4
Juwi langsung berjingkat karena kaget. Ia bisa menebak siapa pemilik suara itu.

Pria pemilik suara yang berbadan tegap itu langsung mundur saat melihat reaksi berlebihan dari guru anaknya. Ia menatap sekilas pada wanita bergamis hijau army itu lalu berpindah pada anaknya.

“Kenapa, Sayang?” tanya Fajar sambil menusap kepala Sasya. “Apa ada temen yang usil?”

“Nggak, Pa. Semua teman Sasya baik,” ucapnya datar.

“Lalu?” Mata Fajar menelisik wajah anaknya.

Sasya menggeleng lalu berdiri. Tangannya meraih tas yang berada di samping pintu lalu meletakkan di bahunya. Anak perempuan berpipi gembil itu lantas mendekati Juwi. 

“Ustazah, Sasya pulang.” Dengan takzim Sasya mengecup punggung tangan Juwi dan berlalu tanpa menunggu Fajar.

Kini, di tempat itu hanya ada Juwi dan Fajar. Jangan ditanya perasaan Juwi, ia gugup bukan main. Sementara Fajar masih memikirkan sesuatu yang terjadi pada anaknya.

“Ada masalah apa di sekolah, Ustazah? Tidak biasanya Sasya murung seperti itu?” tanya Fajar dengan hati-hati sambil menjaga jarak karena wanita di hadapannya ini mengenakan cadar. Ia berpikir pasti wanita itu sangat tertutup dan menjaga batasan dengan kaum adam.

Juwi hanya membuka mulutnya tanpa suara. Namun, lawan bicaranya tak tahu meskipun ia hendak mengatakan sesuatu.

“Ustazah?”

“Y―ya?”

“Apa Sasya ada masalah di sekolah?” tanya Fajar sedikit tegas.

“Itu karena … Sasya … tidak ingin punya mama baru.” Juwi hampir tak bernapas karena sebenarnya ia sedang membicarakan dirinya sendiri.

Fajar menghela napas. Kemudian menunduk.

“Bukan hanya Sasya yang tidak ingin, Ustazah. Saya pun sama. Sebenarnya saya juga tidak ingin menikah.”

Ucapan Fajar sukses membuat Juwi bergeming. Ada rasa sakit yang tak mampu diungkapkannya. Meskipun perjodohan ini bukan ia yang merencanakan, tapi tetap saja ia merasakan sakit di hatinya. Ia merasa telah tertolak oleh calon suami. Padahal jauh di lubuk hatinya juga sudah tersemat nama pria lain.

“Maaf, Us. Saya jadi curhat,” ucap Fajar kikuk. “Saya permisi. Assalamu’alaikum.”

Belum sempat Juwi menjawab salam dari Fajar, pria itu sudah lebih dulu beranjak, menyisakan punggung tegap yang hanya mampu ditatap oleh wanita bercadar itu. Hingga bayangan ayah dari muridnya itu menghilang di balik pintu mobil.

“Eits, jaga pandangan, Say,” celetuk Almas sambil menyenggol lengan Juwi. “Jangan sampai kecantol Ikhwan lain.” Mata Almas mengerlip.

Juwi mengembuskan napas perlahan. Ia ingin membagi beban di hatinya dengan Almas, sahabatnya yang selalu ada dalam suka dan duka.

“Al, aku mau cerita, tapi―” Juwi menarik lembut lengan Almas, mendekatkan bibirnya di telinga sahabatnya. “Tapi ini rahasia kita. Oke?”

*
*
*

Sore ini, beban di bahu Juwi sudah berkurang. Ia telah menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya pada Almas. Mulai dari perjodohan dari Nenek, bahkan identitas pria yang dijodohkan dengannya.

“Serius, Wi? Ya Allah ….” teriak Almas sambil menatap sahabatnya dengan lekat.

Wanita yang telah berderai air mata itu pun hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Lalu gimana ta’arufmu sama Azzam?” tanya gadis berkulit putih itu pada Juwi. “Bukannya kemarin Umi Yuni sudah menyampaikan padamu kalau Azzam sudah memilihmu sebagai calon istri?”

Tangan putih Juwi menutup wajahnya. Ia bingung langkah apa yang harus diambilnya. Kini, ia hanya mampu menumpahkan kesedihan dengan air mata.

Kamar kos bernuansa ungu itu kini penuh dengan tisu yang terpakai oleh Juwi. Si pemilik kamar dengan sabar memasukkan tisu-tisu bekas itu ke dalam kantong plastic kecil. Lalu dengan lembut membelai bahu sahabatnya untuk memberi kekuatan.

“Kamu pasti bisa mengambil keputusan besar dalam hidupmu, Wi.” Wanita bermata sipit itu meyakinkan Juwi. “Salat istikhoroh, Wi. Insyallah semua pasti ada jalannya.”

*
*
*
Keesokan harinya Juwi bertemu dengan Almas. Wanita cantik itu mengatakan pada sahabatnya bahwa ia telah mengambil keputusan, yaitu memilih perjodohan dari neneknya. Sahabatnya itu mendukung semua keputusan yang ia ambil.

Sepulang sekolah, Juwi menemui Umi Yuni. Ia bermaksud mengutarakan pilihannya dan bercerita tentang perjodohan yang telah ditetapkan Nenek padanya.

Wanita cantik itu sampai di depan pintu rumah Umi Yuni, tiba-tiba pintu jati berwarna coklat itu terbuka.

“Baru saja Umi akan menemui kamu di kosmu, Wi.” Dengan wajah lega, Umi Yuni meraih tangan Juwi.

Alis Juwi bertaut. Ia menatap Umi Yuni dengan heran.

“Kebetulan kamu sudah di sini. Ayo, ikut Umi ke rumah sakit.”

Tanpa berani membantah, Juwi mengikuti langkah Umi Yuni. Ia masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman rumah besar wanita yang ia kagumi itu.

Tidak ada obrolan selama perjalanan di antara keduanya. Umi Yuni tenggelam dengan pikirannya sendiri. Bagi Juwi, Umi Yuni sedang fokus menyetir. Ia segan untuk menganggu konsentrasi wanita di sampingnya itu. Hal itu membuat Juwi kesulitan untuk mengawali perbincangan tentang hubungan ta’arufnya dengan Azzam.

Setibanya di rumah sakit, Umi Yuni berjalan menyusuri koridor. Di belakangnya, Juwi mengekor dengan setia. Mereka berhenti di depan kamar Tulip 213. Wanita paruh baya itu menggiring Juwi masuk ke kamar itu.

Juwi yang tidak tahu tujuan Umi Yuni ke rumah sakit hanya bisa mengikuti wanita yang ia kagumi itu tanpa banyak bicara. Namun, saat ia masuk ke kamar itu, ia mendapati dirinya telah menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, di dalam kamar itu terdapat keluarga Azzam dan Ustaz Heru―suami Umi Yuni.

“Alhamdulillah, akhirnya yang ditunggu datang,” ucap Ustaz Ilyas―paman Azzam.

Juwi yang berdiri di belakang Umi Yuni tidak berani bergerak. Ia hanya menunduk. Namun, tadi ia sempat melirik di mana pria pujaannya berdiri. Hal itu membuatnya semakin gugup.

“Baik, kita lanjutkan saja perbincangan ini.” Ustaz Heru bersuara. “Mumpung akhwat yang kita bicarakan ada di sini, bagaimana kalau kita tanya langsung padanya.”

Suara lantang suami Umi Yuni membuat Juwi merasa tersudut. Sebelumnya, baik Umi Yuni maupun Ustaz Heru sangat tahu bagaimana harapannya pada Azzam. 

Sudah sejak lama pasangan suami istri itu dimintai tolong Juwi untuk membantu proses ta’aruf dengan Azzam, tapi Azzam selalu menghindar karena alasan ingin fokus pada sekolah lanjutan. Namun, Juwi tidak pernah berputus asa. Ia tetap menjatuhkan pilihannya pada Azzam dan menolak jika dita’arufkan dengan pria lain.

“Niat baik jangan ditunda, harus disegerakan,” timpal Ustaz Manaf―abi Azzam.

Perbincangan dalam ruangan antar para ustaz beserta Umi Yuni itu mampu membungkam bibir mungil Juwi untuk bersuara. Sebenarnya wanita muda itu sangat ingin menjelaskan keputusannya. Namun terlambat, para ustaz itu telah menganggap diamnya Juwi pada adalah tanda setuju. Terlebih saat uminya Azzam memberikan senyum sebagai tanda restu pada pilihan anaknya.

“Nanti akan saya sampaikan hal ini pada Mas Rochim, pamannya Wita.” Ustaz Heru menyebut nama teman kuliahnya yang merupakan paman dari Juwi. “Nanti kita akan lamar Wita di rumah neneknya.”

Pikiran Juwi semakin kacau mendengar keputusan yang diucapkan Ustaz Heru. Ia tidak tahu bagaimana cara menyanggahnya. Ia hanya berdoa agar masalah tidak semakin rumit. Namun di dalam hati, Juwi memutuskan untuk mencari waktu agar bisa berbicara enam mata bersama Ustaz Heru dan Umi Yuni.

Beberapa saat kemudian Umi Yuni mengajak Juwi berpamitan pada seluruh kerabat yang ada di kamar itu, termasuk uminya Azzam. Wanita bercadar itu juga mengarahkan Juwi untuk mencium punggung tangan wanita yang sedang terbaring lemah itu. Lalu ia menggiring wanita muda di hadapannya untuk keluar kamar. Ada beberapa orang mengantar kepulangan mereka, termasuk Azzam.

Hati Azzam berbunga-bunga karena ada harapan untuk uminya sembuh. Selain itu, keputusannya untuk memilih Juwi sebagai istrinya bukan tanpa alasan. Ia tahu sejak dulu Juwi suka padanya. Sebenarnya perasaannya pun sama, hanya saja ia membatasi diri agar tidak terjerumus nafsu. Ia ingin menikahi wanita itu karena sebab yang lain yaitu karena Allah dan orang tuanya.

“Jazakillah, Ukhty.” Azzam mengucapkan terima kasih pada Juwi. Pandangannya tetap menunduk.

Juwi hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya hanya diliputi perasaan bersalah.

*
*
*

Di dalam mobil, baru saja Juwi ingin jujur pada Umi Yuni, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan cepat wanita itu mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tasnya. Matanya membelalak melihat nama yang terpampang di ponsel, Nenek.

Komentar

Login untuk melihat komentar!