"Kamu di mana Dik?" tanya Mas Rizal malam harinya via panggilan telpon.
"Di rumah," jawabku.
"Aku ingin bertemu denganmu, rindu," ungkapnya malu malu dari seberang sana.
"Lho, bukannya ketemu tiap hari, Mas?"
"Iya, tapi masih rindu."
"Hahah, ada ada saja."
"Aku bukan tipe pria romantis yang pandai mengucapkan kata-kata dan memvisualisasikan romantisme dalam perbuatan. Aku hanya jadi pria yang tumbuh apa adanya dan mengatakan apa yang kurasakan seperti apa adanya," ujarnya.
"Seperti itu saja aku sudah bersyukur, aku berterima kasih atas perasaan yang kau berikan, Mas."
"Aku tidak pernah mengharapkan apapun ketika mencintaimu. Terlepas dari seperti apa penilaian dan pertanyaan keluargaku ... apapun itu ... bagiku tidak penting. Yang penting adalah kau bersamaku dan kita habiskan waktu bersama untuk selamanya."
"Aku terkesan Mas tapi biarkan aku berpikir dulu."
"Aku tidak mau sikap keluargaku meruntuhkan keyakinanmu terhadapku, kita akan menikah dan tinggal berdua saja, tidak dengan mereka, jadi kuharap kau tidak terpengaruh," bujuknya dengan memelas.
"Biar aku berpikir dulu, Mas. Ketika kita menikah maka aku harus membaur dengan keluargamu, bukan sehari atau dua hari, tapi selamanya, sampai mati."
"Aku akan meminta mereka untuk memperbaiki sikapnya dan menghargai pilihanku. Jika mereka menentang ku maka akan ku tinggalkan rumah dan kehidupan itu."
"Jangan gegabah Mas, keluarga tetap yang utama."
"Aku memang tipe family man yang sangat akrab dengan keluarga ... tapi aku tidak akan menghabiskan masa depan pernikahan dengan mereka, jadi aku pun harus mempertahankan wanita yang kuinginkan."
"Aku percaya padamu."
"Terima kasih. Oh ya, apa siang tadi kau berpapasan dengan Tanteku di toko ponsel?"
"Ya."
"Selamat atas ponsel barumu, semoga kau berbahagia dengan itu."
"Apa keluargamu memberitahumu?"
"Ya, aku bersyukur kau bisa membeli apa yang kau inginkan. Tapi sebagai calon orang yang akan menjagamu Aku ingin kau berhati-hati dengan uangmu," ucapnya dengan nada pelan.
"Iya aku akan mengingatnya Mas."
"Terima kasih dan maaf jika hal itu menyinggung kamu," jawabnya sambil mengucapkan selamat malam dan mengakhiri panggilan.
*
Keesokan hari sekitar pukul 6 pagi sebelum berangkat kerja, aku putuskan untuk mampir ke rumah. Dengan cepat kususuri pintu utama dan naik ke lantai dua, di mana kamar adikku berada.
Kutemui dia yang sedang tertidur pulas dengan selimut berantakan.
"Hei, bangun, tidak ke kamu akan pergi kuliah dan menata masa depanmu?" Pemuda yang kubangunkan segera menggeliat dan mengucek matanya. Dia terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba berdiri di depannya.
"Kakak ... Ngapain di sini?"
"Hei, tidakkah pertanyaanmu konyol? kau bertanya padahal ini juga rumahku!"
"Kenapa pagi pagi sudah marah?" tanyanya menggerutu.
"Aku ingin kau lebih serius untuk kuliah dan menata masa depanmu kamu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, boleh jadi kau tidak akan mendapatkan kenyamanan lagi, maka hidupmu akan berantakan dan hancur jika kau tidak punya skill apa-apa!"
"Kakak jangan datang kemari untuk marah dan menggurui kepada kakak sendiri keluar untuk mencari kehidupan yang lebih bahagia dari tempat ini," balasnya sambil melengos.
"Aku di luar untuk berusaha mandiri dan tidak selalu tergantung uang orang tua kita. Aku juga ingin berusaha dan membuktikan hasil kerja kerasku. Mengapa setelah sekian lama kita tidak bersama, kau berubah menjadi pemberontak dan melawan kakakmu sendiri?"
"Kupikir tidak ada yang memperhatikanku jadi akan kujalani hidupku sesukaku," jawabnya sambil merebahkan diri.
"Ayo bangun, Dik, bangun!" Aku menarik selimutnya dan menarik tubuhnya bangkit.
"Kakak mau apa sih!" Anak itu berteriak lantang.
Aku jak habis pikir adikku yang dulunya manis dan kini melawan, umurnya nyaris 20 tahun, dia bertubuh tinggi dan tampan, sayangnya dia bergaul dengan teman-teman yang salah, yang kemudian membentuk karakternya menjadi keras kepala.
"Baiklah jika kau memberontak padaku maka aku punya wewenang untuk mematikan semua hak dan aliran uang padamu!"
"Jangan mengancamku padahal kakak tidak mengurusi ku!"
"Aku mengurusimu di samping tugasku sebagai pelayan masyarakat juga tidak bisa kutinggalkan. Jika kau tidak serius berkuliah dan mempelajari manajemen perusahaan, maka aku akan membuat hidupmu sulit!"
"Jangan berbuat seenaknya meski kakak punya hak atas perusahaan!"
"Bangun dan belajarlah, jadilah pewaris atau direktur baru kau akan kulepaskan," jawabku sambil menjauh. Kulirik kamarnya yang lebih mirip kandang babi dibanding kamar seorang pemuda kaya.
"Bereskan kamarmu, jangan selalu merepotkan pembantu!"
"Argggg ..." Dia mengerang sementara aku langsung berangkat kerja meninggalkannya.
***
Di sela sela jam kerja, Mas Rizal datang dan menyapaku, dia seperti biasa meletakkan secangkir kopi lalu menyapaku.
Dia memberi tahu bahwa keluarganya ingin berjumpa lagi denganku, dengan harapan bisa memperbaiki pertemuan awal yang rusak.
"Keluargaku ingin bertemu lagi denganmu," ucapnya.
"Mengapa?"
Konon sudah jadi kebiasaan keluarganya untuk menguji mental seorang menantu, dengan cara membullynya demikian. Jika setelah diuji wanita itu bisa bertahan berhubungan, maka mereka akan dinikahkan.
"Oh, sungguhkah?" Aku mengangguk ragu dengan pertanyaan yang masih menggantung di udara.
"Iya, begitu."
"Janggal sekali ...."
Semuanya terdengar seperti omong kosong bagiku, meski mereka mengatakan begitu, kenyataannya keluarga Mas Rizal memang tidak menghargaiku dari awal, mereka memandangku remeh dan menghinakan diri ini karena penampilan yang kere.
"Kapan?"
"Malam Minggu," jawab Mas Rizal berbinar, dia nampak bahagia karena aku tak menolaknya. Sebenarnya aku lebih ingin memberi pembalasan dibanding hanya ingin makan malam.
" Baiklah, Mas, katakan aku harus pakai baju seperti apa, agar nanti tidak salah kostum," ujarku tersenyum.
"Tidak usah repot, aku akan membelikannya untukmu, yang penting kau berkenan datang."
"Tidak, aku harus menyesuaikan gaya dengan iphone-ku," jawabku sambil tertawa.
"Jangan menggodaku," ujarnya mengibaskan tangan di udara.
*
Malam minggunya,
Hari itu aku pergi ke pertemuan keluarganya, kali ini penyambutan mereka berbeda. Mereka yang tadinya cemberut dan tidak bersahabat sama sekali, kini tersenyum dan menyalami. Aku tahu mereka tidak tulus tapi modus, aku akan mengimbanginya.
Begitu banyak makanan yang terhidang di meja, mungkin mereka pikir aku akan gembira tapi nyatanya aku sama sekali tidak terkesan.
"Banyak sekali makanannya," ucapku memperhatikan berbagai jenis gulai, tumis, opor, dan makanan berbumbu. Ada kue kue dan minuman juga.
"Terima kasih kami menyiapkan khusus untukmu," jawab Oma.
"Tapi, maaf Oma, tidak satupun dari makanan itu yang merupakan selera saya." Seketika saja mereka terdiam dan saling pandang saja.