Hari itu aku sedang pergi ke toko ponsel untuk mengganti ponselku yang retak layarnya. Karena konter yang kutuju sedang tutup, maka kuputuskan untuk mampir ke i-Book, toko resmi produk Apple untuk melihat lihat spesifikasi iPhone.
Sebenarnya aku tak butuh ponsel mewah, merek lokal pun jadi, karena aku tak mengutamakan gaya. Bahkan ketika berjalan ke bank untuk menyimpan uang perusahaan ayah, aku hanya menggunakan setelan rumahan yang mirip piyama dengan sandal bulu-bulu. Orang-orang menatapku sambil tersenyum miring, menertawakanku. mereka tidak tahu bahwa plastik kresek yang kubawa isinya ratusan juta.
Ketika asyik mencoba beberapa tester ponsel, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Tante Mas Rizal yang kemarin mengejekku dengan sikapnya yang menyebalkan.
"Hei, kamu, ada kamu di sini rupanya ...," Sampainya dengan sikap yang dibuat buat.
"Iya, Tante, kebetulan sekali," ucapku sambil mengulurkan tangan. Wanita itu tak segera membalasnya, dia menatap tanganku dengan jijik sambil menelan ludah.
"Kamu dari rumah sakit kan, sebaiknya kita jangan bersentuhan sebab ... Uhm, kamu tahu kan' protokol kesehatan," ujarnya canggung. Dia tidak mementingkan protokol melainkan ingin menunjukkan bahwa aku tak level dengan keluarganya yang hampir semua adalah pengabdi negara.
Mungkin sudah jadi budaya dalam masyarakat kita, ya, ketika seseorang yang berseragam lebih dihargai dibanding dengan yang tidak punya seragam. Tak peduli berapa uang yang mereka hasilkan, tapi 'power' seragam seakan bisa meruntuhkan semua tembok penghalang dan memangkas ego seseorang untuk tunduk pada si pemakai. Seolah ada gengsi dan aura keren tersendiri padahal sebenarnya biasa-biasa saja.
"Oh, ya, kemarin aku lupa nanya, kamu di rumah sakit udah PNS atau belum, soalnya Rizal udah PN juga lho ...."
"Belum, saya bilang saya masih mengabdi Kak," jawabku sambil tersenyum.
"Terus kamu ngapain di i-Book, kamu kerja sampingan ya ...."
Astaghfirullah, mereka menghinaku lagi. "Ya Tuhan berikan aku napas tambahan." Aku menggumam sambil memaksakan senyum.
"Enggak kok, kak. saya di sini buat ..."
"Nyari ponsel second hand, ya? Bilang aja jujur," ujarnya sambil mengulurkan telunjuk ke wajahku dan menyenggol bahu ini. Sakit sekali dan sikapnya sangat menyebalkan.
"Enggak, aku lagi cari barang lain, cuma lihat-lihat dulu," jawabku.
"Di sini mah, mahal. Kamu akan kesulitan membayar, paling yang terbeli di kamu, mentok-mentoknya cuma headset, itupun udah dua jutaan," ujarnya mengejekku. Anaknya yang ikut bersama dua sepupu lain ikut menertawai diri ini.
Andai tak malu pada manager dan petugas kounter, aku ingin sekali memukul wajahnya dengan tester iPad yang didisplay di meja, agar bibirnya pecah dan berdarah, sehingga dia sadar untuk tidak mengejek orang.
"Btw, Tante mau beli apa sih?"
"Nyari iPhone buat anakku, yang delapan jutaan, sesuai dengan kemampuan kami," jawabnya.
"Oh. Kirain mau beli iPhone 13." Aku mengangguk sambil tersenyum sinis.
"Kemahalan itu Mah, daripada beli ponsel mahal mending uangnya ditabung," ujar Tante itu dengan senyum gugupnya.
"Tapi kalau memang uangnya tidak cukup kenapa harus beli ponsel di i-Book, bukankah ada pepatah yang mengatakan bergayalah sesuai kantong. Daripada tidak bisa makan demi beli ponsel lebih, baik membeli barang lokal dengan kualitas yang juga tidak kalah dengan barang luar negeri, kan ya ...."
"Hah, gak apa apa duit saya juga, saya mau nyenengin anak! Kamu sendiri bilang aja mau kerja paruh waktu di sini ...." wanita ketus itu langsung menyeret anak anak itu menjauh dari hadapanku. Ingin kujawab tapi dia sudah duluan menjauh, pindah ke meja display lain dengan wajah tak senang.
Entah ponsel apa yang mereka pilih, tapi kuperhatikan sejak tadi, terlihat wanita itu terus menawar dan minta petugas mengurangi harga.
"Maaf, Bu. Ini sudah harga pas dari store kami," ucap petugas berjilbab itu.
"Aduh, masak sih delapan juta setengah, apa yang lima ratusnya gak bisa dikurangi?"
"Gak bisa."
Wanita itu nampak kecewa dan menggigit bibirnya, dia tersenyum kaku pada pelayan toko sementara ketika berpapasan denganku wanita itu langsung sewot tak terima aku memperhatikannya.
"Apaan sih?" Dia menggumam sambil mendecak.
Wanita itu masih berdiri ne meja kasir dengan wajah galau sementara anaknya terus merengek minta dibelikan ponsel yang dia inginkan. "Mama ... Ayo dong berikan aku sudah lama pengen beli iPhone,, biar terlihat keren kayak teman-temanku."
"Iya iya Mama juga lagi usaha nih, buat nawar barangnya." "Ayo dong Mbak kasir harga Rp.500.000 dihilangkan saja biar saya langsung bayar iphone-nya 8 juta."
"Duh, Bu. Meski modelnya bukan keluaran terbaru tetap saja itu adalah iPhone ... saya minta maaf Bu."
Wanita itu nampak kecewa dan tidak tahu harus bagaimana, kurasa dia tidak punya uang lagi. Aku yang melihat Itu adalah sebuah kesempatan untuk memukul telak kesombongannya segera mengambil sebuah ponsel iPhone 11 dan membawanya ke depan kasir untuk melakukan pembayaran.
"Ini, bungkusin untuk saya," ucapku menyela antrian Karena Wanita itu terus berdiri di depan kasir tanpa menyelesaikan pembayaran.
"Maaf Tante aku mau lewat!"
"Lewat aja!" ujarnya masam, anaknya yang melihat ponsel yang kubeli langsung terkejut dan membulatkan mata.
"13 juta lima ratus lima puluh, Mbak," jawab kasirnya.
"Ini saya bayar pake kartu debit ya," ujarku.
"Boleh, Mbak." Kusodorkan kartu platinum milikku, sengaja kuperlihatkannya kepada 4 orang sombong yang sudah mengejekku tadi. Tentu saja mereka semua membulatkan mata melihat kartu platinum yang kupegang. Mereka tahu persis seseorang yang punya kartu platinum, pasti punya limit tabungan yang banyak. Keterlaluan jika sampai tidak mengetahui itu.
Setelah melakukan pembayaran dan mendapatkan ponsel yang kuinginkan aku langsung pulang sambil melambai kecil kepada mereka berempat.
"Oh, ya, Tante. Aku kesini datang untuk mengganti ponselku yang lama, bukan untuk bekerja paruh waktu. Tolong sampaikan salamku kepada calon mertuaku, katakan padanya bahwa sekali lagi aku ingin berjumpa agar kita punya kesan yang indah sebagai orang yang akan menyambungkan tali keluarga," kataku sambil tertawa dan pergi dari hadapan mereka semua.
Aku tidak tahu akan seperti apa responnya dan kehebohan yang terjadi tapi setidaknya aku sudah memberikan mereka pelajaran untuk tidak terus-menerus bersikap sombong dan memandang rendah kepada orang lain.