“Wi, kamu jangan seperti Dijah!” ucap Nenek. “Pakai jilbab nggak jelas. Sudah buesar dan puanjang, mana warnanya hitam lagi. Nenek nggak suka seperti itu!”
“Nenek bisa mati berdiri saat kamu pakai baju seperti itu!” imbuhnya.
Ucapan Nenek beberapa bulan yang lalu masih terngiang di kepala Juwita. Padahal sebelum Nenek berkata seperti itu pada wanita kelahiran 24 tahun silam, penampilannya sudah sama dengan Khadijah, berjilbab panjang dan bercadar. Mengenakan pakaian seperti ini sudah menjadi jati dirinya. Ia menemukan ketenangan saat berpakaian seperti ini karena ia merasa jauh lebih aman dan terliindungi.
Juwi―panggilannya―meremas ujung jilbab panjangnya. Hatinya tak tenang. Kini, ia masih mengantri di toilet terminal bus. Ia bingung antara meneruskan niatnya atau tidak.
“Mbak, toiletnya uda kosong,” ucap seseorang yang juga mengantri di belakang Juwi yang membuat wanita bermata indah itu segera masuk ke dalam kamar mandi.
Tangan putihnya membuka relseting tas dan dengan hati-hati mengeluarkan pakaian pemberian neneknya agar tidak jatuh ke lantai kamar mandi yang agak kotor. Tunik selutut berwarna baby pink dengan bordiran bunga di dadanya, ia pakai dipadu dengan celana kain berwarna hitam. Ia juga mengganti jilbab panjangnya dengan jilbab segi empat yang juga bermotif bunga berwarna senada dengan tunik yang melekat indah di tubuhnya.
Juwi mengembuskan napas berat saat ia hendak keluar dari toilet. Benar saja, saat ia keluar dari toilet, beberapa pasang mata heran dengan penampilannya yang berbeda saat masuk dan keluar dari toilet.
Wanita berparas ayu itu langsung memakai masker dan berhenti sejenak di salah satu bangku terminal. Ia mengatur ritme jantung karena penampilannya kini membuatnya merasa bersalah pada dirinya sendiri. Namun, ia tak mau membuat Nenek kecewa padanya.
Wanita yang berprofesi sebagai pendidik itu melipat rapi baju hitam dan jilbab panjang serta cadarnya. Lalu ia memasukan benda-benda itu ke dalam kantong plastic hitam. Ia letakkan kantong plastic itu di bagian paling bawah tas bajunya.
Wanita yang tingginya seratus lima puluh dua itu melanjutkan perjalanan dengan naik angkot hingga sampai ke rumah neneknya. Sesampainya di rumah Nenek, ia pun melangkah melewati halaman yang penuh dengan bunga. Ia segera mengetuk pintu rumah berwarna coklat tua serta mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam, Cah Ayu,” sapa Nenek senang melihat kehadiran Juwi yang telah lama ia tunggu. Sudah berbulan-bulan cucunya itu tidak pulang dengan alasan banyak tugas di tempatnya mengajar. Padahal sebenarnya, Juwi hanya menghindari dirinya karena berpenampilan sama dengan Khadijah. Wanita yang masih segar di usianya yang telah menginjak enam puluhan itu mencium pipi Juwi dan memeluknya.
“Nenek kangen, ayo masuk. Nenek sudah buatkan kare ayam kampung kesukaanmu.” Nenek menggiring Juwi masuk.
Gegas Juwi masuk ke dalam rumah karena sedari tadi ia merasa risih dengan penampilannya jika terus berada di luar. Ia meletakkan tas besarnya di kamar lalu mengikuti langkah neneknya ke dapur.
“Ganti baju dulu, trus cuci kaki dan tangan. Setelah itu kita makan ya, Cah Ayu.” Sebutan Cah Ayu memang diberikan Nenek pada Juwita karena paras cucunya yang sangat cantik.
Setelah melakukan perintah neneknya tanpa mengganti baju, Juwi duduk di meja makan. Ia melihat semangkuk besar kare ayam―makanan favoritnya. Ia langsung mengambil nasi dan memilih potongan paha yang langsung diletakkan di piringnya.
“Weleh Cah Ayu, masak kamu makan pakai baju itu? Ayo ganti baju dulu dengan yang santai.”
“Ini sudah santai, Nek,” ucap Juwi sambil tersenyum dan hendak memasukkan sesendok nasi ke mulut mungilnya.
“Belum,” ucap Nenek. “Baju ini yang kamu pakai ini sudah kotor, kena debu-debu di jalan, ketempelan keringat orang.” Nenek memegang tangan kanan Juwi dan menatapnya tegas.
“Iya, Nek.” Mau tak mau Juwi menghentikan makannya. Sebelum ia masuk kamar, ia menutup pintu ruang tamu dan menguncinya. Kemudian ia mengganti baju dengan kaos atasan panjang yang senada dengan bawahannya yang juga berukuran panjang. Namun, ia masih mempertahankan jilbab di kepalanya.
“Nah itu, kerudungnya, mbok ya dilepas. Gerah Nenek lihatnya.”
Dengan berat hati Juwi melepas jilbab itu. Namun, hatinya sedikit lega karena ia telah menutup dan mengunci pintu ruang tamu.
Kini dua wanita berbeda usia itu bercengkrama di meja makan sambil menceritakan kehidupan masing-masing dengan seru. Nenek menceritakan hasil panen lomboknya sedangkan Juwi menceritakan pengalamannya mengajar, tentunya bukan pengalamannya saat mengenakan pakaian dan jilbab panjang beserta cadarnya.
“Besok kamu dilamar,” ucap Nenek tiba-tiba yang membuat Juwi tersedak.
“Pelan-pelan, Cah Ayu.” Nenek mengambilkan gelas berisi air dan menyodorkannya ke cucu kesayangannya itu.
Juwi yang kaget dengan ucapan neneknya itu spontan melayangkan protes, “Nek, Juwi belum siap. Kenapa Nenek memutuskan hal besar itu tanpa bilang dulu ke Juwi?”
“Kamu kalau diajak diskusi masalah pernikahan selalu nggak tertarik. Akhirnya ya Nenek putuskan sendiri.”
Wanita berjilbab pink itu bukannya tidak mau membahas pernikahan, ia hanya ingin menemukan imam tepat yang mendukungnya dalam berpenampilan tertutupnya itu dan tidak keberatan memiliki istri yang kesehariannya bercadar.
“Tapi Nek, nanti kalau pihak sana nggak mau gimana?” Pertanyaan Juwi membuat neneknya tersenyum.
“Nggak mau gimana? Fotomu aja sudah Nenek kirim ke keluarga calon besan dan mereka langsung setuju. Makanya besok mereka ke sini untuk melamarmu.”
Ucapan Nenek membuat kepala Juwi mendadak pening. Wanita muda itu bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Protes pun juga sia-sia karena fotonya sudah beredar.
“Ini Nenek sudah siapkan baju kebaya buat kamu. Kamu besok pasti terlihat cantik.”
Juwi menggeleng melihat kebaya yang terlihat fit body itu. Ia mau menangis, tapi sebiasa mungkin ia menahannya agar buliran itu tak merembes di pipi.
* * *
“Nek, kenapa pakai rias segalam macem begini, sih? Juwi nggak biasa pakai beginian!” Juwi melayangkan protes saat seorang wanita datang bersama neneknya dengan seperangkat alat tempurnya―make up kit.
“Ya, biar kamu cantik, nggak pucet. Trus biar calon pria dan besan terkesan pada pandangan pertama sama kamu, Cah Ayu.” Nenek membingkai wajah cucu cantiknya yang sudah cantik tanpa make up.
“Katanya sudah setuju, berarti kan mereka harus bisa menerima Juwi apa adanya tanpa Juwi harus menggunakan ini semua, Nek.” Wanita yang berprofesi sebagai pengajar itu menunjuk peralatan make up yang sudah di berjajar di depannya.
Sejak kepulangan cucunya ke rumah, Nenek merasa bahwa Juwi selalu membantah titahnya. Padahal biasanya cucunya itu tidak pernah melakukan hal itu padanya.
“Kamu melawan Nenek?”
Wajah Nenek yang marah membuat Juwi takut. Sebenarnya ia tidak mau membantah neneknya. Namun, ia merasa kali ini wanita yang merawatnya sejak kecil itu terlalu kelewatan menyetirnya.
“Nggak, Nek. Cuman―”
“Cuman apa? Bantah terus! Mentang-mentang hidup di kota kamu sudah merasa pintar dan berani melawan Nenek, hah?”
“Nggak begitu, Nek. Juwi cuma―” Sia-sia. Sebelum Juwi berbicara Nenek telah melangkah ke dalam kamar dan menutup pintunya kencang, membuat orang yang ‘rewang’ di rumah itu pun terdiam melihat drama nenek-cucu ini.
“Jangan membantah Nenek Imah, Wi,” ucap Bibi Nur―kerabat Juwi―dengan sabar. “Nenek hanya ingin yang terbaik buat kamu. Cepat masuk sana dan minta maaf pada nenekmu.”
Juwi mengangguk meskipun ada pergolakan batin di dadanya. Dengan langkah ragu ia membuka pintu kamar Nenek dan masuk.
“Kamu udah nggak sayang lagi sama Nenek!” ucap Nenek saat menyadari Juwi duduk di sampingnya. Tangan keriput itu memegang dadanya.
“Nggak, Nek. Juwi sayang sekali sama Nenek. Jangan marah lagi ya.” Wanita cantik itu memeluk Nenek dan menumpahkan tangis. Ia tahu pasti neneknya merasakan sakit di dadanya karena memiliki riwayat penyakit jantung.
Dengan pasrah dan tanpa membantah, Juwi mengikuti semua arahan Nenek. Mulai dari memakai kebaya fit body dan memakai riasan wajah. Wajah yang semakin cantik dengan polesan itu membuat seisi rumah berdecak kagum. Namun, ia sangat tak nyaman dengan penampilannya.
Beberapa saat kemudian, keluarga calon mempelai pria datang. Juwi melihat dari jendela rombongan itu keluar dari mobil dan berjalan mendekat ke rumahnya. Namun, ia sedikit kaget saat mendapati pria yang tidak asing baginya.
“Itu kan papanya Sasya, muridku di sekolah.” Juwi membatin sambil memandang jendela. Kerisauan hatinya bertambah. Perlahan, ia mundur.