Perang Sandal Jepit

"Ayo kita jihad, Allahu Akbar!" teriak Umar semangat.

"Hush! Jangan teriak-teriak begitu, ntar disangka teroris. Ditangkep polisi baru nyaho," kata Wawan.

"Kenapa harus takut? kita harus membela yang benar," balas Umar.

"Enggak harus gitu juga kali, jihad itu gak harus dengan peperangan atau cara kekerasan," ujar Wawan.

"Tuh, kata salah satu seniman kita, simpan golokmu, asah penamu," lanjut Wawan sok bijak.

Padahal ia sendiri lupa, siapa seniman yang berkata seperti itu.

"Emangnya bisa, perang pakai pena?" tanya Umar tak mengerti.

"Aduh, udah ah, ngomong sama kamu capek, susah kalau bukan jiwa seni," ucap Wawan kesal.

Wawan mengangkat sarung dan membetulkan pecinya. Ia melangkah keluar masjid diikuti Umar. Mereka baru saja mengikuti kultum subuh bersama pak kyai pimpinan Pondok Pesantren Al-Iman tempat mereka bersama santri lainnya mondok. Materi tentang peperangan di masa Rasulullah, sangat membekas di kepala Umar.

Dengan cepat mereka berjalan sambil memeluk Alquran yang dibawanya. Umar mencari sandal jepitnya. Ternyata salah satu pasangannya,  yang ditandai tulisan namanya dengan obat nyamuk bakar, tergeletak jauh di tangga bawah.

"Alhamdulillah, gak hilang. Kalau hilang lagi, awas saja. Sudah yang ketujuh kalinya aku beli sandal," sungut Umar sambil mengepalkan tangan.

***

Siang hari itu, semua orang dikejutkan dengan keributan di asrama pondok putra. Kamar nomor lima belas.

Wawan yang sedang asyik murojaah jadi terganggu. Tampak santri yang lain berlari munuju kamar tersebut. Ia pun ikut berlari untuk mengetahui apa yang terjadi.

Para santri berteriak menyoraki dua orang yang sepertinya sedang berkelahi. Wawan mendekat untuk melihat lebih jelas. Ketika menyeruak maju, tiba-tiba ia terjatuh tertimpa seseorang. Ia kaget melihat Umar yang menimpanya, ujung bibirnya biru lebam dan mengeluarkan cairan berwarna merah.

Wawan segera bangkit dan membantu kawannya itu untuk ikut berdiri.

"Umar, kenapa kamu berantem?" tanya Wawan heran.

"Dia," katanya sambil menunjuk anak lain yang sedang berdiri di pojokan dengan nafas memburu. "Rupanya si Fatih yang sering mencuri sandal jepitku," kata Umar geram.

"Maksudmu apa? Kita gak boleh nuduh sembarangan," kata Wawan.

"Ini, ini apa buktinya," kata Umar sambil mengambil sandal jepit biru yang nampak sebagian di kolong lemari.

"Ini sandalku. Lihat ada namaku, tapi sepertinya sudah dikerok pakai pisau," kata Umar sambil mengacungkan sandalnya.

"Aku gak sengaja melihatnya waktu mau pinjam catatan fiqih sama dia," kata Umar menunjuk si terdakwa.

Tak cukup sampai disitu, Umar pun membuka salah satu lemari. Tampak beberapa pasang sandal jepit maupun sandal gunung berhamburan keluar.

"Lihat, ini buktinya. Ternyata selama ini dia yang suka mencuri sandal kita!" Umar hendak maju memukul lagi. Namun, ditahan oleh Wawan.

Santri yang lain, yang menyaksikan mengambil salah satu sandal dan berkata, "Wah, benar. Ini sandalku yang hilang, padahal ini pemberian ibu," katanya sambil diikuti tiga santri lainnya yang ikut mengambil sandal milik masing-masing.

"Ternyata di sini ada pencuri, ayo kita beri pelajaran," sulut salah satu santri.

Mereka pun memukul si pencuri dengan sandal yang dipegangnya.

Si tertuduh tak mau kalah, dengan sigap, ia mengambil sandal yang tersisa di dekatnya, lalu menangkis dan balas memukul. Satu lawan lima orang.

Wawan berusaha melerai. Ia merentangkan tangannya, menghalangi teman-temannya memukul si pencuri sandal. Santri yang lain bukannya bantu melerai, malah ikut melempar sandal dan menyorakinya.

"Sudah, sudah. Jangan main pukul. Nabi saja mengajarkan agar kita tak boleh berlaku kasar ..."

Belum sempat Wawan berbicara panjang lebar, mulutnya sudah terkena lemparan sandal.

"Bubaar, bubaar, ada Ustad Burhan!" teriaj salah seorang santri mengagetkan.

Sontak mereka semua kabur kalang kabut. Ustad Burhan, penanggung jawab asrama putra, terkenal akan kegalakannya. Semua santri takut padanya.

***

Entah siapa yang melaporkan, akhirnya Wawan, Umar, si pencuri sandal, serta empat orang santri lainnya digiring ke ruangan Pak Kyai. Mereka bertujuh diinterogasi secara ketat.

"Siapa yang mulai!" tanya Pak Burhan sambil menggeprak sapu lidi yang dibawanya.

Anak-anak kaget. Akan tetapi, mereka diam. Takut dengan ustadnya.

Umar memberanikan diri. Ia berkata, "Fatih mencuri sandal saya, Tad," katanya sambil tetap menunduk.

Fatih si tertuduh, mulai menangis.

"Eh, kok ditanya malah nangis sih, kamu tuh laki-laki, ayo diam!" hardik Ustad Burhan.

"Peraturan di pondok ini, masih ingat?" tanyanya lagi.

"Ingat, Tad," jawab mereka kompak.

"Dilarang berkelahi, apalagi main hakim sendiri, kalau melanggar tahu akibatnya? Ayo, jawab!"

"Na'am. Dihukum, Ustad," jawab mereka sambil tetap menundukan kepala.

"Tapi Fatih emang yang mencuri sandal, Tad. Fatih, ayo ngaku!" Umar tidak terima.

"Hush, diam!" Kata Ustad Burhan lagi. "Fatih, apa benar itu?"

"Ya, Ustad. Tapi saya tidak sengaja, saya tidak bermaksud mencurinya, tiba-tiba saja," bela Fatih.

"Ah, alasan saja, yang namanya mencuri, ya tetap mencuri!" kata Umar sambil menahan geram.

"Umar!" Ustad Burhan mengingatkan. Matanya melotot ke arah Umar.

"Sudah, jangan ribut lagi," kata Pak Kyai yang sedari tadi diam saja. "Nanti akan dijelaskan, untuk saat ini, mungkin kalian belum paham," lanjutnya.

"Fatih, ayo minta maaf, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, kembalikan semua barang yang sudah kamu curi," kata Pak Kyai.

"Ya, Pak Kyai," jawab Fatih.

Lalu Fatih meminta maaf kepada teman-temannya. Umar tampaknya masih sebal dengan Fatih. Mereka bertujuh akhirnya dihukum membersihkan kamar mandi. Sebenarnya cuma berenam, tapi Wawan merasa kasihan dengan sahabatnya Umar. Ia bermaksud menemaninya.

Setelah itu mereka di suruh kembali ke kamar masing-masing. Wawan yang terakhir keluar ruangan berhenti sesaat. Ia tak sengaja mendengar percakapan Pak Kyai dan Ustad Burhan.

"Hubungi orang tua Fatih. Tampaknya anak ini harus ditangani lebih intens lagi dengan terapi oleh dokter. Penyakitnya belum hilang," kata Pak Kyai.

"Ya, Pak Yai," jawab Ustad Burhan.
"Saya serahkan sepenuhnya kepadamu. Kleptomania ini bisa berbahaya. Jangan sampai menimbulkan kejadian seperti ini lagi di pondok kita," kata Pak Kyai.

"Anni attafaham, saya mengerti," jawab Ustad Burhan.

Wawan kaget mengetahui itu. Klepto? Jadi Fatih itu kleptomania?

***



Komentar

Login untuk melihat komentar!