Sebungkus nasi ramas dan berapa bungkus wafer diletakkan Fandi di meja makan.
“Aku tidak mau bunda dan kakakmu yang jahat itu curiga pada keadaan kita.”
Hilma tidak menyahut, karena perutnya benar-benar sudah berasa asam.
Dia segera mengambil piring dan segelas air putih. Lalu membuka bungkus nasi yang berlauk ikan goreng. Sekilas dia menatap wajah Fandi yang beku.
Ada rasa was-was dalam hati sebelum dia menyendok nasi ke mulut.
“Kamu makan duluan!” Dia menatap Fandi lekat.
Lelaki itu heran dengan keberanian istrinya yang tak disangka sama sekali.
“Bukannya kamu lapar?” Fandi membalas sengit.
Bukan tidak beralasan Hilma meminta Fandi memakan nasi yang baru saja dia beli. Tetapi antisipasi saja seandainya suaminya nekat ingin membunuhnya seperti ucapannya tadi pagi.
“Tidak aku racuni!”
“Kalau tidak, kamu makan duluan agak satu sendok!”
“Hilma! Kamu sudah berani, ya?!”
“Aku bukannya berani melawan, tetapi ada baiknya mawas diri.”
“Kamu mau aku tampar seperti tadi?” Ancaman Fandi kini tidak membuatnya gentar. Setidaknya dia sudah menyiapkan serangan balasan jika memang harus main tangan.
“Mas! Aku ini perempuan. Seharusnya sebagai suami kamu bisa mencontoh sikap Rasullullah pada istri-istrinya, bukan kasar seperti ini.”
Hilma tetap menjaga nada suaranya agar tidak bergetar.
“Dasar istri durhaka!”
Fandi meninju meja makan. Seketika hening, tidak ada saling bantah kata, melainkan embusan napas keduanya yang tak beraturan.
“Mas, aku hanya mengingatkan doang! Ga usah emosi gitu.” Hilma tetap tenang, meskipun dalam dada sudah terdengar genderang perang.
“Itu namanya curiga tak beralasan. Ya, ga mungkinlah aku meracuni kamu secepat ini. Aku masih belum puas menikmati kebersamaan kita."
Kebersamaan? Sebentar lagi mungkin kamu akan mengangkat bendera putih, gumam Hilma. Walau sebenarnya sabar tidak memiliki batasan, tetapi jika terus diperlakukan kasar, siapa pun pasti akan melawan, kecuali pengecut. Geram Hilma dalam hatinya.
“Kalau tidak mengandung racun, ngapain kamu takut?”
Fandi benar-benar dikacangi oleh istrinya sendiri. Bagai orang baru sadar dari pingsan, lalu bertemu lawan yang mungkin sudah seimbang membuatnya terlihat linglung. Lelaki itu benar-benar tidak menyangka Hilma bisa menjadi ayam betina yang galak.
“Baik!”
Kemesraan di antara mereka sudah hilang. Getaran saat saling bersentuhan tidak lagi membuat gairah menggelora, kini yang ada hanya rasa khawatir dan bagaimana bisa menjadi pemenang dari permainan yang sengaja diciptakan Fandi.
“Sudah dibilang tidak beracun!”
Fandi meletakan sendok dengan kasar. Lalu meraih gelas berisi air yang tadi diambil Hilma. Tetapi secepat kilat, perempuan yang tetap memperhatikan gerakan suaminya itu, mengambil gelas tersebut.
“Maaf, Mas! Mulai saat ini, aku tidak akan mau lagi menjadi pelayan bagimu. Karena kamu pun tidak tulus melayaniku. Terima kasih untuk sakit semalam dan tadi pagi. Sekarang aku mau makan, kamu bisa tunggu di depan.”
Keberanian akan tumbuh, ketika rasa takut sudah di ambang batas. Menyelamatkan diri dengan cara apa saja lebih mulia dan terhormat dari pada dipecundangi serta diperlakukan tak ubah budak oleh suami sendiri.
Itulah yang membuat Hilma berubah garang menghadapi Fandi, walau sebenarnya dia ragu, kalau-kalau suaminya lebih kuat dan memiliki ilmu bela diri juga.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, jika terus terlihat lemah, Fandi pasti akan lebih semena-mena. Hilma harus berusaha mencari kelemahan Fandi, sebelum dia benar-benar bisa melepaskan diri dari laki-laki yang otaknya sudah kotor karena dendam.
“Hilma! Kamu benar-benar sudah membuat kesabaranku habis. Kamu harus diberi pelajaran!” Fandi menarik pergelangan tangan istrinya dengan kasar.
Napasnya memburu, matanya berkilatan menahan gelegak emosi dalam dada.
Namun, Hilma tetap bertahan di kursi. Hingga akhirnya gelas dan piring jatuh ke lantai.
Fandi geram dan hendak melayangkan tamparan ke pipi istrinya. Tetapi terhalang oleh suara salam dari pintu depan. Bunda dan kakak lelaki Hilma datang pada waktu yang tepat.
“Kamu beruntung!” Fandi mendengkus kasar.
“Karena Allah menjaga istri-istri yang berusaha memuliakan suaminya, menjaga kehormatannya dan tentu saja orang yang sabar, walau diperlakukan tidak baik oleh suaminya sendiri.” Hilma terus mencecar dengan suaranya yang tenang.
“Cukup! Kamu akan menyesal, sama seperti kakakmu yang tidak berperasaan itu!”
“Bang Tedi tidak pengecut seperti kamu, Mas!”
“Stop! Atau kamu akan menerima akibatnya setelah bundamu pulang?”
Fandi bergegas ke pintu, berusaha mengubah wajahnya dari yang tadinya beku menjadi ceria.
Sementara Hilma, dia sudah mantap memberi pelajaran pada suaminya hingga hidayah menyapa lelaki itu. Walau bagaimanapun sekarang ini dia memiliki tanggung jawab sebagai pendamping Fandi, kendatipun dia tahu dendam di hati pasti akan sangat sulit dihilangkan.
Tedi tidak salah, dan Fandi harus tahu semua kejadian di masa lalu kakaknya. Karena Hilma tahu kenapa kakaknya memilih meninggalkan Fitri demi cita-citanya.