Rindu yang Menyakitkan
Untung saja telepon Fandi berbunyi ketika dia hendak******Hilma yang sudah meronta. Karena dia belum sempat membersihkan diri setelah pagi ini Fandi kembali mendatanginya dengan  kasar dan menyakitkan, badan dan jiwa perempuan yang kini tak ubah boneka di tangan lelaki berambut ikal tersebut.

“Kamu selamat,” katanya datar, lalu keluar kamar dan terdengar suara pintu dikunci.

Setelahnya Hilma menangis sejadi-jadinya. Dendam Fandi membuatnya sengsara. Tetapi dia tahu kalau Tedi tidak sejahat tuduhan suaminya barusan. 

Sejak kecil, Hilma dan Tedy sangat dekat dan tentu saja dia tahu bagaimana karakter kakak laki-lakinya tersebut. Jangankan menyakiti orang lain, menyakiti kucing saja dia tidak tega. Fitri terlalu mendramatisir perasaannya pada sang kakak.

Padahal Tedi sudah meminta waktu pada gadis berambut panjang dan manja itu, agar sabar sampai dia mendapat pekerjaan. Karena Tedi merupakan lelaki yang sangat bertanggung jawab. Dia tidak mau membebani keluarga Fitri atau pun bunda mereka.

Namun, selama Fitri berhubungan dengan Tedi, Hilma tidak tahu kalau ada adik laki-lakinya yang tinggal di luar negeri. Mungkin karena Fitri orangnya tertutup, jadi keluarga mereka tidak tahu anggota keluarga gadis yang berperawakan tinggi dengan mata sayu tersebut.

Setahu Hilma, orang tua Fitri bukalah lelaki yang tempo hari mengantarkan Fandi melamarnya. Mungkin mereka tidak tahu rencana anak mereka yang ingin balas dendam pada Tedi dengan cara menikahi Hilma. 

Hilma menyusut air mata yang mengalir ke pipi, lalu berusaha bangkit dari tempat tidur. Bercak merah masih terlihat basah di seprai putih yang tadi menjadi alas tidurnya. Rasa sakit menyerang kembali di bagian bawah perut. 

Hilma berusaha menekan dengan mengangkat kedua kaki dan mengapit lututnya. Membiarkan angannya terbang jauh, berharap bisa lepas dari perangkap manusia yang tak ubah singa lapar ketika tak bisa mengendalikan syahwatnya karena pengaruh dendam dan obat yang dia kosumsi sebelum berhubungan dengan dirinya.

Pedih, dan menyakitkan.
Kenapa takdir hidupnya seperti ini? Hilma kembali merasakan nyeri di ulu hati. 
Padahal sebelum menikah, dia merasa sangat bahagia bisa mendapatkan seorang lelaki perhatian dan baik seperti Fandi. Dia telah menyerahkan seluruh hatinya untuk dimiliki Fandi yang selalu datang untuk menanyakan kabar bundanya setelah keluar dari rumah sakit.

Bahkan, Tedi sendiri pun tidak tahu kalau calon iparnya adalah adik mantan kekasihnya yang meninggal karena depresi berat.  Fandi sangat hebat bermain peran, hingga tak ada celah untuk menaruh curiga selama melakukan pendekatan pada Hilma.

**
“Hai!” Fandi sudah berada di dekat TPQ di mana Hilma mengajar anak-anak kompleks membaca Alquran setiap sore. 

“Eh, Hai!” Hilma gelagapan, karena tidak menyangka Fandi tahu alamat tempatnya mengajar sepulang kuliah.

Tingkah Hilma yang serba salah membuat Fandi melebarkan senyum, dengan tatapan mata takjub pada gadis berkerudung lebar tersebut.

“Maaf, membuat kamu tidak nyaman dengan kehadiranku.” Fandi menunjukkan rasa bersalah dengan menundukkan wajah di depan Hilma yang berdiri sambil memegang ujung jilbabnya.

Hembusan angin membawa daun kering ke arah mereka berdiri. Bersama peralihan detik, ada rasa yang mulai tumbuh di hati Hilma melihat sikap Fandi yang sangat memuliakan perempuan. Dia tidak pernah menatap wajah Hilma lekat, tetapi berbicara dengan nada lembut dan tentu saja sopan.

“Bagaimana keadaan bunda kamu?”
“Alhamdulillah, Mas. Sudah agak baikan.”
Hilma berusaha meredam gemuruh dalam dada ketika tak sengaja mata mereka beradu ketika sedang mengangkat wajah.

“Oh, iya. Aku hanya ingin memberikan ini.” Fandi menyodorkan sebuah kotak ke tangan Hilma.

“Ini, apa?”
“Hanya hadiah kecil, semoga kamu suka. Tapi bukanya nanti aja setelah di rumah. Aku malu.” Dia tertawa pelan menghilangkan gugup.
Hilma mengucapkan terima kasih, setelahnya pemuda itu berlalu dan tak menoleh lagi pada gadis yang masih menimang-nimang kotak pemberiannya.

Sejak menerima hadiah itu, hati keduanya semakin terpaut. Seperti jilbab berwarna peach yang sering dipakai Hilma menutupi auratnya. Kerudung sutra pemberian Fandi di depan TPQ sore itu.

Membayangkan kenangan manis tersebut, ada perih yang kembali terasa menghunjam. Kenapa dia harus berjodoh dengan laki-laki yang ternyata memiliki dendam kesumat pada kakaknya. Kenapa Tuhan memilihkan Fandi?

Air mata Hilma jatuh ke lutut yang masih menahan kepalanya agar sakit di bagian bawah perut bisa berkurang. Perempuan itu mengusap wajahnya pelan. Lalu berusaha menurunkan kakinya ke lantai, pelan. Sakit itu kembali terasa saat telapak kaki menjejak tepat di porselin bewarna putih yang menjadi saksi keganasan Fandi padanya.

Dengan susah payah, Hilma menuju kamar mandi. Membasuh badannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menahan sakit di sebagian persendian dan tempat-tempat tertentu di tubuhnya yang semampai.

Cukup lama Hilma membasuh badan, berusaha mencuci pikirannya dengan air yang diguyurkan dari bak mandi. Dalam hati dia sangat berharap Fandi bisa berubah dan membuang dendam yang ada di hatinya. Dia rindu sikap suaminya sebelum mereka menikah. Walaupun sakit, Hilma akan berusaha memenangkan hati lelaki yang telah mengambil hak walinya untuk dirinya, walau tidak sesuai harapan.

“Hilmaaa ...! Di mana kamu?” 
Kenapa Fandi pulang secepat ini? Bukankah tadi dia katanya mau ke kantor? Pikir Hilma takut.

“Hilmaaa!”