6
“Itu manusia, bukan babi,” sela Nenek yang tiba-tiba muncul. Ia baru saja dari toilet. “Cucu saya cantik begini kok dibilang babi.” Sinis, Nenek menatap nyalang pada Madam Li, membuat semua orang tertawa.

Hal itu membuat Fajar yang sedari tadi melihat pigora yang terpasang di dinding menoleh ke sumber suara. Tanpa sengaja, ia melihat wajah Juwi yang polos tanpa make up. Pria itu kaget dengan wajah calon istrinya.

Pria tampan itu mengalihkan pandangan karena gugup melihat wajah cantik sang calon istri. Namun, bayangan wajah mendiang istrinya tiba-tiba muncul dan membuatnya kembali dilanda rindu yang mendalam.

Fajar duduk di kursi yang berada di pojok ruangan dan mengambil ponselnya. Ia membuka kembali foto lama mamanya Sasya. Ia mengacuhkan aktivitas wanita-wanita yang berada di sekitarnya.

Sementara Hartatik masih berusaha menjelaskan arti kata ‘barbie’ pada Nenek. Tak ayal, kepolosan Nenek membuatnya dan Madam Li terpingkal.

Setelah itu mereka sibuk memilih konsep pernikahan. Setelah diputuskan konsep yang sesuai dengan selera Hartatik dan Nenek, mereka diminta memilih gaun untuk pengantin wanita.

Juwi yang sedari tadi tidak kosentrasi karena pikirannya bercabang, mengabaikan itu semua. Ia lebih memilih diam dengan melihat gaun-gaun yang terpasang di manekin.

Mata Juwi tertuju pada abaya putih yang terlihat elegan. Butiran kristal menghias di bagian dada. Cukup lama Juwi berdiri di depan manekin itu. Memang, abaya itu berbeda dengan gaun lain yang telihat mencolok dan mewah. Wanita muda itu beranjak setelah sebuah suara memanggilnya.

Fajar yang sempat melihat di mana Juwi berdiri di sebelah manekin, akhirnya menghampiri manekin yang mengenakan abaya putih itu.

“Seleranya hampir sama dengan Rani,” ucap Fajar dalam hati. Ia pun mengambil gambar manekin itu dan kembali ke kursinya.

*
*
*
“Kamu nge-kos di mana, Wi?” tanya Hartatik saat makan siang bersama di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota itu.

“Di jalan Melati, Tante,” ucap Juwi cepat. Ia sama sekali belum menyentuh makanan yang sudah tersaji di depannya. Ia tidak biasa makan di tempat yang ramai seperti ini. Masker biru masih melekat di wajahnya. Sebenarnya berada di tempat keramaian juga membuatnya tak nyaman. Ia sangat ingin kembali ke kosnya dan mengenakan pakaian tertutupnya.

“Itu dekat dengan sekolah cucu saya,” ucap Hartatik. “Kapan-kapan saya mampir kosmu yaa saat menjemput cucu saya. Sekalian nanti saya kenalkan dengan cucu saya yang cantik.”

Juwi mengangguk ragu.

“Ayo segera dimakan, nggak sopan mendiamkan makanan yang sudah disuguhkan orang pada kita,” bisik Nenek. Cucunya itu menatapnya ragu.

Dengan terpaksa wanita cantik itu menurunkan sedikit maskernya saat ia hendak melahap sesendok nasi goreng. Ia kembali menaikkan maskernya setelah makanan itu masuk ke mulutnya.

“Ribet,” gerutu Fajar dalam hati saat tak sengaja ia melihat ke arah Juwi.

Seorang wanita bercadar yang berada tak jauh dari tempat Juwi duduk juga tanpa sengaja melihat ke arah Juwi yang berpenampilan berbeda. Ia adalah Khaulah―istri Ustaz Ilyas yang juga bibi dari Azzam.

Wanita itu kembali menajamkan mata melihat ke arah Juwi. Khaulah tahu wajah Juwi karena saat berada di tempat kajian, para wanita bercadar akan melepas cadarnya dan bisa saling mengenal wajah masing-masing.

Juwi menjadi sorotannya kali ini. Selain karena pakaian Juwi yang tidak seperti biasanya, wanita muda itu juga di satu meja dengan pria lain. ia yakin, pasti pria itu sudah melihat wajah Juwi. Antara percaya dan tidak, ia terus menatap Juwi. Sedangkan wanita yang ditatapnya tidak menyadari yang dilakukan istri Ustaz Ilyas itu.

*
*
*

“Bi, tadi aku kayaknya lihat calon istri Azzam di mall,” ucap Khaulah pada Ustaz Ilyas. “Terus anehnya, dia pakai baju potongan biasa, jilbab segiempat pendek, dan pakai masker.”

Ustaz Ilyas memandang istrinya sekilas. Ia kembali fokus pada laptopnya.

Khaulah mendekati suaminya. “Dia sedang makan dan di mejanya juga ada pria.”

“Umi salah lihat mungkin,” timpal pria yang masih fokus dengan laptopnya itu. “Mungkin wajahnya saja yang mirip. Calon istri Azzam ‘kan bercadar, nggak mungkin seperti itu.”

Meskipun berat, Khaulah hanya mengangguk mendengar ucapan suaminya. Menurutnya, mungkin memang wanita yang dilihatnya di mall siang tadi memiliki wajah yang mirip dengan calon istri keponakannya. Akhirnya ia melupakan masalah itu dan takkan lagi membahasnya.

*
*
*
“Wita, ada titipan dari Umi Yuni.” Almas menyerahkan tas kertas berisi jilbab warna ungu tua pada Juwi. 

“Wah, bagus banget nih, Al. Kainnya lembut.” Juwi mengeluarkan jilbab itu dan menempelkannya di wajahnya.

“Cantik kamu, Wi,” ucap Almas. “Pantesan Azzam pilih kamu.”

Ucapan Almas membuat raut Juwi berubah. Ia hampir lupa bahwa ada satu masalah yang harus ia selesaikan secepatnya.

“Oh ya, kata Umi Yuni jilbab itu dari uminya Azzam, buat calon menantunya.” Almas menunjukkan deretan gigi putihnya. Ia menyenggol lengan Juwi yang sedari tadi terdiam.

Perlahan, Juwi melipat jilbab itu dan memasukkan lagi ke dalam palstik pembungkusnya.

“Kok dimasukkin lagi? Nggak mau dipakai?”

Juwi tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Kamu belum bilang ke Umi Yuni tentang perjodohanmu?” tanya Almas.

Juwi menggeleng. Ia juga belum bercerita tentang kejadian di rumah sakit terkait kelanjutan hubungannya dengan Azzam.

“Kamu pasti bisa, Wi. Bismillah,” ucap Almas. “Oh ya, tadi yang jemput Sasya bukan papanya.”

“Ya jelas, aku seharian bersamanya hari ini.” Juwi menyimpan jilbab pemberian uminya Azzam ke dalam lemari. 

“Serius, Wi? Lalu pria yang jemput Sasya tadi siapa?” 

“Supirnya kali,” timpal Juwi.

“Supir masak ganteng dan rapi gitu?” ucap Almas lirih.

“Huss, jaga pandangan!” sela Juwi.

“Astagfirullah,” ucap Almas cepat. Di benaknya ia masih tak percaya bahwa pria bertubuh tegap dan berkacamata hitam yang dilihatnya siang tadi saat menjemput Sasya adalah seorang supir. Ia berharap bisa berta’aruf dengan pria itu untuk memperbaiki keturunan. 

Tiba-tiba wanita bermata sipit itu tersadar bahwa memikirkan hal itu adalah dosa. Dengan cepat ia menggeleng dan mengucap istigfar dalam hati berulang kali.

*
*
*
Pandangan Juwi tertuju pada anak perempuan berwajah imut yang terduduk lesu di bangkunya. Akhir-akhir ini, hal itu menjadi pemandangan rutin yang terlihat di kelas yang Juwi ajar.

“Laa tahzan, innallaha ma’ana,” ucap Juwi sambil duduk di bangku depan Sasya. Sontak anak kecil perempuan itu melihat wajah Juwi yang tak tertutup cadar itu dengan kaget.

Sudah menjadi kebiasaan, Juwi selalu menurunkan cadarnya saat pintu kelas ditutup. Semua siswa juga tahu dan hapal dengan kebiasaannya.

“Sasya nggak sedih kok.” Sasya mengerti yang dimaksud Juwi adalah melarangnya bersedih. Setiap ada siswa yang bersedih, gurunya itu selalu mengucap hal yang sama. Sasya sampai hapal dengan kebiasaan gurunya itu.

“Cuman Sasya udah memutuskan … jika nanti Papa jadi menikah, Sasya mau pergi aja dari rumah.”

Komentar

Login untuk melihat komentar!