"Dik, maaf ya, keluargaku sungguh di luar ekspektasiku," ucap Mas Rizal menyusul diri ini yang keluar dari gerbang rumahnya.
"Tidak apa, Mas, saya maklum."
"Sungguh, ya, keluargaku sangat memalukan," gumamnya sedih.
"Wajar, Mas, saya terlihat miskin dan tidak mengesankan sama sekali, pun wajah saya sama sekali tidak cantik, pakaian saya lusuh, jadi mereka tidak tertarik."
"Aku akan mengutarakan betapa sedih dan kecewa nya aku atas penilaian mereka yang hanya melihat luarnya saja. Mereka tidak tahu betapa kagumnya aku padamu yang pandai menjaga diri dan menempatkan posisi. Kau tidak genit dan sopan, aku menyukaimu," ucapnya sambil meraih jemariku.
"Lupakan saja, Mas, aku akan pulang," ujarku sambil mengentikan ojek yang kebetulan lewat.
"Mau tidak mau aku antarkan?" tanyanya dengan wajah putus asa dan sedih.
"Sebaiknya Mas Masuk ke dalam dan temui keluarga, mungkin ... Mereka butuh penjelasan atas nama wanita yang kau bawa," jawabku sambil menyunggingkan senyum tulus.
"Aku yakin keluargaku tercengang dengan aksiku barusan. Kupikir mereka akan langsung memblack-list diri ini dari daftar calon mantu," ujarku sambil melambaikan tanganku lalu naik ke atas ojek.
Masih kulihat dia berdiri ketika motor yang aku tumpangi berjalan dia memperhatikanku dengan wajah yang sedikit khawatir dan merasa bersalah. Jujur aku tidak menyalahkannya atas sikap arogansi dan materialistis keluarganya, dia hanya anak laki-laki yang dituntut untuk mencari kandidat calon menantu terbaik, keluarganya yang memutuskan akan mendukung atau tidak. Tapi tetap saja ... puncak dari semua harapan dan keinginan tetap jatuh di tangan Mas Rizal.
Sesampainya di kamar kost, kunyalakan ponselku dan memeriksa beberapa pesan. Ada pesan dari Bibi yang menunggui rumah juga pesan dari asisten kepercayaan Almarhum papa.
(Non, Kenapa tidak memutuskan untuk diam dirumah saja daripada tempat ini menjelma menjadi kuburan yang sepi dan tidak berpenghuni?)
(Tempat itu terlalu jauh dari lokasi kerja, aku juga tak suka lingkungannya terlampau mewah untuk gaya hidupku yang sederhana, aku tidak terbiasa dengan cara mendiang Papa dan Mama.)
(Tapi Non punya Adik yang butuh perhatian dan kenakalan yang benar-benar perlu di peringatkan.) Segera asisten rumah tangga menjawab sesaat setelah aku membalas.
(Selagi dia berprestasi dan tetap mengerjakan tugas kuliah aku tidak akan mengganggu hidupnya. Kubiarkan dia bebas selagi dalam koridor yang ada.)
(Tapi Non, kemarin saya lihat, dia membawa temannya yang urak urakan ke rumah, mereka berpesta pesta dan minum minuman sampai teman adik Non teler, di dekat kolam belakang.) Jawaban dari si Bibi membuatku kaget, aku tidak menyerah kalau Faisal adikku akan memilih teman seperti yang diceritakan asisten rumah tangga kami.
(Apakah Adik saya ikut minum?)
(Minum non, tapi gak banyak. Saya takut lama kelamaan teman-temannya akan mempengaruhi dia ke perbuatan yang lebih ekstrim dari ini. Adik Non butuh perhatian dan tentu saja Non berkewajiban untuk bertanggung jawab dan menjaganya."
(Baiklah saya akan menemuinya,) balasku sambil mengakhiri pesan.
(Mohon maaf sebelumnya, jujur, saya sebagai asisten yang sudah mengabdi lama dan sudah menganggap Non dan adik seperti anak sendiri, saya miris melihat semua ini. Saya tidak mau adik non yang manja dan terbiasa dengan segala fasilitas nantinya tidak bisa bertahan hidup jika suatu saat dia kehilangan kenyamanan. Hidupnya akan hancur dan dia akan berubah menjadi kriminal jika tidak diarahkan," ucap si Bibi.
(Saya akan bicara dan menegaskan.)
(Sungguh ya, Non. Saya juga sebagai asisten rumah tangga belakangan tidak mampu mencegah pengeluaran Den Faisal yang semakin membengkak. Saya sudah beritahu bahwa setiap kartu kreditnya punya lini tapi dia terus berbelanja sepatu mahal dan jersey mewah, juga spare part motor dari luar negeri.)
(Terima kasih atas informasinya saya akan bicara pada dia nanti)
(Oh ya, Non, beberapa mobil mewah dipakai dan Den Faisal membiarkan teman-temannya untuk meminjam mobil tersebut.)
(Apa? Kenapa Bibik membiarkannya, itu adalah mobil mahal koleksi kesayangan Papa yang tidak bisa diganggu sembarangan.) Seketika saja ada perasaan membuncah yang menjalar di dadaku atas perbuatan adikku yang semau-maunya.
(Oleh, karena itu pulanglah ke rumah dan kembalilah menjadi Gadis kaya yang mengurusi warisan dan perusahaan orang tuanya. Cukup petualangan mencari jati diri dan makna kehidupan, Non. Non sudah lama tidak pulang ke rumah....)
(Sebenarnya saya ingin pulang tapi ada beberapa hal yang saya tunggu saya sedang dekat dengan seseorang dan ingin melihat sejauh apa dia menyukai saya dan berjuang untuk saya.)
(Apakah dia tahu non adalah anak orang kaya? Jangan sampai pria itu hanya mengincar harta)
(Sebenarnya dia tidak tahu, Dia pria yang baik dan berjuang keras untuk mendekatiku. Tapi ada hal yang sedikit mengganggu ...)
(Keluarganya.)
(Kalau begitu bungkam saja dengan uang, mudahkan?)
(Aku ingin memberikan mereka sedikit tamparan dan makna kehidupan, hahaha.)
(Kalau begitu jadikan status dan apa yang non miliki sebagai kejutan. Jika mereka berbuat jahat ... maka kita akan balik memberikan mereka pukulan telak yang akan membuat mereka bersujud di kakinya Non untuk selama-lamanya.)
(Haahah, aku juga berencana menertawakan kesombongan mereka.)
(Bisa kubayangkan betapa pucatnya mereka yang telah meremehkan Non sebagai gembel tiba-tiba datang dengan mobil Lamborghini. Ouh, menarik sekali....)
(Hahaha, aku juga tertarik mencoba.) Jawabku mengakhiri perbincangan.
Setelah selesai berbicara dengan Bibi yang sudah belasan tahun menjadi pengasuh dan asisten rumah tangga dalam keluargaku. Aku membuka kotak email yang dikirimkan oleh manajer perusahaan papa.
(Nona, akan ada rapat dan pemeriksaan laporan keuangan, apakah anda akan datang?)
(Apa keharusan untuk ku datang?)
(Tentu saja Anda adalah owner perusahaan Jadi anda harus tahu berapa pemasukan dan pengeluaran. Tolong datanglah karena kami juga memerlukan tanda tangan.)
(Baiklah.)
Sekali lagi kumatikan ponsel dengan senyum lebar. Aku jatuhkan diriku di tempat tidur sambil terus membayangkan betapa bersenang-senang ya aku melihat keluarga Mas Rizal yang suatu hari tercengang dengan apa yang kumiliki. Bukannya ingin sombong, tapi aku ingin memberi tamparan kepada orang yang sering menilai orang dari luarnya saja.
Boleh jadi orang yang kau hina level dan kualitas hidupnya lebih tinggi ratusan persen dari hidupmu.