kena mental

Tolong dukung ceritanya ya Moms/Dads ❤️


Sebenarnya hatiku dongkol bukan kepalang, bagaimana tidak, hampir dua jam aku di rumah itu, dikelilingi oleh anggota keluarga yang silih berganti datang dan bolak balik bertanya, mereka bahkan tidak menyuguhkan segelas air pun. Mungkin karena aku terlihat miskin jadi tidak dihargai.

Berkali kali Mas Rizal memberi kode pada ibunya bahwa aku lelah, haus, sudah waktunya makan malam, tapi mereka terus menunda seakan sengaja melakukannya untuk membuatku jera.

"Nantilah Rizal, kita belum puas berbincang dengan calonmu."

"Tapi, ini sudah malam, Oma, kita lapar ...."

"Masak lapar, masih sore lho ini, kamu lapar gak?" tanya ibunya padaku. Sungguh tipikal manusia kurang adab dan tak punya pengalaman bergaul. Masak tamunya ditanya sudah lapar atau belum, sungguh luar biasa.

"Oh, ya, kamu sudah pegawai negeri atau magang?"

"Honorer Bu, saya baru kerja dua tahun, saya masih pemula," jawabku.

"Berarti kamu juniornya Rizal," ujar mereka.

"Ya, benar, saya juniornya."

"Apa sih yang bikin kamu suka Rizal, kami ini miskin lho Nak."

"Saya gak cari orang dari hartanya, saya cari dari akhlak dan sikapnya," balasku.

"Tapi, kalo kami ingin memperbaiki kualitas keturunan dan keluarga. Kalo gak kaya sih, minimal cantiklah ...," jawab ibunya ambil menatap wajahku.

"Iya, juga, gue kusam hari ini," gumamku.

Aku bisa melihat pantulan diri ini di cermin yang digantung di ruang tamu mereka, aku terlihat biasa saja tanpa pulasan make up dan pemerah bibir.  Mungkin mereka mengira aku tak bisa memulas bedak, padahal kalau berdandan diri dan menatap rambut diriku ini  juga spek Dewa.

Hahaha.

"Kamu punya tabungan tidak," jawab mereka.

"Ya."

"Berapa digit."

"Sedikit sekali, sih, cuman satu digit, Tante,"  jawabku.
" ... dengan sembilan nol di belakangnya ..." Tapi aku menggumam itu dalam hati.

"Oh, lumayan untuk ukuran pekerja honorer," sindirnya dengan wajah semakin masam, semalam jeruk purut yang masih muda.
"Biasanya pekerja honor yang masih mengontrak  rumah tidak akan cukup gajinya untuk kebutuhan sehari-hari, kadang mereka nombok dan banyak hutang," ujar sang Oma sambil berdecut tak suka dengan bibirnya.

"Saya gak punya utang kok, Oma, Alhamdulillah, saya bisa menekan pengeluaran," jawabku dengan hati yang mulai dongkol dan lelah.

Anda tidak kasihan pada pria yang telah  berbulan-bulan mengejarku dengan segala usaha dan ketulusannya, aku tentu akan angkat kaki dari rumah ini di lima  menit pertama. Gerah dan sakit hati disindir terus menerus, seakan aku wanita tak tahu diri yang kegagalan mengejar putra mereka.

"Btw, sejak kapan kalian jadian?"  tanya si Tante yang bertubuh tambun, nampak 'kekepoannya' juga sama dengan yang lain.

"Dua bulan lalu."

"Oh wow, secepat itu memutuskan menikah?"

"Sebenarnya Mas Rizal sudah mengejar saya sejak 2 tahun yang lalu, sayang, saya menolaknya," jawabku dengan senyum simpul.

"Ditolak, hahaha, gak mungkin! apa gak kebalik nih?" Mungkin karena merasa anak lelaki mereka terlalu tampan ... jadi mereka para wanita rumah ini  merasa kalau akulah yang bucin--budak cinta-- 

"Gak kebalik, kok, aku memang ngejar dia. Aku suka karena dia sederhana, gak banyak tingkah dan bersahaja." Mas Rizal menimpal pembicaraan demi membela diriku.

"Mam, ini udah jam delapan malam," ujar Mas Rizal sekali lagi.

"Duh, maaf ya, setelah diperiksa ternyata kami kehabisan stok makanan dan beras." 

"Masak sih?" Sang Oma melirik dengan wajah syok, lebih tepatnya pura-pura syok dan seakan tidak ingin menawarkan diri ini makan.

"Tidak apa apa, saya akan pulang saja sekarang," ucapku sambil menatap wajah Mas Rizal, ada roman kekecewaan di matanya, rasa kecewa pada keluarganya yang telah mempermalukan Mas Rizal di hadapanku 

"Kalau begitu, ayo saya antar, sekalian kita makan di warung nanti," ucap Mas Rizal.

"Eh, gak usah, kalian harus berhemat dan lebih sering mengencangkan ikat pinggang. Katanya kalian mau nikah?" ucap sang Tante sambil mempermainkan alisnya ke saudaranya, ibunya calon suamiku.

Aku muak berada di sana, jadi, segera kuambil tas dan berdiri,
"Maaf saya mau pergi," ucapku sambil tersenyum tipis.

"Kemana? Cepat sekali, maafkan  pelayanan kami ya ...."
Aku tahu dari kata-kata itu tidaklah terlontar dengan tulus dan jujur dari hati.

"Saya harus pergi ke toko untuk membeli sekarung beras dan sembako, lalu menyumbangkan itu kepada kalian semua, Tante-Tante. Aku prihatin, bahwa meski rumah kalian bagus, hunian permanen, penampilan kalian juga bergaya, kalian sama sekali tidak punya makanan bahkan air minum biasa," jawabku dengan wajah serius. Mereka terkejut saling melirik dan terlihat mulai gelisah.

"Eh, ka-kami memang belum belanja," ujar sang Oma membela diri.  Padahal dengan ekor mata, aku sudah melirik meja makan di ruang tengah sudah di tata dengan makanan, ketika aku masuk pertama kali dalam rumah ini.

 Dasar pelit dan munafik!

"Karenanya, kalau kurang uang belanja bilang saja, aku akan membantu kalian. Oh ya, aku punya recehan, kalian bisa membaginya," ucapnya sambil melempar tumpukan uang biru dan hijau ke atas meja. Lembaran uang berjumlah satu juta itu berceceran  di atas permukaan kaca meja.

Keluarga itu terbelalak, nampak tersinggung dan ingin marah, tapi tidak bisa mengatakan apa-apa. Mereka sudah membuka mulut hendak berteriak tapi entah apa yang menahan sampai diurungkannya.

Aku?
Melangkah pergi sambil tersenyum sinis dan meninggalkan rumah itu dengan sedikit kesombonganku. 

Hahahah