Ada Apa Dengannya?
“Hilma, bangun!”
Selimut yang menutupi tubuh Hilma ditarik kasar. Dia menggeliat.

Sakit semalam masih tersisa yang membuat sendi tubuh bagian bawah sulit digerakkan. Perempuan itu menggulung rambut saat duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.

“Pagi itu bangun, bersihkan diri biar tidak dilaknat Tuhan!”

“Belum azan, Mas!” Hilma menggeser duduknya

“Iya, tapi seharusnya sebagai seorang istri, kamu duluan yang bangun dari pada suami.”

Kembali sakit itu terasa, saat kaki menjejak lantai. Hilma memejamkan mata dan menggigit bibir. Sepertinya serangan semalam, bukan hanya merobek selaput kehormatannya, tetapi mencabik-cabik hingga sakit itu enggan pergi.

Hilma menarik langkah jinjit menuju kamar mandi.

“Duh! Hilma, kapan sampainya jika jalanmu lelet gitu!” hardikan lagi.

Apa dia tidak puas dengan perlakuannya semalam? Hilma mengangkat wajah agar air matanya tidak tumpah.

Bukan pernikahan seperti ini yang diimpikan. Melainkan seperti yang tertulis di undangan tempo hari. Pernikahan Samawa seperti Ali dan Fatimah Az Zahra yang diharapkannya dalam setiap doa, sebelum menerima pinangan Fandi yang datang mengusik pikiran enam bulan yang lalu.

“Iya, Mas!”
Hilma berusaha menahan sakit agar jalannya lebih cepat. Tetapi bukannya merasa kasihan, Fandi malah semakin berteriak.

“Selesai mandi buatkan aku sarapan, lapar!”

Ya, Tuhan!
Aku memang minta jodoh atas pilihan-MU, yang terbaik menurut-MU. Lalu kenapa dia berubah seperti itu? Hilma bergumam menahan perih yang menyayat jiwa.

Dinginnya air yang mengguyur puncak kepala sampai ke kaki setelah niat mandi junub, membuat gigi Hilma gemeletuk.

Kepedihan atas perbuatan Fandi sejak semalam, kembali terbayang. Ada sesak dalam dada yang membuatnya bertahan menahan dingin yang membuat kaku persendian.

“Hilma! Kamu mandi atau bertapa? Lama banget!” Pintu kamar mandi digedor dari luar.

Perempuan yang masih berusaha  menenangkan diri bersama air yang membasuh tubuhnya, tersentak.

“Iya, sebentar, Mas!”

“Sebentar, sebentar! Sudah setengah jam! Kamu mau jadi es batu di kamar mandi ini?”

Kembali kata-kata kasar mengalir di balik pintu yang membatasi mereka. Hilma bergegas dan segera memakai handuk.

**
Apakah semua perempuan mengalami sakit seperti setelah kegadisannya hilang? Mungkin iya! Apalagi semalam Hilma dihajar tanpa perasaan sama sekali oleh suaminya.

“Dasar pemalas!” Fandi sudah berada di belakang perempuan yang hendak memakai pakaian sehabis mandi.

Hilma tidak menjawab, sebab lebih baik diam dari pada menimbulkan pertengkaran di pagi hari.

“Maaf, Mas!” 

“Maaf, maaf! Aku mau makan nasi goreng. Kamu bisa masak atau tidak?”

“Tapi, aku belum shalat Subuh, Mas!”

“Makanya buruan!”

Fandi meninggalkan Hilma yang masih berdiri dengan perasaan tidak karuan. Ingin rasanya segera pergi dari perangkap yang sepertinya memang sengaja dibuat Fandi melalui ikatan suci pernikahan.

Namun, Hilma tidak tahu apa tujuan lelaki itu sebenarnya. Karena tidak ada jawaban setiap kali dia menanyakan hal itu.

Dalam sujud terakhir, Hilma tak kuasa menahan air mata. Dia menumpahkan segala beban lewat doanya pada pemilik kehidupan.

Semoga dia bisa melewati ujian pernikahan yang sama sekali di luar sangkaan. Lelaki yang dulunya lembut, romantis, dan penuh kasih sayang padanya. Berubah jadi singa yang jika salah sedikit saja bisa mencakar, bahkan mungkin mencabik-cabik tubuh dan perasaannya.

**
Enam bulan yang lalu, di pelataran parkir sebuah rumah sakit. Hilma tidak sengaja menabrak seorang pemuda yang sedang membaca jadwal piket dokter spesialis.

Hilma benar-benar tidak sengaja, karena dia juga sedang membaca resep obat yang harus ditebus ke apotik. Bundanya sedang berjuang melawan tumor ganas di ruang operasi.

“Maaf, Mas!” Hilma tergagap dan serba salah.

Pemuda itu tersenyum, dan mengatakan tidak apa-apa.
Setelah saling berkenalan, akhirnya Fandi dengan sukarela mengantarkan Hilma ke apotik yang berlokasi agak jauh dari rumah sakit. Karena obat tersebut hanya ada di apotik rekanan, tidak ada di apotik RS.

“Tidak usah, Mas! Aku bis sendiri,” tolak Hilma halus.

“Tidak apa, ga usah sungkan. Aku bukan orang jahat, kok!” Fandi berusaha menghangatkan perkenalan mereka dengan sikapnya yang ramah.

Cukup lama, Fandi akhirnya mampu menaklukkan Hilma. Berdua mereka menuju tempat penjualan obat yang di maksud.

Sejak saat itu, hubungan mereka lumayan dekat. Sayangnya sampai menikah, Fandi selalu mengatakan tidak memiliki keluarga lagi, kecuali Pak Hasim, penjaga panti tempat dia dibesarkan.

“Hilmaaa!”
Perempuan itu segera membuka kain shalat dan bergegas ke ruang makan. Rasa sakit yang terasa di dekat paha, ditahan dengan menggigit bibir.

“Sebentar, Bang!”

“Tidak usah bergegas, sayang! Nasinya sudah aku buat. Kamu tinggal makan aja!” Fandi segera menyongsong sang istri dan membimbingnya hingga ke kursi.

Hilma bingung, kenapa sikap Fandi berubah-ubah secepat itu?

“Masih sakit, ya?”
Hilma mengangguk.
“Nanti kita ulang yang jauh lebih dahsyat!” Fandi merangkul pundak istrinya ke dadanya yang bidang.


***
Mohon Subcribe dan beri bintang lima ya, kak