Reena
tengah menyiapkan ayam lada hitam dan cap cay menu favorit suaminya, saat Arsa
menyusul ke island dapur.
Arsa memeluk istrinya dari
belakang dan menyandarkan dagunya di kepala Reena “Maaf tadi aku membanting
pintu.”
“Iya tidak pa pa.” Reena mengiris
bawang bombay dan menjawab datar.
“Tidak usah masak. Kita pergi
makan malam saja berdua.” Arsa melepaskan pelukan dan mengambil pisau dari
tangan Reena.
“Kasihan anak anak, mereka
merindukanmu.” kalau mereka pergi keluar anak anak hanya punya waktu sebentar
bertemu Ayahnya. Hanya saat sarapan pagi sebelum Arsa berangkat ke kantor.
“Besok aku akan kerja dari
rumah.” Arsa tahu apa yang dipikirkan Reena. Reena sangat mencintai anak anak.
Ia pasti ingin Arsa lebih banyak meluangkan waktu untuk kedua anak mereka.
Arsa juga ingin, tiga hari
bersama anak anak rasanya tak cukup. Namun Ia sudah berjanji pada Lucy memberi
empat hari dalam sepekan waktu bersamanya.
“Reen.” Arsa menyadari Reena yang
hanya melamun.
Reen hanya menatap Arsa, bingung.
Banyak hal yang ingin Ia katakan, kegelisahannya, rasa letihnya menjalani rumah
tangga dibawah kekerasan verbal yang dilakukan Lucy. Namun Ia tak sanggup
mengungkapkan. Arsa sudah terlalu baik padanya, pria itu yang dulu
menyelamatkannya dan memberi perlindungan. Dengan apa Ia harus membalas
kebaikannya kalau tidak dengan baktinya sebagai istri.
“Ayo bersiap siap sebelum anak
anak bangun.” Arsa menarik tangan Reena kembali ke kamar.
Pria itu memilihkan gaun untuk Ia
kenakan, juga high heels. Kadang Ia merasa seperti boneka Arsa. Bukan istri
yang dicintai.
Ia membiarkan Arsa menggantikan
pakaiannya sementara Ia hanya diam mematung. Menunggu Arsa selesai memakaikan
gaunnya dan setelah itu pria itu menyiapkan bajunya sendiri.
Arsa masih setampan dulu, Ia
masih seperti pangeran berkuda putih yang menyelamatkannya dari menara tempat
penyihir jahat menawannya. Arsa mengenakan kemeja biru muda yang lengannya di
gulung hingga siku dan bawahan celana slim fit berwarna biru navy. Ia tak
tampak seperti pria beristri.
Apa arsa pernah berpikir menikah
lagi? Reena melintas tanya. Sejak menjadi istri Arsa, Reena mulai mengakses
berita. Tahu ada beberapa tokoh publik yang memiliki lebih dari dua
istri.
Reena menelan saliva, Ia tak
berani membayangkan jika Arsa menikah lagi. Menghadapi istri pertama saja Ia
letih, apalagi jika Arsa tiba tiba berpikir untuk menikah lagi.
Reena menghampiri meja rias dan
memulaskan lipstik di bibirnya. Ia menyanggul rambutnya ke atas. Sejak menikah
Arsa memintanya memanjangkan rambut. Arsa menyukai perempuan dengan rambut
panjang tergerai. Kadang Reena bertanya, apa yang dipikirkan Arsa dulu saat
baru mengenalnya. Saat Ia masih berpotongan rambut laki laki. Mungkin hanya
simpati, mungkin hanya rasa kasihan. Mungkin sebenarnya tak ada cinta di antara
mereka. Mungkin hanya keinginan untuk menyelamatkan Reena. Dan Reena hanya
membalas budi baik pria itu.
“Kau cantik.” Arsa
memujinya saat Ia telah selesai memulas wajah dan merapikan rambut.
Pujian yang kadang membuat Reena
bertanya tanya, apa Arsa tulus? Apa sebenarnya Ia hanya ingin menyenangkan
Reena?
Reena tak pintar menunjukkan
perasaannya. Selama dua puluh satu tahun hidupnya sebagai tawanan Sugito Ia
terbiasa memendam. Ia tak seperti Lucy, Lucy sepertinya lebih tahu cara
menyenangkan Arsa.
Foto foto mesra yang dikirim Lucy
padanya menggambarkan dengan jelas, seberapa menyala cinta mereka. Seberapa
bersemangat Arsa saat bersama istri pertamanya.
“Rasanya aku tidak ingin
berangkat makan malam.” Arsa mencium bibirnya.
“Kalau begitu tidak usah berangkat.
Biar aku memasakkan makan malam untukmu.”
“Tidak. Aku sudah punya kejutan
untukmu.” Arsa menarik tangannya ke pintu.
Begitu pintu terbuka sudah ada
Anna dan Emir yang berdiri disana
“Papa
sudah pulang.” Anna memekik gembira.
“Gendong.”
Emir merentangkan tangan.
Arsa
menoleh ke Reena, istrinya tersenyum.
“Anak
anak dulu. Kencannya bisa ditunda.” Reena pergi ke dapur untuk menyiapkan makan
malam. Arsa meraih tubuh Emir dan menggendongnya.
“Papa
sama bunda mau kemana? Kenapa rapi?” Anna bertanya.
Ia
mengikuti Ayahnya ke dapur. Mereka duduk di kursi tanpa sandaran yang ada di
island meja dapur.
“Tadi
mau pergi tapi kalian keburu bangun.” Arsa menjawab santai.
“Papa
ini, mau pergi tidak ajak ajak.” Anna menggerutu.
Reena
tersenyum mendengar gerutuan sulungnya. Ia mengambilkan es krim untuk Arsa dan
anak anak “Habiskan ini. Bunda masak.”
“Papa
tadi Anna ke paviliun Bu Lucy.”
Reena
yang mendengar ucapan anaknya tersentak. Ia tak mau Arsa tahu “Anna, habiskan
es krimmu dulu baru bicara.”
Arsa
menyadari Reena yang seperti sengaja menyuruh Anna diam. Ia menatap Reena,
Reena tak balas memandang. Istrinya sibuk memotong ayam yang akan di lada
hitam.
“Anna
main kesana?” Arsa memancing.
“Papa
pelukan sama Bu Lucy. Kenapa Papa peluk Bu Lucy?”
“Karena
dia kerabat kita.” Arsa berbohong.
Reena
menelan saliva. Sampai kapan Arsa bisa berbohong pada putrinya. Kelak saat Anna
tahu Ia pasti akan membenci Ayahnya. Reena tak tahu kekacauan apalagi yang akan
terjadi di hidupnya.
Pangeran
berkuda putih itu memang menyelamatkannya, pria itu membawanya ke istananya.
Menjadikan selir yang melahirkan anak anak sang pangeran. Tapi Ia tak akan
pernah mendapatkan kehidupan normalnya.
Ia
hanya diminta mengasuh dan mengurus sang penerus tahta. Setelah itu Ia akan
kembali hidup dalam kutukan penyihir jahat yang pernah menawannya.
Hidup
dalam penyesalan karena menerima Arsa. Harusnya saat jasad orang tuanya sudah
ditemukan Ia menghilang dari hidup sang pangeran. Tak berpikir untuk ikut ke
istananya. Istana ini hanya memberinya luka, sejak awal Ia menginjakkan kaki
hingga hari ini. Ini neraka kedua yang baru Ia sadari sekarang, Ia benar benar
menyesal.
“Reen.” Arsa melihat titik titik
air mata yang jatuh.
“Bunda kenapa menangis?” Anna
menyadari.
Reen yang tak kuasa mendengar
pertanyaan putrinya meninggalkan pekerjaannya.
“Maafkan bunda.” Reena pergi ke
kamarnya tanpa menoleh lagi pada Arsa dan anak anak.
“Tunggu sini. Papa lihat bunda.”
Arsa menyusul istrinya.
Ia masuk ke kamar dan melihat
Reena yang duduk di tepi tempat tidur dengan linangan air mata.
“Reen.” Arsa berlutut
dihadapannya.
“Aku ingin bercerai.” Reena
terbata. Sekuat hati Ia memberanikan diri untuk mengatakannya pada Arsa.
“Reen, apa yang kau pikirkan?”
“Aku hanya ingin hidup dengan
anak anak.”
“Jelaskan padaku kenapa kau
terpikir sampai kesana?” Arsa tak mengerti.
“Aku letih. Aku letih dengan
pernikahan ini.” Reena menutup wajahnya. Ia tak ingin Arsa melihat air matanya.
Arsa memeluknya, Ia tak tahu keletihan
apa yang dirasakan istrinya. Ia sudah berusaha bersikap adil pada istri
istrinya. Apa karena Anna melihatnya berpelukan tadi? Apa itu yang membuat
Reena merasa tak aman?
“Aku janji akan bersikap lebih
hati-hati saat berada di tempat Lucy.” Arsa mengusap bahu Reena.
Reena menggeleng, Arsa tak
mungkin mengerti. Bukan itu yang membuat Ia berpikir untuk bercerai. Lebih dari
itu, siksaan Lucy sudah menghancurkan dirinya hingga ke lapisan terdalam. Ia
tak punya kepercayaan diri untuk melanjutkan pernikahan. Ia hanya penumpang
yang tak diinginkan dalam bahtera Arsa dan Lucy.