Permainan Tak Seimbang
Mohon Subcribe dan Kasih Bintang Lima, ya, Kak. Biar Nilam semakin semangat.

***
Hilma mengikuti langkah Fandi ke meja makan. Wajahnya pucat, sakit di bagian kewanitaannya membuat langkah kaki perempuan cantik itu terlihat berat. Sesekali dia menggigit bibir.

“Sudahlah, nanti juga akan hilang sendiri sakitnya.”
Belaian lembut di rambutnya yang tergerai, sedikit menenangkan. Tetapi belum cukup untuk meyakinkan hatinya bahwa Fandi tulus memperlakukannya sebagai seorang istri yang harus dikasihi.

“Duduk!”
Kembali hardikan diterima.
Hilma menengadah, jantungnya berdentum keras ketika suami berucap dengan nada keras dan tak disangka setelah kelembutan dia perlihatkan barusan.

“Makan itu!”
Air mata mulai menggenang di pelupuknya. Dada Hilma kian sesak. Bukan nasi goreng seperti ucapan Fandi tadi, melainkan ubi rebus yang dikasih kunyit.

“Mas, aku bisa buatkan nasi goreng seperti yang kamu mau.”
Dalam kegetiran Hilma masih berusaha bersikap lembut dan memperlihatkan hormatnya pada suami.

“Tidak perlu! Untuk hari ini cukup itu saja untuk mengenyangkan perutmu.”
Hilma terbatuk, saat mengunyah ubi dalam mulutnya yang disertai tekanan.

Kendatipun bukan orang berada, tetapi bundanya selalu memberikan sarapan yang bergizi padanya dan Tedi, kakak lelakinya. Air mata perempuan berdagu runcing itu luruh ke pipi.

“Sudahlah! Jangan cengeng begitu! Dari pada kamu mati kelaparan!”
Fandi tetap beridiri di belakang Hilma yang berusaha menelan ubi yang terasa lengket di kerongkongan. Apalagi di dada ada gemuruh kesedihan bak irama senja menunggu gelap datang.

Ketakutan teramat nyata saat ini. Hilma seakan berada di neraka yang sengaja diciptakan suaminya sendiri, entah untuk apa?

Perlahan, air yang tadi menetes di sapu dengan punggung tangan yang gemetar.
“Hilma, sayang! Habiskan ubinya!”
Bisikan Fandi di telinga membuat darahnya seakan beku. Dia kehilangan sensasi magnet cinta yang dulu pernah dirasa ketika Fandi menatapnya mesra. Debaran yang dulu selalu dirindu musnah sudah di ranjang pengantin mereka semalam.

Kini, yang tertinggal ketakutan demi ketakutan.

Sepotong ubi rebus masuk ke perut dengan didorong air putih satu gelas. Wajah Hilma sangat menyedihkan. Dia segera bersandar ke sandaran kursi dan enggan mengucapkan terima kasih pada suaminya yang masih beridiri dan berpegangan di dekat pundaknya.

“Sudah kenyang, ‘kan?” 
Sebuah ciuman mendarat di ubun-ubun Hilma. Tetapi tidak membuat perempuan itu merasakan bahagia, melainkan kebencian yang tumbuh bersama perubahan sikap suaminya yang tidak terduga.

“Kalau belum kenyang, kita tambah.” 
Fandi membelai lembut pipi dan terus mengusap bibir istrinya.

Tubuh Hilma langsung gemetar, sebab Fandi segera menarik tangannya ke kamar.
“Kita selesaikan satu ronde lagi sebelum aku bekerja.”

Pikiran Hilma mulai kalut, di saat sakit masih terasa. Tiba-tiba suaminya minta di carger ulang. Ini sama saja dengan penyiksaan, bukan rumah tangga yang berbalut kebahagiaan dan saling mengerti.

Bukannya tidak mau melayani suami, tetapi sakit di bagian kewanitaannya masih terasa saat berjalan. Apalagi harus kembali diserang dengan permainan yang tidak seimbang. Tiba-tiba saja, keringat dingin mengucur di pelipis dan telapak tangan Hilma.

“Mas, aku masih sakit.”

“Kamu menolak? Mau kamu dilaknat malaikat dengan menolak ajakanku ke tempat tidur.”

“Ini masih pagi, Mas. Kenapa tidak nanti malam saja?”

“Kapanpun dan di mana pun aku meminta hakku. Sebagai seorang sitri kamu harus patuh dan mau melayaninya. Ingat Hilma, sekarang itu kamu adalah istriku.”

Jantung Hilma bagai diremas-remas keras oelh perkataan suami sendiri. Ada penolakan yang membuat dia menahan langkah mendekat ke tempat tidur. Berusaha melawan dengan tatapan tajam pada suaminya yang sudah menyeringai lebar.

“Kamu mau aku paksa?”

Hilma tidak menjawab. Tetapi dia tetap menahan tarikan tangan Fandi yang semakin keras di pergelangan tangan.

“Okey, kalau begitu jangan salahkan aku jika kamu semakin merasa sakit.”

Tubuh Hilma diangkat dan sekarang berada digendongan lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu.

Mata yang dulu menenangkan Hilma ketika bertemu pandang. Kini berubah bagai mata setan yang membuat perempuan itu bergidik ketakutan. Aroma tubuh Fandi pun tidak lagi bisa dijadikan aroma terapy ketika galau melanda. Karena kini semua yang ada pada tubuh dan sikap lelaki itu tak ubah momok menakutkan bagi Hilma yang tak tahu harus berbuat apa.

Meronta dan meminta dilepaskan pun akan sia-sia. Tenaga Fandi jauh lebih kuat dari tenaganya yang lemah, apalagi sendi-sendi bagian bawahnya masih sulit untuk bergerak ringan.

Seringai Fandi ketika meletakkan tubuh Hilma dengan kasar di tempat tidur, membuat perempuan itu kembali meneteskan air mata. Takut dan tak berdaya menghadapi keganasan suami membuat dia seakan berada di kandang macan yang sebentar lagi harus siap menahan rasa sakit ketika diserang brutal oleh suami sendiri.

“Hilma, sayang!” Fandi mengecup kening istrinya yang terus memejamkan mata,”lihat aku!” dia membelai pipi istrinya lembut.
Tapi Hilma tetap menutup mata, bayangan semalam masih membuatnya tidak berani bersikap hangat pada suami sendiri. Sakit itu masih terasa, dan saat ini dia benar-benar tidak ingin melayani suaminya. Walau pun dia tahu sangat berdosa menolak ajakan suami.

Namun, dia berharap Tuhan akan menilai dengan seimbang. Bukankah seorang suami juga harus mengerti dengan keadaan istrinya? 

“Hilma ...!” Suara parau Fandi membuat kamar pengantin itu semakin mencekam di pikiran Hilma. Hingga sebuah tendangan melayang ke perut Fandi tanpa disadari.