Tiada Akhir

               “Jika kau ingin pindah aku akan mengabulkannya. Tapi jangan pernah meminta bercerai. Aku mencintaimu reen, aku tak mau kehilangan dirimu.”

               Reena semakin berlinang air mata saat mendengar ucapan suaminya. Ia mempertanyakan ketulusan suaminya. Ia tak tahu Arsa mengatakan cinta hanya karena  anak anak atau sungguh mencintainya.

               “Nda.” suara panggilan Anna disertai ketukan pintu

               Reena menyeka sisa air matanya.

               “Nda, emir ngajak main keluar.”

               Reena  tak mungkin mengijinkan anak anaknya keluar. Lucy baru kembali dari Bali, Ia pasti membawakan oleh oleh untuk anak anak Dayu.  Anna dan Emir pasti akan bertanya  padanya kenapa Bu Lucy hanya menyukai Vito dan Jody.

               “Jangan keluar. Kita ke supermarket. Kau dan adikmu bisa membeli marshmellow sebanyak banyaknya.”

               “Mau.” Emir bersemangat.

               “Cari simbok, minta mandikan.”

               “Iya nda.” Anna menuntun adiknya menjauh dari kamar Bundanya.

               Arsa masih menatap Reena, Ia mengusap pipi istrinya. 

               Reena mengenggam tangan Arsa yang menyentuh pipinya. Tangan ini masih sama perhatiannya seperti dulu. Namun belakangan Reena meragukan ketulusannya.

               Lima tahun bersama Reena mulai tak yakin dengan cinta suaminya. Ia yakin Arsa hanya jatuh kasihan padanya dan butuh Ibu yang mengurus anaknya.

               “Kapan kita akan pindah?” Reena pikir jika tak hidup berdampingan dengan Lucy mungkin ia tak lagi dirambati kegelisahan seperti sekarang.

               “Secepatnya. Aku akan bicarakan dengan lucy dulu.” Arsa tak mungkin mengambil keputusan sendiri. Lucy bisa mengamuk dan menghancurkan barang. Arsa tak ingin Lucy kembali pada kebiasaan lamanya saat emosi meledak. Ia khawatir Anna dan Emir melihat. Ia khawatir anak anak mempertanyakan kelakukan Lucy.

               “Terserah padamu.” Reena tahu pada akhirnya akan bermuara pada Lucy. Semua harus dengan ijin Lucy.

               Reena menghela nafas, percuma Ia bicara pada Arsa. Arsa tak akan mengerti. Ia tak akan paham bahwa Lucy tak akan mungkin mengijinkan. Perempuan itu sepertinya tak pernah tenang jika tak menyiksanya.

               “Reen.”

               Arsa menariknya dari lamunan. 

Reena menyingkir dari hadapan Arsa “Aku mau menyiapkan baju yang akan dipakai pergi anak anak.”

               “Aku akan tunggu di mobil.” Arsa meraih kunci mobil di atas bufet dan mengikuti Reena keluar. Reena pergi ke kamar anaknya dan Arsa ke halaman depan.

               Arsa menyalakan mesin mobil, Ia menunggu sembari menghubungi Lucy. 

               “Ya sayang.” suara Lucy terdengar diseberang.

               “Reen, ingin pindah ke apartemen.”

               “APA? sejak kapan dia jadi seenaknya seperti itu!” Lucy terdengar tak senang.

               Arsa menghela nafas “Dia ingin anak anak belajar bertumbuh di lingkungan baru.” Arsa beralasan.

               “Perempuan itu licik! Dia menjadikan anak anak sebagai alasan. Jelas ia ingin mulai menguasai propertimu. Dia tahu kalau di paviliun dia tak akan dapat apa apa.”

               “LUCY!” Arsa membentak Lucy jengkel. Lucy sejak dulu tak berubah, Ia muak sebenarnya tapi untuk bercerai...

               Terdengar isak Lucy diseberang telphone “Aku tahu pada akhirnya kau akan bersikap aniaya padaku. Kau akan mementingkan istri keduamu daripada aku. Itu kenapa aku selalu terpikir untuk bunuh diri.”

               “Lucy maafkan aku”

               “Aku letih sa.” Lucy memutus sambungan.

               Arsa hanya bisa tercenung. Ini kenapa Ia tak mungkin bisa bercerai, Lucy selalu mengancam akan mengakhiri hidup. Ia khawatir Lucy benar benar akan merealisasikan niatnya. Lucy nekat, kadang istri pertamanya tak menggunakan akal sehat saat sedang emosi.

 

               Lucy melempar ponsel ke ranjang, Ia kesal Arsa membentaknya. 

Reena sepertinya lebih cerdik mengendalikan Arsa. Padahal lima tahun ini Ia sudah berusaha menyiksa istri kedua Arsa. Ia berharap Reena minggat dari rumah karena tak tahan. Namun bukannya minggat atau minta cerai Reena malah meminta pindah ke apartemen. Hal yang tak pernah Lucy perhitungkan.

               Kepindahan Reena akan menjadi bencana bagi Lucy. Reena bisa hidup tenang di apartemen tanpa mendapat siksa darinya. Padahal bukan itu yang Ia harapkan, Ia ingin Reena dan anak anaknya hidup seperti di neraka.

               Lucy mencoba berpikir, apa yang harus dilakukannya untuk menghalangi Arsa mengabulkan permintaan Reena. 

               “Itu dia.” Lucy bergegas melongokkan kepala di pintu “DAYU” Lucy berteriak memanggil pembantunya.

               “Ya bu.” Dayu tergopoh. Bosnya dari dulu hingga sekarang hobinya hanya berteriak. Tak pernah mau repot keluar jika membutuhkan sesuatu.

               “Ambilkan pisau.”

               “Buat apa bu?” Dayu heran. Bukan kebiasaan Lucy meminta pisau. Lucy bukan orang yang rajin menyentuh pisau atau peralatan dapur lainnya. Hidupnya hanya untuk merawat diri dan bersenang-senang.

               “Pakai tanya-tanya! Kamu yang nyonya atau saya?!”  Lucy membentak.

               Dayu yang dibentak mau tak mau menyingkir dan mengambilkan pisau yang diminta.

               “Masuk kamu!” Lucy memerintah.

               Dayu menyeret langkah ke dalam dan memperhatikan nyonyanya yang duduk di tempat tidur. Bertanya tanya apa yang akan nyonyanya lakukan dengan pisau di tangan.

               “Saya sudah cukup bersabar lima tahun di duakan.” Lucy tiba tiba berurai air mata.

               “Iya saya tahu.” Dayu sebenarnya bingung. Lucy memang di duakan, Tapi nyonyanya tetap yang memiliki Arsa. Reena hanya seperti persinggahan menurutnya.

               “Dan kamu tahu yu? setelah lima tahu saya bersabar, perempuan itu masih juga tidak tahu diri. Ia minta tinggal di apartemen. Saya tahu maksudnya, Reena ingin menguasai arsa.” Lucy menempelkan pisau di pergelangan.

               “Saya mau mati saja.” Lucy menarik pisau tepat di atas pergelangan tangannya.

               Darah mengucur, Dayu terbelalak “Ya allah bu.”

               Dayu membekap mulut. Ia berlari keluar mencari ponsel dan menghubungi Arsa karena panik.

 

               Simbok dan anak anak baru saja masuk ke jok belakang. Reena duduk disebelah Arsa yang sudah menunggu di mobil sejak tadi. 

               Arsa membantu mengenakan sabuk pengaman istrinya, ia mencium kening Reena sekilas “Jangan sedih lagi.”

               “Iya.” Reena mengiyakan saja. 

               “Pulang belanja mau kuantar kemana lagi?” Arsa mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan paviliun.

               “Tidak kemana mana lagi. Langsung pulang.”

               “Besok kita berlayar saja.”

               “Tidak perlu.” Reena tahu Arsa berusaha menghibur. Arsa mungkin ingin Ia tak lagi berpikir soal perpisahan. 

               Saat seperti ini, saat Ia melihat kebaikan Arsa, rasanya Ia cukup kuat untuk menjadi penumpang dalam bahtera suaminya. Namun saat sendirian, saat pria itu tengah bersama Lucy dan Ia menerima kiriman foto mesra mereka, perasaannya akan kembali luluh lantak merasa tak berharga.

               Reena seperti dikembalikan pada persimpangan jalan temaram. Tak ada lampu jalan, tak ada Arsa di depan, Hanya ada sekelip cahaya yang membuatnya mempertanyakan, apa di depan jurang atau fatamorgana tak berkesudahan. 

 

               Dering ponsel Arsa memecah lamunannya, Reena yakin itu dari Lucy. Hanya perempuan itu yang rajin menghubungi Arsa dan mengirim WA kepadanya.

               “Dayu ada apa?” suara panik Arsa menolehkan kepala Reena.

               “Saya akan segera kembali.” Arsa memutus sambungan dan memutar balik arah ke paviliun.

               “Ada apa?”

               “Lucy, pergelangan tangannya tersayat pisau.”

               Reena tertegun berpikir. Apa lucy mencoba bunuh diri?

               “Kenapa tangan bu lucy berdarah pah? Kenapa tak panggil dokter? Kenapa telphone papa?” pertanyaan beruntun Anna.

               Reena benar benar sudah berada di ujung jalan. Ini jurang, bukan lagi fatamorgana. Dan disebelahnya, anaknya berdiri terlalu dekat ke tepian. Mungkin mereka semua akan terjatuh. Lebur dalam kehancuran.