Part 4
"Bagi kita, orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa isme lainnya, yang lebih baik, lebih elok, dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam. Itu saja,” tambah Tjokroaminoto lagi.
“Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segera saja diaturnya secara sosialistis dan segala tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian ini malah dilanjutkannya juga pada saat Islam telah menyebar ke negeri-negeri sekitarnya,” tambah Tjokroaminoto lagi.
Malik mengangguk-angguk.
“Selain itu pengaturan negara semasa Nabi Muhammad SAW sendiri dilakukan dengan cara sosialistis sebenar-benarnya juga. Inilah yang membedakan dengan kebanyakan kaum sosialis abad ke-19 yang hanya menghendaki sosialisme demokratis. Mereka ini hanya menghendaki suatu pemerintahan perwakilan dengan dewan-dewan atau majelis perwakilan rakyat. Akan tetapi suatu sistem pemerintahan demikian layak disebut demokratis dan bukan sosialistis dalam arti sebenarnya,” tambah Tjokroaminoto lagi.
Malik menyimaknya dengan serius dan mencatatnya baik-baik hal-hal yang penting.
“Di bawah sistem sosialis, seharusnya rakyat sendiri yang punya hak suara secara langsung dalam urusan negara. Inilah yang dilakukan pemerintahan Islam. Rakyat bisa langsung memprotes Nabi atau para penggantinya atau khalifah. Inilah sistem yang paling sosialistis. Karl Marx sendiri menekankan perlunya perantaraan filossof dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Lenin menekankan perlunya perantaraan diktator proletariat dan partai proletariat Sedangkan Nabi dan khalifah tanpa perantara! Rakyat bisa langsung menentukan kebijakan negara! Nabi dan para khalifah lebih sosialistis daripada Karl Marx dan Lenin!” tambah Tjokroaminoto lagi.
Malik terhenyak! Kaget! Ia tidak menyangka demikian! Jadi selama ini yang dituduhkan SI Semarang bahwa Islam tidak sosialistis salah besar! Bahkan Islam lebih sosialistis daripada Marx dan Lenin. Islam lebih pro rakyat daripada Marxisme, Leninisme, atau Komunisme! Malik merasa bertambah luas wawasannya. Malik merasa tercerahkan.
“Bahkan tentara atau militerpun di zaman Nabi Muhammad SAW diatur secara sosialistis pula. Sebab para serdadu dan jenderal tidak digaji negara, melainkan kebutuhannya, termasuk kehidupan istri dan anaknya jika sang prajurit atau jenderal gugur di medan perang, dijamin oleh negara,” tambah Tjokroaminoto lagi.
“Gila! Hebat betul Islam!” batin Malik.
Sudah satu jam Malik tidak merasa bosan. Ketika ia di sekolah agama ayahnya atau di sekolah Belanda maunya bolos terus, Malik malas memperhatikan. Tetapi sekarang ia berkonsentrasi penuh. Baru sekarang Malik bisa berkonsentrasi di dalam kelas!
“Meski kemajuan industri yang meenghasilkan kemajuan yang lebih bersifat kebendaan (materialistis) terjadi di dunia Barat, tetapi pandangan Nabi Muhammad yang jauh ke depan tak lupa menyoroti masalah perburuhan atau sistem produksi, maupun permodalan. Buktinya adalah ketegasan agama Islam yang melarang aadanya sistem riba. Dengan demikian ini sekaligus memperlihatkan bahwa Islam bermusuhan keras kepada kapitalisme, “ tandas Tjokroaminoto.
Malik merasa betapa sempitnya pemikiran SI Semarang selama ini.
“Menghisap keringatnya kaum buruh, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan bahagian keuntungan yang semestinya atau dengan seharusnya menjadi bahagian orang yang turut bekerja menghasilkan keuntungan tersebut adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam. Semua perbuatan ini oleh Karl Marx disebut nilai lebih. Dalam Islam disebut memakan riba. Dengan begitu, nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai ke akar-akarnya. Membunuh kapitalisme mulai sejak benihnya, oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme yaitu memakan nilai lebih menurut Marx atau memakan riba menurut istilah Islamnya,” tambah Tjokroaminoto lagi.
“O, jadi Islam itu memerangi kapitalisme yang menindas rakyat! Hebat! Hebat!” batin Malik.
Login untuk melihat komentar!