Hari itu cuaca cerah, aku yang sejak Minggu kemarin sudah ada janji bertemu dengan pengelola keuangan perusahaan akhirnya hari ini bisa berjumpa.
Kami bertemu di kediaman Om Wira, orang kepercayaan papa yang sudah belasan tahun ikut dengan perusahaan orang tuaku. Dia pria yang baik dan perhatian, aku tidak menganggapnya sebagai orang asing yang hubungannya hanya hubungan profesional saja tapi kami sudah seperti keluarga.
"Ini uangmu, pembagian keuntungan bulan ini," ucapnya sambil menyodorkan seplastik uang.
"Kenapa saya selalu diberi dalam bentuk tunai, bukannya di transfer saja."
"Tunai lebih nyata dan akan membuat kamu lebih hati-hati dalam menggunakannya. Artinya jika ditarik selembar pasti berkurang kan?"
"Iya, betul." Aku tertawa dengan gagasan Om Wira.
"Aku harap kamu pandai mengelola uangmu, aku harap kau hemat dan akan sukses sama seperti orang tuamu."
"Kesuksesan dan bertahannya perusahaan ini itu semua karena pengaturan dan pengelolaan Om Wira. Saya berterima kasih ya."
"Saya hanya pejabat yang ditugaskan, ownernya tetap Anda Mbak Naura," jawab Pria itu dengan penuh kesantunan.
"Kalau begitu saya pulang ya," ujarku sambil bangkit, menyalaminya lalu beranjak pergi.
*
Bersama supirku kami langsung meluncur menuju bank untuk penyetoran uang tersebut. Akan kubagi tiga tabungannya, satu untukku, satu untuk adikku dan satu lagi untuk tabungan darurat kami. Sesampainya di bank kuambil nomor antrian dan duduk tertib sambil memangku tumpukan uangku dalam kresek hitam itu.
Mungkin karena ini adalah hari kerja--dan aku yang baru malam tadi piket jadi tidak masuk kerja-- memanfaatkan waktu untuk beberapa urusan penting yang menyangkut perusahaan kami. Di bank antrian cukup ramai dan padat. Kuperhatikan nomor antrianku sedang di sana tertulis angka dua tujuh.
"Ah, masih lama," gumamku sambil mengedarkan pandangan. Tanpa sengaja mataku menangkap objek yang cukup mengejutkan.
Ada Oma dan Ibunda Mas Rizal yang entah siapa namanya. Terlalu sibuk untuk mengalahkan ego mereka membuatku lupa bertanya namanya siapa. Kuperhatikan kedua wanita itu nampak sedang menunggu juga, tapi di bagian customer service.
Tiba tiba terbesit dalam hatiku, bagaimana kalau aku pindah saja ke bangku yang mereka duduk kebetulan bangkuku juga sesak karena begitu banyaknya orang yang menunggu giliran.
Dengan langkah santai, penampilan seadanya aku segera menyambangi dua wanita matre itu. Kujatuhkan bokongku tepat disamping mereka dan tentu saja mereka terkejut dan terbelalak.
"Ah, Oma, Tante, apa kabar?"
"Ah ... kau ya?" Ibunda Mas Rizal nampak kesal dengan kehadiranku, dia tertawa sinis dengan gelagat tidak nyaman.
"Iya aku? Kalian mau menabung?"
"Iya," jawab Oma dengan cepat.
"Kirain mau mengajukan pinjaman," balasku tertawa menyindir.
Mereka yang merasa tersinggung langsung memberengut dan saling memandang satu sama lain.
"Kamu kok tiba tiba di sini?" tanya Oma denga lirikan yang bermaksud mengusirku.
"Tadinya aku duduk di barisan nasabah, Ketika tiba-tiba aku melihat kalian di bangku antrian costumer service aku jadi berpikir bahwa kalian ingin mengajukan komplain atau pinjaman ... Kupikir aku harus menyapa sehingga aku mendekat saja," jawabku dengan tawa berderai. Mereka makin tidak nyaman melihatku tertawa.
"Oh ya, btw, nomor antrian kalian berapa?"
"Nomor 30," jawab Ibu Mas Rizal.
"Ouh, masih lama rupanya, aku nomor dua tujuh," balasku.
"Siapa juga yang nanya ...." Celoteh kecil di bibir Ibunya Mas Rizal menunjukkan kalau dia sangat tidak senang.
"Itu sudah nomor dua enam, sebentar lagi kamu, jadi bersiaplah," suruh Oma, wanita bertubuh sedikit tambun dan selalu tampil elegan dengan rambut digelung itu tidak berhijab, entah apa alasannya.
"Kamu di sini mau nabung atau mau minjam?" tanya Oma.
"Mau meminjamkan," jawabku. Dia mengernyit.
"Iyalah, konsepnya ketika kita mempercayakan uang ini untuk disimpan maka pihak bank akan mengelola uang itu untuk dipinjamkan lagi atau diputar kembali demi dijadikan keuntungan. Jadi sebenarnya kitalah yang meminjamkan untuk Bank."
"Ah, mungkin itu benar," ucap wanita itu mengangkat bahu.
"Tidak benar!. Nabung ya nabung, minjam ya minjam," sanggah ibu Mas Rizal degan sewotnya.
Di saat kami sedang berdebat, tiba-tiba nomor antrianku dipanggil. Aku yang tersentak kaget langsung bangun dan tanpa sengaja menumpahkan uang uangku ke lantai. Sontak saja ibu Mas Rizal dan Oma terkejut melihat tumpukan uang yang berhamburan dari plastik.
Uang semua!
Oma dan Ibunda Mas Rizal ternganga melihatku yang pura pura buru-buru mengemas uangku. Aku bersandiwara gugup dan bergerak cepat memungut uang karena aku jadi pusat perhatian. Tentu saja calon ibu mertua sigap bangun dan menolongku.
Sikapnya yang sinis langsung berubah drastis dan sunggingan senyum di bibirnya mendadak manis.
"Oh, kamu enggak hati-hati sih jadi uangmu tumpah semua," ujarnya sambil menumpuk gepokan uangku.
"Maaf Tante, terima kasih," jawabku pura-pura polos.
Jelas sekali bahwa mereka langsung bersikap manis karena melihat uangku. Hmm, manusia serakah, baru kemarin mereka setuju agar aku dan Mas Rizal batal menikah dan berharap bahwa kami tidak bersama. Lalu sekarang ... sikap mereka sangat manis, dasar muka dua!