2
“Itu kan papanya Sasya, muridku di sekolah.” Juwi membatin sambil memandang jendela. Kerisauan hatinya bertambah. Perlahan, ia mundur.

Juwi masih belum siap jika ada seseorang yang mengenalnya mengenakan cadar dan kini harus melihatnya tanpa menggunakan penutup wajahnya itu.

Langkah mundur Juwi disadari Bibi Nur, wanita bertubuh gempal itu pun langsug menghampiri Juwi dan menarik lembut lengan wanita muda itu. “Jangan gegabah. Nanti nenekmu marah lagi.”

Nenek dan kerabat sesepuh pria menyambut kedatangan calon besan dengan suka cita. Mereka mempersilakan tamu itu masuk dan duduk di karpet.

“Mana Juwi, Bu?” tanya Hartatik―calon ibu mertua Juwi. Wanita paruh baya berpenampilan sosialita itu menangkap sosok cantik berbalut kebaya kuning. “Itu ya?”

Mata Nenek langsung tertuju pada Juwi, pun dengan yang lain. Wanita yang sedari tadi senyumnya mengembang itu menarik lengan cucunya lembut. Hal yang dilakukannya itu membuat wajah Juwi bersemu merah. Cucunya semakin menunduk.

“Wah, cantik, Bu. Wajah aslinya lebih cantik dari yang di foto.” Hartatik memegang dagu Juwi dan mendongakkannya lembut. “Jar, lihat ini, calon istrimu cantik, ‘kan?” 

Benar yang diduga Juwi sebelumnya, pria yang akan dijodohkan dengannya adalah papa dari Sasya. Wanita cantik itu tahu bahwa mama Sasya sudah meninggal saat muridnya itu berusia tiga tahun.

Dengan cepat Juwi menunduk kembali. Rasanya ia ingin lari ke dalam kamar dan bersembunyi di balik pintu.

Sebenarnya Juwi cukup kenal dengan Hartatik karena beberapa kali bertemu saat berdiskusi terkait perkembangan Sasya di sekolah. Namun, saat itu ia mengenakan jilbab panjang beserta cadarnya. Sedangkan dengan Fajar―papa Sasya―ia tidak terlalu mengenalnya. Ia hanya tahu saat pria itu menjemput Sasya di sekolah. Namun, mereka tidak pernah terlibat pembicaraan.

“Duduk di sini, Cantik.” Hartatik meminta Juwi duduk berdampingan dengannya. Tangannya melingkar di bahu Juwi.

“Seandainya Mama masih ada dan melihat cucunya menikah dengan cucu Bu Imah, pasti Mama sangat senang.” Hartatik menatap Nenek yang duduk di sisi lain Juwi dengan pandangan sendu.

“Iya,” jawab Nenek sambil tersenyum. Tangannya dengan tangkas meletakkan piring-piring berisi makanan ringan ke hadapan para tamu.

Sri―neneknya Fajar adalah teman baik Nenek Imah. Mereka sedari awal pernah saling berjanji untuk berbesan. Setelah mengetahui anak-anak mereka semuanya adalah perempuan, mereka pun sepakat menjodohkan cucu-cucu mereka.

Fajar yang sedari tadi tidak tertarik dengan perjodohan ini pun hanya memasang wajah masam. Ia terlihat enggan melihat wajah calon istrinya.

Acara pun dibuka. Sesepuh pria dari pihak calon pria mengawali pembicaraan, menjelaskan maksud kedatangannya secara formal. Sementara dari sesepuh pria pihak wanita memberi sambutan dan menerima lamaran dari pihak calon pria. Mereka pun langsung menentukan tanggal pernikahannya, yaitu satu bulan lagi.

Keputusan itu membuat Juwi dan Fajar kaget. Mereka tak menyangka, akan dinikahkan secepat itu.

Pria bertubuh tegap itu melayangkan protes pada Irawan―papanya. “Kok cepet banget sih, Pa?”

“Nggak apa-apa. Daripada nanti diambil orang lain,” canda Irawan yang membuat Fajar terdiam.

Bagi Fajar, Juwi sudah seperti wanita pada umumnya. Ia sama sekali tak berselera melihat wajah calon istrinya. Ia juga belum tahu bahwa wanita yang akan menjadi istrinya itu adalah guru dari anak kandungnya, Sasya.

“Bagaimana, Fajar?” 

Pria berbalut batik hijau panjang itu kaget dengan pertanyaan yang dilayangkan padanya secara tiba-tiba. Ia hanya mengangguk saat semua mata tertuju padanya. Ia pasrah dengan keputusan yang diambil tanpa persetujuan darinya.

Mata Juwi membulat saat Fajar menyetujui ide dari para sesepuh.

“Baiklah, sepertinya calon pria juga ingin acaranya dipercepat.” Ucapan salah satu sesepuh pria membuat Fajar terheran. Ia sebenarnya tidak tahu bahwa para sesepuh memajukan acara menjadi dua minggu lagi.

Irawan yang mengetahui gurat kebingungan di wajah Fajar akhirnya menyampaikan kebenaran dengan berbisik pada anaknya itu. Sontak hal itu membuat anaknya bersuara keras sehingga memancing perhatian para sesepuh yang masih berdiskusi.

“Kenapa, Jar? Setuju yang dipercepat satu minggu?” canda salah satu sesepuh yang merupakan kerabat Fajar. Kebetulan obrolan terkait tanggal belum selesai karena ada yang mengusulkan untuk diajukan satu minggu.

Candaan itu membuat seisi ruangan tertawa. Bahkan, ada yang menggoda agar pernikahan dilaksanakan hari ini saja. Namun, candaan itu sama sekali tidak lucu bagi Juwi. Ia hanya tersenyum kecut menanggapi candaan itu. Ia hampir tak bernapas saat diambil keputusan pernikahannya dengan Fajar dilaksanakan dua minggu lagi.

Acara pun ditutup dengan tukar cincin antara calon mempelai pria dan wanita. Dengan terpaksa Juwi berdiri di hadapan Fajar ditemani Hartatik. Seperti sebelum-sebelumnya, Juwi hanya menunduk, menyembunyikan wajah canggungnya.

“Aduh, Mbak Juwi malu-malu itu,” celetuk salah satu keluarga yang membuat seisi rumah menjadi riuh.

Hal itu membuat Juwi bagai keong. Ia semakin menunduk.

Dengan lembut Hartatik mendongakkan wajah Juwi lalu tersenyum pada calon menantunya. Ia meraih jemari Juwi dan menghadapkan tangan putih itu ke depan Fajar.

Dengan cepat Juwi menarik tangannya karena ia tak pernah tersentuh pria sebelumnya. Hal yang dilakukannya itu membuat Fajar dan juga tamu undangan terkejut.

Nenek yang peka dengan hal ini lantas berdiri. “Juwi ini pemalu. Maklum, ia belum pernah berhadapan dengan pria sebelumnya.” Ucapan Nenek sukses membuat kedua calon mempelai kembali menjadi bahan candaan. 

Akhirnya, dengan perasaan canggung antara Juwi dan Fajar, cincin itu berhasil tersemat di jari mereka. Bagi Juwi, hal ini membuat jantungnya berdegub kencang karena ini adalah pengalaman pertama baginya.

Berbeda dengan Fajar. Ia sama sekali tak merasakan apa-apa. Ia hanya sedikit malu dan kaget saat menjadi bahan candaan. Itu saja.

*
*
*

“Gimana, Jar? Cantik ‘kan pilihan Mama?” tanya Hartatik saat berada di perjalanan pulang. Ia mendekatkan diri pada Fajar yang sedang menyetir.

“Biasa aja, Ma,” balas Fajar datar.

“Apanya yang biasa? Kamu tadi tersipu-sipu gitu,” ucap Irawan yang duduk di bangku penumpang di sebelah Fajar.

“Paling-paling dia kayak wanita masa kini yang suka nongkrong nggak jelas di kafe, foto-foto sok narsis, nggosip sana-sini.” Fajar berucap sambil masih fokus dengan kemudinya, tanpa menoleh.

“Kamu ngomongin Mama?” Hatatik menepuk bahu anaknya gemas. semua yang diucapkan anaknya sama persis dengan kebiasaannya.

“Eh, ada yang merasa?” seloroh Irawan yang langsung mendapat tepukan juga di bahunya. 

“Mama begini ‘kan karena tuntutan dari pekerjaan Papa,” protes Hartatik. “Papa ‘kan pebisnis besar, punya teman banyak. Nah istri-istri mereka itu juga yang jadi temen nongkrong Mama.”

Irawan tersenyum mendengar omelan istrinya. Ucapan istrinya itu adalah hiburan baginya. Menurutnya, Hartatik semakin cantik saat mengomel.

Fajar yang masih fokus menyetir, mengabaikan papa-mamanya yang saling menimpali pembicaraan. Ia melihat sekilas cincin di jarinya dan mendengkus kesal.

*
*
*

“Sasya masih panas, Bik?” tanya Fajar sambil melangkah menuju kamar anaknya.

“Anu, Den. Tadi masih panas terus agak mengingau,” ucap Bik Jah. “Tadi manggil ‘Mama Mama’. Gitu, Den.”

Fajar mempercepat langkahnya. Sesampainya di kamar anaknya yang bernuansa merah muda itu, ia meletakkan tangan di dahi Sasya.

“Masih panas,” pikirnya.

Tiba-tiba Sasya terbangun. Tangan mungil itu memeluk leher Fajar. “Sasya nggak mau punya mama baru. Katanya mama baru itu jahat. Cintanya cuman sama papa aja, bukan Sasya,” ucapnya sedih.

Fajar hanya membelai kepala anaknya dengan lembut.

*
*
*

Di tempat lain, Juwi duduk terdiam di kursi kamarnya. Perasaannya berkecamuk. Ia tidak bisa memprediksi sesuatu yang terjadi setelah pernikahannya nanti dengan Fajar. Jujur, Fajar bukan tipe pria idamannya. 

Sebenarnya, wanita muda itu sudah menambatkan hatinya pada salah satu guru yang juga mengajar di sekolahnya. Pria itu bernama Azzam dan kini ia juga sedang dalam tahap ta’aruf dengan pria itu.

Komentar

Login untuk melihat komentar!