kenal calon suami


Ketika status, harta dan nama menjadi tolok ukur penghormatan orang lain pada dirimu.

**

Tak banyak yang keluarga Mas Rizal ketahui tentangku, kesannya aku hanya perawat biasa   yang baru beberapa tahun bekerja dan yatim piatu.

Kukenal suamiku di lingkungan kerja  yang sama, aku yang sederhana dan tidak neko-neko entah kenapa selalu dikejar oleh Mas Rizal. Ada saja cara dia untuk mengambil hati dan membuatku dekat dengannya. Meski sudah kutolak dengan berbagai cara dia pun tak kalah gigih memperjuangkanku dengan segala cara.

"Maukah kamu ikut dengan saya malam Minggu ini, ada film terbaru yang akan tayang cinemax," tawarnya sembari menyebut nama bioskop ternama.

"Maaf, saya ada piket," jawabku sambil mendorong meja yang berisi alat infus, alkohol dan kain kasa. Aku acuh tak acuh dan sama sekali tidak tertarik padanya.
Dia menggeleng pelan, kendati sudah kutegaskan dia tetap mengejarku.

"Tadi ... saya sudah periksa board piket, tidak ada nama kamu di Sabtu besok. Jadi, tolong beri saya kesempatan," ucapnya meyakinkan.

Mungkin bukan cinta yang membuatku luluh, tapi rasa iba dan tidak enak padanya yang telah berulang ulang minta kesempatan jalan denganku. Memang dia tidak terlalu jelek, tapi tidak pula terlalu tampan, namun senyumnya seperti memberikan vibes positif,  tubuhnya proporsional dan rambut  rapi yang membuatnya sedap dipandang.

"Ya, baiklah." Setengah hati kujawab iya, padahal aku lebih nyaman tidur di kamar kost, mendinginkan temperatur AC lalu mendengarkan lagu yang menghentak semangat atau menonton film cinta yang realisasinya di dunia nyata sangat berbeda.

*
Beberapa bulan kami dekat, tapi masih sebagai teman. Suatu malam, kami duduk di depan bioskop usai menonton film Habibie dan Ainun,  sisa popcorn masih kupegang di tangan dan masih kucemil satu per satu. Tiba tiba dia datang, alasannya pergi membeli minuman tapi tak segelaspun terlihat ketika dia datang. Aku mengernyit sedang dia mengulurkan sebentuk cincin dengan model sederhana lalu berkata,

"Jadilah Ainun untukku, wanita yang akan membersamai diriku dalam suka dan duka, dari sekarang hingga hari beranjak senja," ujarnya sambil berlutut, setengah mengharap dan tatapannya lekat penuh harapan.

Tak seperti wanita lain yang meremang dalam rasa haru dan kebahagiaan, atau deg degan dengan pipi merona bak tomat rebus, aku malah tertawa, ngakak malahan, kutepis tangannya, dan menggeleng, "tidak bisa."

"Mengapa?" Dia segera mencecarku, cincin di tangannya masih di posisi semula, terarah padaku.

"Aku hanya perawat biasa, yatim piatu, hanya punya diriku dan bayanganku. Tidak ada harta, jangankan pergi kerja dengan mobil, sepeda pun tidak punya," jawabku tergelak.

"Aku tak butuh harta, kucintai dirimu karena kesederhanaan yang kau miliki," jawabnya cepat.

Benar juga, jangankan berdandan, bergaya bak gadis gadis muda jaman sekarang yang selalu modis dan ikut trend saja tidak, bahkan pulasan make up saja jarang kuaplikasikan. Mengapa pria itu menyukaiku.

"Nanti saja, biar kupikirkan," jawabku mengibas tangan ke udara. 

Seminggu kemudian, pria penuh perhatian itu kembali mendatangi meja kerjaku. Diri ini yang sedang mengisi buku data pasien dikejutkan oleh dirinya yang selalu meletakkan kopi panas. Aku tak pernah memintanya tapi dia melakukan itu sebagai rutinitas.

"Ini kopinya, dengan creamer ekstra," ucapnya datar.

"Tumben senyummu hilang," godaku mengulum tawa.

"Aku menunggu jawaban," jawabnya setengah merajuk.

"Usahamu belum begitu keras," balasku lagi.

"Masalahnya, aku tak pandai merayu wanita, bersikap sok romantis dengan ribuan hadiah indah. Aku orang yang apa adanya, dan ingin istri yang apa adanya," jawabnya.

"Aku juga menuntut suami yang sesuai kriteriaku," ucapku memancingnya.

"Maka, aku akan jadi apapun yang kau mau!" Aku tergelak, sementara dia mendecak.

Aku tak bisa sembarangan asal menerima cinta, seseorang harus memeriksa dia siapa dan latar belakangnya seperti apa. Masalahnya pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup dan aku tak mau menyesalinya. Bukankah menyatukan dua cinta juga sama dengan menyatukan dua keluarga? Ya, meski aku sudah tidak memiliki orang tua setidaknya, aku mengenal calon suamiku, anak siapa dan punya apa.

Beberapa waktu setelah memastikan profilnya 'bersih' kuputuskan untuk memberi kesempatan pada itikad baik pria itu.

"Jika kamu serius bawa saya bertemu keluargamu," ucapku.
Mungkin jawaban demikian setara dengan jawaban 'iya' sehingga dia seketika terlonjak bahagia. Pria itu melompat dan tertawa senang.

"Besok kita ke rumahku."

*

Memang benar, keesokan hari aku dibawa ke rumahnya. Sebuah hunian yah terlihat asri berlantai dua. Nampak tua tapi terawat dengan baik. Pintunya antik lalu halamannya dipenuhi koleksi bunga bunga cantik.

"Assalamualaikum." Hari itu penampilanku sederhana hanya baju kemeja dan celana jeans serta tas punggung tempat aku meletakkan ponsel dan powerbank.

Mungkin Mas Rizal sudah memberitahu ibunya bahwa aku akan datang jadi hari itu rumahnya sedikit ramai.
Ketika pintu terbuka senyum lebar semua orang menyambutku namun ketika menatap dari atas ke bawah, seketika senyum semua orang berubah menjadi wajah datar yang biasa-biasa saja.

"Aku paham aku tidak menarik tapi ini sudah terlanjur."  Aku membatin lalu masuk ke dalam rumah itu dengan santai.

Waktu akan duduk pun mereka sama sekali tidak menawariku, tapi aku pun tidak perlu ditawari, kujatuhkan diri di kursi lantas menyelipkan seulas senyum untuk mereka semua yang tetap saja terdiam seakan tercengang.

"Ja-jadi ini calon istri Rizal?" tanya wanita yang kurasa adalah neneknya karena wanita itu terlihat paling satu diantara mereka semua.

"Insya Allah," jawabku yang tidak tahu harus menjawab seperti apa. Tidak sedikitpun aku merasa berdebar, hanya tetap santai dan biasa-biasa saja.

"Kalau boleh tahu kamu anak siapa dan rumahmu di mana?"

"Orang tua saya tidak terkenal, mereka juga sudah meninggal. Saya tidak tinggal di rumah tapi menyewa sepetak kamar kos dan bekerja di tempat yang sama dengan Mas Rizal."

"Kamu selama ini kuliah biaya dari siapa?" Entah kenapa keluarga ini sangat 'kepo' sampai dengan hal yang paling detil.

""Beasiswa dan menabung dari kerja paruh waktu," jawabku. Aku memang sudah terbiasa mandiri sejak kehilangan orang tua. Aku tidak mempergunakan fasilitas apapun untuk kenyamanan sendiri.

 "Saya berusaha dan ingin memahami arti kehidupan yang sebenarnya."

"Artinya kamu akan menjadi menantu kami yang paling sederhana, itu menarik ...," jawab wanita yang terlihat seperti ibunya Mas Rizal. Dia mengatakan itu dengan senyum tapi matanya memicing tidak suka, terlihat bahwa wanita itu punya maksud tertentu dan seperti ular berbisa. Aku bisa menilai seseorang  dari pertama kali mengenal mereka.

"Kamu pergi ke kantor mengendarai apa?" Tanya wanita lain yang mungkin adalah tantenya Mas Rizal, calon suamiku yang sudah negara dan tidak betah berusaha mengalihkan pembicaraan tapi keluarganya melotot padanya.

"Jalan kaki, Tante, saya belum sanggup beli motor."

Seketika saja semua orang tertawa, bukan tertawa karena kepolosanku, tapi seperti sinis pada kemiskinan diri ini. Mereka terlihat merendahkan dan terus menatapku dari atas ke bawah, melihat celana jeansku yang sederhana serta kemeja abu-abu yang sama sekali tidak menarik. Ya  ... aku baru saja pulang kerja, hanya mengganti pakaian dan mencuci muka lalu ikut dengan Mas Rizal.

"Polos sekali dia, jalan kaki ...." Ibunya Mas Rizal tertawa sambil menepuk bahu saudara perempuannya. Lain pula halnya dengan Tante Mas Rizal yang hanya mendecak sambil menggeleng pelan, wanita itu terlihat tidak suka tapi memaksakan senyumnya.

"Ya ... aku memang tidak punya motor, untuk apa beli motor kalau sudah punya belasan Ferrari  warisan Papi di rumah."
Ingin rasanya kukatakan itu, tapi ya, aku 'stay cool' saja. Biar itu jadi kejutan.

Biasanya manusia manusia serakah seperti mereka hanya diperbudak ambisi dan nafsu duniawi, kalau sudah melihat seperti ini aku berencana untuk mengerjai dan memberi mereka pelajaran moral.