ingin tahu di mana kosmu. Masak uda dua tahun ini kamu nggak nunjukkin tempat kosmu ke Nenek.”

Memang, sudah dua tahun Juwi mengajar dan berpindah tempat kos. Di tempat itulah ia berhijrah mengenakan jilbab panjang, tapi ia baru enam bulan mantap mengenakan cadar. Sejak itu Juwi belum memberitahu Nenek tempat kosnya yang baru.

Mobil minibus silver melaju dengan cepat ke tempat kos Juwi. Jangan ditanya bagaimana perasaan Juwi, pastinya jantungnya berdebar sangat kencang. 

Pertama, ia takut ketahuan Nenek bahwa wanita di lingkungan sekitar kosnya mayoritas berjilbab panjang dan beberapa bercadar. Otomatis, itu akan menunjukkan penampilan aslinya pada Nenek. 

Kedua, ia takut teman-temannya tahu ia memakai pakaian yang dipakainya saat ini―atasan kaos ketat warna baby pink dan kulot plisir abu-abu muda serta jilbab segi empat pendek.

Juwi mencari cara agar Nenek tidak sampai menuju kosnya. Ia berdoa hingga keringat dinginnya mengucur.

Saat sampai di depan gang kosnya Juwi, Nenek pun ikut turun. Namun, tiba-tiba suami Bibi Nur bersuara.

“Bu, bisa dipercepat? Saya dapat pesan dari bos untuk menjalankan tugas kantor. Ini nanti kita mampir dulu ke kantor cabang yang ada di kota ini sebelum kembali ke desa.”

Hati Juwi lega. Keadaan berpihak padanya. Tentunya ada campur tangan Allah di sana.

“Oh, gitu ya.” Nenek terlihat kecewa.

“Lihat-lihat tempat kosnya Juwi aja kok, Mas.” Bibi Nur menimpali.

“Maaf, Dek. Nggak keburu nanti,” jawab suami Bibi Nur.

“Oke, nggak apa-apa. Jangan sampai suamimu kena masalah karena hal ini,” ucap Nenek. “Yasudah Wi, ingat ya, kamu harus pulang dan ambil cuti yang lama.”

“Siap, Nek.” Meskipun ragu dengan perintah Nenek, Juwi pun mengacungkan tangan kanan sejajar dengan pelipis kanannya. Hal yang penting baginya adalah keluar dari masalah ini dulu. Baru ia memikirkan cara menyampaikan masalah cuti ke kepala sekolahnya. 

“Hati-hati. Jangan lupa makan. Jangan sampai kurus. Awas saja kalau nanti baju nikahmu longgar!” ucap Nenek yang sangat tahu tentang cucunya saat ada masalah. Ia tahu bahwa Juwi tidak akan nafsu makan jika ada masalah. Ia mengeluarkan kepalanya dari jendela. Tangannya pun melambai ke arah Juwi. Mobil yang ditumpanginya itu pun menjauhi cucu kesayangannya.

Setelah mobil siver itu sudah menghilang di tikungan, Juwi segera sadar dimana ia berada kini. Gegas ia berlari masuk ke kosnya. Namun, saat di tengah jalan, ia berpapasan dengan Azzam.

Dengan pura-pura tidak mengenal pria berpostur tinggi tegap itu, ia pun berlari masuk ke kamar kosnya. Menyisakan kekagetan pada pria yang berwajah teduh itu.

“Sepertinya familiar,” gumam Azzam sambil melihat wanita yang baru saja melewatinya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!