“Sakit, Mas! Sakit!” Hilma menggigit bibir dan menangis menahan sakit.
Lelaki yang dulunya lembut dan penuh kasih sayang, tiba-tiba berubah seperti singa lapar. Semakin Hilma merintih, semakin lebar seringai di wajahnya.
“Ini belum seberapa!” Fandi tetap melakukan kewajibannya pada Hilma yang sudah menitikkan air mata, seakan perempuan yang kini dia lahap hanya boneka yang tak memiliki perasaan.
Malam Pertama yang tidak seperti impian perempuan itu, membuatnya menangis menahan pilu dan sakit yang teramat sangat. Walaupun Hilma sudah merintih dan menangis, Fandi tidak berhenti, dia terus melancarkan serangan tanpa belas kasih pada istri yang seharusnya dia muliakan.
Sebelum menikah, bayangan indah sudah menari dalam kepala. Suami yang dicintai sepuluh hati akan melakukan kewajibannya dengan lembut, bukan seperti saat ini.
Kesuciannya direnggut, bak kembang yang ditarik paksa dari kelopaknya. Sakit.
Setelah hajatnya tunai, wajah Fandi berkeringat. Dia tersenyum penuh kemenangan dan menatap tanpa iba pada istrinya yang masih meneteskan air mata.
Bercak darah suci seorang perempuan, terlihat di seprai yang kusut. Wajahnya menyiratkan kepuasan, tetapi dia tidak memperlihatkan penghormatan pada Hilma yang masih memiliki selaput dara saat malam pertama mereka.
Seharusnya Fandi memeluknya dengan penuh kasih sayang, bukan malah meninggalkan Hilma yang menahan sakit jiwa dan raga terbalut selimut bersama tangisnya yang tak bersuara.
Sakit di singgasana kehormatan seorang perempuan yang kini dirasa, tidak melebihi sakit dalam dada melihat sikap suaminya yang tiba-tiba saja berubah.
Tidak ada kelembutan, tidak ada tatapan kasih sebelum ijab kabul berlangsung siang tadi.
Kenapa Fandi tega?
Kenapa dia seperti ini?
Jiwa Hilma benar-benar tergoncang di malam pertama pernikahannya. Dengan tangan bergetar, perempuan cantik itu mengusap air mata. Dia melihat punggung suaminya yang sedang menuju kamar mandi, tanpa peduli dengan keadaannya yang kepayahan setelah kehormatan yang seharusnya dipetik dengan kasih sayang, direnggut paksa oleh suami sendiri.
Hilma menutup wajahnya dengan selimut, membiarkan air mata menganak sungai ke bantal yang masih menyanggah kepalanya dengan rambut yang tergerai.
Terpukul dan sedih, membuat dia enggan membersihkan diri mengikuti suaminya ke kamar mandi.
Degup jantung menahan emosi, membuat Hilma terisak. Dan ketika Fandi kembali dari kamar mandi, wajahnya keruh, tatapannya sinis. Seakan istrinya bukanlah seorang perempuan yang layak dihormati, meski masih suci saat dia datangi.
“Sudahlah, jangan cengeng begitu!”
Datar dan tanpa ekspresi. Hilma tak menyahut, tetapi berusaha melerai tangis dan kepedihan di hati.
“Kenapa kamu berubah seperti ini, Mas?” Suaranya lirih, di sela tarikan napas yang terdengar sulit melawan isak yang tersekat di kerongkongan.
“Berubah? Siapa yang berubah. Kamu saja yang manja dan tidak bisa menahan sakit. Namanya juga malam pertama, ya, pasti sakitlah. Kecuali kamu tidak suci.”
Fandi membelakangi Hilma ketika mengatakan hal tersebut.
Nyeri terasa dalam dada perempuan yang masih berusaha melerai kesedihan dengan harapan suaminya akan meminta maaf dan memperlakukannya dengan baik. Setelah dia memberikan apa yang menjadi haknya sebagai seorang suami.
“Mas! Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap kamu.”
“Kamu harus berusaha mengerti, Hil. Karena aku menikahi kamu bukan karena cinta.” Fandi membalikkan badan. Wajahnya dingin, tidak ada bentuk cinta yang tergambar di sana seperti dulu.
“Kalau kamu tidak cinta, kenapa kamu menikahi aku? Kenapa kamu menyiksaku begini? Salahku apa?”
Suara Hilma bergetar.
“Aku menyiksa kamu? Siapa bilang? Bukankah kewajiban kamu sebagai istri itu melayaniku sebagai suami, dan kamu harus menerima caraku mendatangimu di tempat tidur seperti apa yang kumau. Kamu paham kewajiban seorang istri, bukan?”
Andai saja sekarang mereka tidak di rumah sendiri, mungkin Hilma sudah berlari ke pelukan bundanya. Melepaskan semua kepedihan yang dirasa. Namun, dia bukan anak gadis lagi, melainkan seorang perempuan bersuami yang harus menyimpan semua hal yang terjadi di kamar mereka, walau sebenarnya sangat sulit untuk dipendam dalam dada.
“Ke mana perginya kelembutan kamu dulu, Mas?”
“Hilma! Dengarkan aku!” Fandi mendekat dan duduk di ranjang. Tak ada belaian kasih sayang, selain tatapan penuh kemarahan.
“Apa yang terjadi di antara kita, tidak boleh kamu ceritakan pada orang lain. Kalau kamu macam-macam, aku tidak akan segan menyakiti kamu lebih dari tadi, paham!”
Kenapa Fandi berubah menakutkan di mata Hilma? Kenapa dia diperlakukan bagai seorang tawanan perang oleh suaminya sendiri? Bahkan di malam pertama yang seharusnya ada tangis haru menyertai mereka, bukan tangis kepedihan dari seorang perempuan yang baru saja kehilangan kesucian.
Fandi mengekus kasar, dia mengalihkan tatapan matanya dari Hilma yang masih bebaring menahan sakit.
“Mas.” Hilma berusaha meraih jemari suaminya, dia ingin meyakinkan dirinya sendiri. Kenapa Fandi melakukan ini semua terhadapnya.
Tepisan kasar Fandi, membuat Hilma terdiam.
“Hilma, sekali lagi aku tegaskan. Jangan pernah berharap aku memperlakukan kamu seperti seorang istri yang benar-benar dicintai suaminya. Karena aku menikahi kamu bukan karena cinta.”
“Kalau begitu, ceraikan aku saja!”
Entah kekuatan dari mana yang membuat Hilma berani meminta hal yang sebenarnya akan menghancurkan masa depannya sendiri, menjadi janda sehari setelah menikah. Perempuan yang sudah tidak suci lagi, siapa yang akan mau setelah ini?
“Cerai?” Fandi menggeleng dengan senyum sinis.
“Tidak akan!” Lelaki itu segera berdiri dan meninggalkan Hilma yang masih mengira-ngira kenapa suaminya bersikap tak ubah lelaki yang sudah membelinya.
***
Subricribe dan kasih bintang lima, ya, Kak🙏🙏🙏😘😍