mereka cemberut

Terang saja mereka  cemberut mendengar ucapan yang  kukatakan bahwa aku sangat tidak berselera dengan hidangan yang mereka siapkan. Jangan hanya keluarga itu saja yang bisa sok gaya merendahkan orang lain tapi dirinya sendiri tidak pernah disadarkan.

"Aku akan membuat mereka sadar dan tidak lagi menilai seseorang dari materi dan uang saja."

"A-apakah makanan ini benar benar tidak menggugah seleramu?"

"Iya, sayangnya begitu," jawabku dengan senyum kecut.

"Mengapa bisa begitu?"

"Aku tidak terlalu menyukai gorengan, minyak dan santan, semua itu kolesterol dan lemak yang akan mempengaruhi kesehatan."

"Ya sudah, kalau kamu memang tidak suka, kami juga tidak memaksamu untuk menyantapnya. Setidaknya hargai bahwa kami berusaha," sela seorang wanita yang mungkin juga anak dari Omanya Mas Rizal.

"Maaf, aku menghargainya ... tapi aku lebih suka bersikap jujur."

"Jujur dengan kekurang-ajaran, sungguh tidak terlihat elok ...." Uhm, mungkin wajar dia sewot karena dia sama sekali tidak mengetahui sikap dan perilaku keluarganya pada perjumpaan pertama. Aku jadi ingin menyadarkannya.

"Mari ibaratkan makanan yang sebagian belum saya cicipi  ini dengan kesan perjumpaan pertama, terlihat tidak enak dan tidak menarik padahal kita sendiri belum mencoba. Mungkin benar aku menilai hanya dari tampilan saja, jadi seseorang harus menyadarkanku bahwa yang kuduga belum berarti itulah fakta, aku yakin seseorang telah melihat semua ini dengan sepenuh hati jadi ketika tidak dihargai tentu sangat mengecewakan."

Anggota keluarganya yang hadir di saat pertama kali aku datang, nampak tidak enak hati dan sedikit malu padaku, terbukti mereka menunduk dan saling pandang.

"Ngomong apa kamu, aku gak paham," ujar wanita yang mengkritikku tadi.

"Intinya begini kan? Jangan menghakimi konten buku hanya karena melihat sampulnya  yang kurang menarik ...."

"Benar, lalu apa kaitannya denganmu?"

"Mungkin aku terlihat tidak menarik, mungkin diantara kita tidak ada yang bisa memberikan kesan satu sama lain, tapi bukan berarti kita seburuk itu, bukan berarti kita tidak bisa menjalin hubungan baik dan menunjukkan versi terbaik dari diri kita masing-masing? betul?"

"Betul, aku rasa kau benar," jawab sepupu Mas Rizal yang nampak setuju dengan ungkapanku.

"Ah, situasinya jadi canggung begini, bukannya, seharusnya kita sudah makan 'kan ya?" tanya Mas Rizal yang terlihat ingin mencairkan suasana.

"Iya betul, mari makan," ujar Oma sambil memberi isyarat pada anggota keluarga Mas Rizal, dia terlihat tak nyaman tapi tetap tersenyum dan bersikap tenang. Kuperhatikan dalam keluarganya, wanita lebih banyak dan mendominasi, kupikir jika aku jadi menantu maka cadangan kesabaranku harusnya sudah kutimbun dari jauh-jauh hari.

"Boleh tahu, sejak kapan kau bekerja?"

"Dua tahun setengah."

"Kudengar kau berpapasan dengan Tante Rita di konter i-Book," ujar sepupu Mas Rizal yang nampak tak senang denganku.

"Ya, lalu kenapa?"

"Tidak ada, aku hanya heran sekaligus takjub, kau nampak sangat mampu bergaya dengan iPhone sebelasmu," jawabnya menyindir.

"Aku membeli sesuai kebutuhan dan kemampuan," gumamku sambil menyendokkan makanan ke mulut.

"Wow, berarti kau punya cukup banyak simpanan. Kami semua tahu berapa banyak gaji perawat honorer, belum lagi biaya hidup dan makan. Dibanding memaksakan diri, banyak kok, ponsel yang lebih murah, kenapa harus iPhone?"

Kupikir wanita muda itu  bersebrangan prinsip denganku, atau mungkin, dia iri dengan apa yang kumiliki.

"Alasan pertama karena aku memang menginginkannya.  Di samping itu, aku  beli iPhone karena  seseorang menilai kedatanganku ke Apple store hanya untuk menjadi pekerja paruh waktu. Jadi, kubungkam kesombongan penilaiannya atas penampilanku dengan kemampuan," jawabku sambil menyeringai dan makan, Tante Rita yang kusindir nampak sangat tersinggung. Mungkin wajar tersinggung, karena sejak pertemuan pertama dialah yang paling banyak membuatku terluka.

"Oh, jadi kau menunjukkan gengsi?"

"Ya, karena tidak sepantasnya seseorang merendahkan orang lain. Boleh jadi orang yang kalian pandang remeh itu level hidup dan standar dirinya  lebih tinggi dari orang yang merendahkan."

Brak!

Ibu Mas Rizal menggebrak sendok di atas meja dan dia nampak sangat tersinggung dan menahan amarahnya. Ditatapnya diri ini dengan tatapan tajam, lalu dia berkata,

"Kami mungkin sudah melakukan kesalahan, tapi kami berusaha memperbaikinya. Kami tidak berharap akan mendapatkan calon menantu yang arogan dan sombong, Jadi mungkin hubungan kita tidak akan berhasil," tutupnya sambil mendengkuskan napas.


"Ah, Mama, jangan terlalu cepat menilai begitu, ini mungkin hanya miskomunikasi."

"Ini jelas perbedaaan prinsip."

"Kesan dari awalnya memang sudah tidak baik," balasku sambil meletakkan serbet ke atas piring dengan kesal lantas  bangun dan pamit mohon diri.

"Saya pamit dulu."

"Lho, mau kemana?" Mas Rizal yang nampak sangat kecewa dan sedih, seakan ingin menahan kepergianku. Dia jadi serba salah antara membela keluarga atau ikut denganku ke luar.

"Tidak apa apa, saya memang tidak pantas ada  di sini. Jaga dirimu Mas," jawabku sambil menepuk bahunya dengan lembut.

"Tu-tunggu Naura ..." Mas Rizal menyusulku ke luar rumah. Keluarganya nampak tidak mencegah atau menyuruhnya menyusul. Aku bisa melihat pantulan wajah  mereka dari balik jendela kaca,  mereka masih duduk di meja makan dan terdiam.

"Ada apa lagi, Mas?"

"Seharusnya tidak begini, Sayang ...."


"Jaga dirimu, jika kita berjodoh maka kita akan bersama. Aku harap aku dan keluargamu saling memperbaiki diri masing-masing, sehingga jika kami bertemu lagi maka tidak akan ada miskomunikasi," balasku sambil menggenggam tangannya dan melangkah pergi. 

Berat memang, tapi, jika aku tidak mundur sekarang maka diri ini seorang menjerumuskan diri sendiri dan menyia-nyiakan hidup. Mereka sudah menganggapku kere dan tidak menutup kemungkinan akan terus dianggap seperti itu selamanya.

 




"